HEADLINE

Cerpen ALIF FEBRIYANTORO (Situbondo, Jember)_PASIR PUTIH, DERMAGA, DAN SENJA YANG SELALU DIKENANG

Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE MAJALAH SIMALABA
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)





Cerpen ALIF FEBRIYANTORO

PASIR PUTIH, DERMAGA, DAN SENJA YANG SELALU DIKENANG

“Kembalilah ... aku tidak memaksamu.”
“Hanya sekadar mengingatkan, ada rindu yang harus ditertawakan.”
Di pantai Pasir Putih ini, kau akan selalu melihat seorang lelaki sedang duduk di tepi dermaga. Setiap hari pada waktu senja. Kau akan melihat ia duduk menghadap ke arah utara dengan kaki yang menjuntai ke bawah. Oh, kau mungkin akan cepat menilai, bahwa lelaki itu sedang menunggu seseorang. Mungkin kekasihnya. Kau mungkin juga akan mengira bahwa lelaki itu sedang mengenang sesuatu yang mungkin susah untuk dilupakan. Maka pada setiap senja ia akan selalu berada di dermaga ini untuk mengingat masa lalunya. Begitu mudah untuk ditebak, bukan? Dan ya, memang. Tapi kau tahu, setiap manusia mempunyai kenangannya masing-masing. Ya. Kenangan. Manusia memiliki ingatan, maka mereka bisa dikatakan hidup.
Oh, Pasir Putih ... seindah apakah kau memberikan kenangan kepada manusia? Pasir pantai yang putih dengan ombak yang begitu tenang. Kadang kau juga akan melihat burung-burung terbang begitu rendah di permukaan laut. Lalu ketika senja dan laut bercampur, kau akan merasakaan keindahan yang lain. Warna merah kekuningan akan membias di permukaan laut yang biru. Dan kau akan memejamkan mata beberapa detik. Untuk sejenak meresapi angin yang selalu berembus sepoi-sepoi. Lalu kau akan bertanya kepada seseorang yang mungkin ada di dekatmu, apakah keindahan perlu dinamai? Oh, tapi sesedih apakah lelaki yang menjadi tokoh dalam cerita ini, ketika ia dan senja menjadi satu dalam kesunyian?
Tentu pertanyaan itu tak perlu dijawab. Karena memang mudah sekali untuk dijawab. Lagi-lagi perihal rindu. Tampak begitu klise. Tapi sekali lagi, lelaki itu juga mempunyai perasaan. Dan perasaan adalah renungan masing-masing. Maka jangan salahkan lelaki itu ketika ia tetap duduk di dermaga ini, untuk mengenang seseorang.
“Sebentar lagi senja. Dan suatu saat nanti, ketika senja telah datang, kau akan mengenang seseorang,” ucap seorang wanita di masa lalu.
“Oh ya? Aku tidak percaya.”
“Kau sudah tahu, bukan? Aku orang jauh. Pada akhirnya aku akan meninggalkan kota ini.”
Lelaki itu hanya diam. Dan camar pertama pun lewat di hadapan mereka.
“Jangan gengsi untuk mengatakan, bahwa suatu saat nanti kau pasti akan rindu.”
“Aku suka senja. Ia menggambarkan karaktermu. Pendiam dan dingin.”
Lelaki itu kembali diam. Dan camar kedua pun lewat.
Entah kenapa keadaan seperti ini selalu dibenturkan dengan sepasang kekasih. Laut, senja, dan sepasang kekasih yang duduk bersama adalah salah satu bentuk dari keindahan. Seseorang pasti akan selalu menuliskannya. Dan kau pun pasti tahu, bahwa cerita ini akan begitu mudah untuk diperkirakan.
“Jangan melemparkan pernyataan lain. Kau tidak perlu gengsi untuk mengatakan bahwa kau suka denganku.”
“Ah, jangan terlalu sombong.”
“Kadang sombong itu perlu. Tapi kembali merendah adalah pilihan setelahnya.”
Wanita itu terdiam. Senja hampir jatuh di ujung barat. Embusan angin terus bermain dengan rambut mereka. Dan kau akan tahu bagaimana kelanjutannya. Ya. Mereka saling menatap. Kedua tangan mereka saling menggenggam. Tapi adakah sedikit dosa yang sedang mereka pikirkan? Kau boleh menjawabnya.
“Jangan menatapku seperti itu. Seorang wanita berhak untuk membuang tatapan seorang lelaki yang baru saja dikenalnya.”
“Ah, tapi kenapa kau menatapku?”
“Entahlah. Di saat seperti ini, ketika kita sedang menunggu senja, matahari diam-diam sedang melihat kita. Dan laut sedang mendengarkan pembicaraan kita. Dan aku hanya bisa menatapmu.”
“Jangan terlalu dramatis, Sayang.”
Kemudian mereka berdua tertawa lepas, sebelum senja itu datang.
Oh, Pasir Putih ... pasir pantai yang putih dengan ombak yang begitu tenang. Di pantai ini, kau bukan hanya dapat menceritakan tentang sepasang kekasih yang sedang duduk di ujung dermaga untuk menanti keindahan senja. Bukan. Kau boleh menceritakan tentang nelayan yang sibuk mencari ikan agar dapat menafkahi keluarganya. Kau juga boleh menggambarkan bagaimana toko-toko berjajar di sepanjang jalan. Atau tentang awal dermaga ini dibangun. Atau barangkali tentang jalan Pantura yang menjadi bagian dari pantai Pasir Putih ini. Masih banyak cerita lain yang dapat kau ceritakan.
Tapi sepasang kekasih itu tidak ingin pergi begitu saja dari cerita ini. Mereka ingin kenangan mereka ini dapat tersampaikan untuk orang lain. Sebab mereka tahu, akan selalu ada sepasang kekasih lain yang–mungkin–merasakan hal yang sama: Tentang sebuah kehilangan.
“Apakah kau tahu kenapa aku mengajakmu ke sini di hari terakhir kita bertemu?”
Lelaki itu tak perlu menjawab. Karena wanita itu akan menjawab pertanyaannya sendiri.
“Karena laut ini yang akan memisahkan kita. Dan ketika kau berada di sini dan menghadap ke arah utara, maka kau akan mengingatku.”
Nah. Sangat mudah diperkirakan.
“Dan apakah kau mengerti kenapa aku memilih waktu menjelang senja?”
“Karena kau suka senja.”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Tunggu saja ketika senja datang. Kau pasti akan mengerti.”
Orang-orang sudah beranjak pergi. Para nelayan sudah kembali menepi. Kau sekali lagi akan menebak dengan mudah, bahwa senja sudah datang. Dan sepasang kekasih itu terdiam cukup lama, untuk merasakan sesuatu yang mungkin tak akan dirasakan lagi.
“Apa yang ingin kau katakan lagi?” tanya lelaki itu dengan tubuh yang sedikit gemetar.
“Oh, apa yang sedang Tuhan pikirkan ketika mencoba untuk memisahkan sepasang kekasih?”
Kini wanita itu yang diam. Tapi lelaki itu tak menjawab pertanyaannya sendiri. Kau mungkin juga tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tapi kau bisa menanyakan kepada seseorang, apa yang penulis pikirkan ketika mencoba memisahkan sepasang tokoh yang ia tulis? Nah. Dari pertanyaan ini, kau akan mulai berpikir. Dan kau mungkin bisa menjawab pertanyaan dari lelaki itu.
“Oh, senja ini begitu indah. Aku tidak mungkin bisa melupakannya.”
“Kau sudah mengerti, bukan?”
“Ya.”
Sejauh apa pun burung-burung itu terbang, tak akan pernah mengubah keadaan, bahwa wanita itu akan pergi. Ia akan berjalan ke arah utara, lalu menghilang. Dan di saat seperti ini, mungkin kau berharap mereka akan bertemu kembali di waktu yang lain. Di senja yang lain.
***
Sebentar lagi, kau juga akan menyaksikan bagaimana seorang nelayan akan berjalan dan menghampiri lelaki itu yang sejak tadi duduk di tepi dermaga. Kau mungkin tidak memikirkan peristiwa ini. Kita lihat saja. Mereka akan berbagi kenangan. Kau kira seorang nelayan tidak memiliki sebuah kenangan dengan kekasihnya di masa lalu? Kali ini kau salah jika berpikir seperti itu.
“Saya selalu melihatmu di sini ketika senja. Ada apa sebenarnya?”
Sebenarnya nelayan itu sudah tahu jawabannya, sebelum ia bertanya. Tapi ia harus berpura-pura bertanya untuk dapat memulai sebuah pembicaraan. Ya. segala sesuatu harus dimulai. Tak peduli itu disengaja atau tidak. Yang jelas harus dimulai, maka kau akan menemukan kata “selesai”. Sudah, seperti itu saja.
Ah, kau pasti berpikir lelaki itu akan menjawab sesuatu, bukan? Kau lupa bahwa karakter tokoh lelaki dalam cerita ini adalah pendiam. Maka ketika kau sudah ingat, kau akan berpikir kembali, bahwa nelayan itu akan memulai pembicaraan lagi.
“Dulu saya juga mempunyai kenangan indah di dermaga ini.” Nelayan itu lalu duduk di samping lelaki itu. Terlihat ia juga menjuntaikan kakinya ke bawah.
“Kau tahu, kenangan memang membuat manusia lupa akan segalanya, bukan?”
“Ya. Benar.”
“Ketika saya melihatmu, saya teringat ketika saya masih muda dulu.”
Tentu saja nelayan itu sedikit mencoba untuk mencairkan suasana. Tapi lelaki itu tetap diam, tak memberi tanggapan apa pun.
Lengang. Senja seakan melambat. Camar terakhir sudah meninggalkan laut. Dan di dermaga ini hanya terlihat mereka berdua. Tetap duduk menghadap ke arah utara. Biarkan saja nelayan itu mencoba mengingat kembali kenangannya. Dan beberapa menit kemudian, lelaki itu pasti akan mencoba menanyakan sesuatu kepadanya.
“Bagaimana Anda bisa mengalihkan sebuah kenangan?”
Sejenak nelayan itu berpikir. Mungkin kau juga sedang berpikir.
“Kenangan tidak bisa dialihkan. Tapi ketahuilah, hanya kau yang dapat menjawab pertanyaanmu sendiri.”
“Nasib kita sama. Ditinggalkan oleh kekasih di masa lalu. Saya hanya bisa tabah dan menunggu takdir Tuhan selanjutnya.”
“Bukankah takdir selalu melahirkan yang tak pernah tentu?”
Kembali lengang.
“Saya harus pulang. Nikmatilah setiap senja ini, yang selalu ingin dikenang.”
Dan senja pun sudah lewat. Dan nelayan itu pun pergi menjauh. Kini lelaki itu memiliki kenangan baru dengan nelayan itu. Kemudian lelaki itu juga harus pergi meninggalkan dermaga ini. Kau tahu, dermaga ini pun memiliki kenangan yang selalu berbeda dengan semua orang yang telah menjumpainya. Nah, kau baru saja menyadari, bahwa kenangan tidak selalu berbicara tentang sepasang kekasih.
Kau mungkin masih penasaran tentang kelanjutan dari cerita ini. Tapi biarkan imajinasimu sendiri yang bekerja. Kau mungkin akan berpikir bahwa wanita itu akan kembali ke kota Situbondo untuk berjumpa lagi dengan kekasihnya. Atau kau berpikir sebaliknya. Semua masih bisa menjadi mungkin dalam cerita fiksi, kau tahu itu. Tapi kali ini, kau harus tahu satu hal. Bahwa satu jam yang lalu di kota Makassar, pada dermaga yang lain, wanita itu sedang menangis kepada senja yang selalu dikenang (*)
Situbondo - Jember,  11 - 13 Juli 2017
ALIF FEBRIYANTORO, kelahiran 23 Februari 1996. Asal Situbondo. Menulis cerpen dan puisi. Kini berdomisili sementara di Jember, sebagai mahasiswa. 60 Detik Sebelum Ajal Bergerak (Karyapedia Publisher, 2017) adalah buku kumpulan cerpen pertamanya. Dapat ditemui di akun Facebook: Alif Febry atau di akun Instagram: Alif Febry.

No comments