Edisi Jumat, 08 September 2017_ PUISI PUISI HADI WINATA (Palembang, Sumatera Selatan)
Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen, Cersing (Cerita Singkat) untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE MAJALAH SIMALABA
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)
PUISI PUISI HADI WINATA
MENGUTUK DIRI SENDIRI
menumpangi gerbong tua pada kereta yang paling akhir, akankah ia
mengantarkanku ke stasiun yang paling pulang: makan malam bersama
ayah dan ibu. seperti di tahun-tahun yang berselang; atau justru lautan
lumpur tempat kubangan para setan menikmati sesal.
di luar pohon demi pohon membentuk hutan. dan hujan seketika turun.
membasahi ruang-ruang yang memang harus dibasahi. aku tercekat rindu
pada ayah yang memuncak, mencapai klimaks. wajah keriput ayah
muncul di kaca-kaca yang berembun, di langit-langit gerbong.
tubuhku tiba-tiba gemetaran dan kedingan. kesadaran seperti menguap.
kupikir seharusnya kau tak perlu menyia-nyiakan spermamu, hanya sekadar
untuk menolong seorang anak yang bahkan lebih kejam dari sangkuriang;
melihat dunia dan kemudian membunuhmu perlahan agar mati berdiri.
mengapa tidak kaukutuk saja aku seperti malin menjadi batu? atau seperti
seseorang yang berubah bentuk menjadi ikan pari? agar tak perlu pula aku
menghasilkan keturunan yang bahkan lebih biadab dari anak durhaka yang mana
pun. yang kini sedang berusaha mengulitiku diam-diam.
katamu jadilah lelaki sejati yang bijak, maka biar kukutuk saja diriku
sendiri menjadi kunang-kunang yang terjaga di malam hari. agar dapat
menerangi makammu; membebat luka yang sudah lama mengering;
atau mungkin sudah sembuh? tapi, lestarikah kulitmu itu ayah?
2017
RINTIHAN ANAK MELAYU
saban hari di ratusan tahun berselang kautanam berbagai pepohonan, biji-biji
bunga dan buah, kejujuran, kecerdasan, keberanian, dan tentu saja iman, islam. selanjutnya kausiram dengan darah dari berbagai golongan; unsur dari belulang dan organ. kemudian cahaya yang berasal dari tempat-tempat jauh yang senantiasa berpendar.
negeri ini masih menyimpan itu semua. tanah hitam subur menumbuhkannya:
menjadi kuncup-kuncup yang mekar di saban hari, di saban sudut negeri,
melintasi tahun demi tahun bagai waktu.
kini mereka semua bahkan bersemayam di setiap jiwa. anak cucumu menikmatinya, dan mereka semua menjadi identitas kami, negeri ini, negeri kita.
sementara orang-orang berdecak kagum memberi salam.
tapi sultan, bagaimana bisa aku berada di dalam penjara pesing orang barat?
dituduh hendak melakukan bom bunuh diri; teroris asia tenggara.
haruskah kutanggalkan semua pakaian siakku? semua yang berasal dari apa pun
yang kautanam ratusan tahun silam?
ingin rasanya kutanya pada hutan, angin, para burung dan semua serangga,
para kiyai dan bocah, dinding demi dinding di setiap surau yang ada
di siak: adakah salahnya menjadi seorang melayu? tapi bagaimana aku
terkungkung di sini.
kau tak salah karena telah menanam itu semua sultan, tidak.
tetapi adakah salahnya menjadi seorang melayu?
pulangkan aku pada ibu yang melahirkan.
pada mimpi yang mengundang cita datang.
aku ingin kembali ke tanahku.
hidup damai menjadi orang melayu.
2017
KEHILANGAN MELAYU
kulangkahkan kaki setapak demi setapak menyusuri jalan apa pun.
mencari apa yang tak diketahui untuk dicari; pada tempat-tempat tak peduli nama
langkah manakah yang paling sejati? setiap langkah adalah dusta.
tapak-tapak terkikis. aku selalu kembali ke persemayaman para setan.
terlempar hina pada pusaran arus itu.
kugapai-gapai setiap surau: menyusuri sungai-sungai dan pepohonan dan waktu.
“kau bukan melayu!”
“kau bukan orang kami!”
melalui ubun-ubun dan mata, hidung juga mulut, kedua telinga dan setiap jari
setetes demi setetes para darah meloloskan diri
“teriakan macam apakah yang melegakan?”
kugamit tanah pasir dengan tanganku yang merah.
pedih, luka-luka seolah menjebloskanku ke neraka.
seketika bumi terbelah!
kulepaskan semua
aku jatuh pada lubang
yang menenggelamkan
dan tak berdasar
“pulanglah dan jadilah melayu!”
“sultan, kaukah itu?”
“bantu aku, sultan, sultan …”
2017
BUNGA KUDUS
saban hari bunga-bunga kudus mekar di kepala pemuda itu. harum
sucinya mengalir bagai air. kemudian bersemayam di seluruh pembuluh
darah. arteri-arteri. xylem dan floem. menembus kulit dan menjadi perisai.
tapi, barang malam menelan siang. matahari tergantikan. pemuda itu
menyambut tangan setan. dan ribuan bunga kudus seketika layu. hampir
binasa. hingga takkan mungkin lagi ada kuncup yang bersemi. dan
bermekaran di waktu pagi.
2017
POTRET DARI TIMUR
tengok ke timur; itu negeri kami—tempat kapal-kapal tua dari papan hasil
hutan pulau seberang, mengambang olang-aling diterjang ombak yang menari.
saban pagi para bapak pergi melaut mencari ikan atau gurita atau bulu babi
atau apa pun: membelah kabut yang meluruhkan mimpi para penduduk
mengarungi lautan lepas menantang badai.
dan ketika sore melepas sekolah kami menyelam mencari uang memancing
nasib membantu mama dan bapak membayar uang pendidikan.
adakah yang bisa diandalkan oleh anak-anak bahari dari timur yang selalu
diabaikan? kalau pun disorot, menyibak kehidupan kami: yang kotor penuh
bercak dan tak beradab atau tak tersentuh globalisasi, orang-orang hanya akan
berkata, “kasihan sekali” atau bahkan abai tak peduli.
sementara yang menyorot dipuja-puja, disebut pahlawan bagi orang timur
yang malang.
duhai, adakah salahnya diri kami? adakah salahnya menjadi orang bahari?
haruskah kami membuang diri kami sendiri? daripada mengambang di antara
akan dan telah.
“laut! laut!”
orang-orang berkata laut adalah kekayaan negeri ini;
tapi kami sungguh tak pernah merasakan manisnya.
bahkan kami menyeduh teh dengan garam.
dari timur kami akan terus menerjang; menyibak cakrawala.
setelah itu, masih pantaskah nasib mengajak kami bermain kecipak air?
2017
TAPAK-TAPAK TERKIKIS
kautatap langit hanya ada biru yang luas di sana. mengapa masih juga kaugamit pasir-pasir yang hangat karena pancaran mentari?
berapa kali sudah kaupanjat dan turuni tebing-tebing cadas di balik bukit?
hari demi hari kau mengeluyur entah ke mana, mengukur jalan membuang waktu. meninggalkan kanak-kanak yang kedinginan yang kelaparan. di rumah istrimu mengoyak daster melepas rajutan luka mencecap darah.
setiap jengkal dari lautan kautelusuri
bertanya pada setiap burung laut yang berkeliaran
dan para detik yang melintas
katamu, semua samudera adalah kosong
kau meloncat untuk menghambur ke dalam palung
dan kau tetap tak menemui apa pun.
2017
RANTAU
tak ada hujan emas di negeri ini
yang ada hanya hujan asam yang
membongsorkan singkong-singkong
bapak yang sekilo lima ratus perak
telah dibuatkan sampan berikut dayungnya untukku
stik pancing dan kail dan umpan-umpannya
juga sampan dari papan pohon dihutan
“maka pergilah
pergi yang jauh
ke tanah di seberang sana, di balik langit,”
kayuhan demi kayuhan menyapu setiap meter laut
berteman sepi dan bau asin air laut
aku sampai di kota entah nama
setiap detik adalah bekerja; mengumpulkan uang
sebanyak mungkin: untuk mamak, membeli kebun di kampung
atau modal nikah dengan gegadis desa
hari ini aku pulang
tanpa kayuhan atau kepanasan
inchi demi inchi air laut ditumpas mesin kapal
aku pulang
bergepok-gepok uang di tangan
tetapi adakah hal yang lebih berarti dari mamak
perempuan yang mengandung, melahirkan, membesarkan?
kugamit tanah kubur mamak dengan tanganku yang kasar dan kapalan
setiap detik adalah air mata yang menjelma penyesalan
menguras diri mengeruhkan hati: kering!
2017
WAQAF
kehancuran macam apa yang kauinginkan dariku? masa kecil getir yang
piatu, menjadi remaja buangan karena kehilangan kehormatan, melihat
ayah mati berdiri? semua sudah kaurebut. semua sudah kautanggalkan.
musim demi musim kulalui memupuk harap. setiap rindu yang datang
kulepaskan. tiada lagi mimpi, tiada lagi imaji-imaji yang selalu terbang liar.
kuikhlaskan diri ini menjadi tumbal di sedekah pedusunan. berjalan perlahan
mendaki langit.
sia-sia! kau tubruk diriku agar tak jadi mati menawan.
kau sungguh ingin aku mati jalang; seperti anjing-anjing
kurap yang tertabrak di jalanan lantas diuraikan bakteri
maka kujatuhkan sendiri tubuhku di hulu batanghari.
hanyut bersama deburan arus; tak tentu hilir.
2017
KIRIMAN
sudah kukatakan padamu: ini takkan mudah. membiarkan luka-luka
tumbuh, yang pada akhirnya harus kaubawa sebagai bekal di perjalanan.
dan ironisnya, kau tak memiliki tujuan. sementara aku, tak bisa membantu.
bahkan sekadar untuk mengatakan kalau di betismu ada semut yang
siap menyerang.
takaranku tepat: kau pulang dengan wajah tanpa dosa, dan orang-orang
segera memandangmu dengan heran, dengan hina. selanjutnya, kau diusir
sambil diseret-seret. kau berteriak dan menangis. meraung-raung.
mereka takkan mengerti. jadi, biarlah kau pergi saja ke mana pun yang kau suka.
atau, kau ingin pergi ke tempat seseorang yang telah mengirimku kepadamu?
tapi, kau belum diundangnya.
2017
MIMPI ADALAH JANJI YANG BELUM TERBAYARKAN
1/
kutatap gedung-gedung menjulang cakrawala
congkak, tiada pernah ramah kepada siapa saja
lalu kucoba bercermin ke dalam dada,
palung paling nurani
tidak, pikirku berusaha positif
aku menunduk
o, atau mungkin justru kedua tanganku inilah
kedua tanganku sendiri
penyebab duduk perkaranya
aku melanjutkan perjalanan
menuju masjid terdekat
2/
di dalam dada
menggelegak sehimpun rasa
menggetar-luruhkan asa
asa yang telah lama dirajut
dengan sutera empat lima
o, mimpi yang menjadi janji masa itu
mimpi yang menjadi janji dua anak sma
ya, itulah mimpiku
mimpi kami
berkelebat-kelebat mimpi itu di kepala
meminta untuk diwujudkan di hadapan alam semesta
“aku tunggu kau di pekarangan liberty,
kita akan menari di hadapan mentari,”
katamu waktu itu
3/
keluar masjid mencari warung makan
meluruhkan otot-otot yang terlampau tegang
duhai, inilah aku sekarang
menjadi kacung orang-orang berjas hitam
dan kau kawan
terbang-lengang ke luar negeri
demi menjadi seorang TKI
4/
sahabatku,
bukankah tak ada waktu ketetapan
dalam janji kita pada waktu itu?
hentikan sedu-sedan
usia kita belum kepalang
liberty akan terus berdiri
dan mentari akan terus menantang
jiwa kita untuk terus menerjang
2017
Tentang Penulis
HADI WINATA, lahir di Palembang, 10 September 1998. Finalis 30 terbaik Lomba Inovasi IPTEK Pemuda KEMENPORA (2015), Finalis Lomba Peneliti Belia Sumatera Selatan (2015), Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah UNSRI (2015), Juara 2 BAIA Award PT. Bukit Asam (2016), Juara 2 Lomba Menulis Esai Pertanian IPB (2016), Juara Harapan 1 Lomba Menulis Surat Nasional PT. Pos Indonesia (2016). Menerbitkan novel dengan judul Memori Untuk IBu (2016). Puisi-puisinya dimuat di Koran Berita Pagi, Koran Palembang Ekspres, Sebatin.com, Posmetroprabu.com, Piarmedia.com, Buku Antologi Puisi Aquarium dan Delusi (Kekata Publisher, 2016), Buku Antologi Puisi Penyair Indonesia (Penerbit Rumah Kita, 2016), Buku Antologi Puisi Menderas Sampai Siak (Hari Puisi Indonesia/HPI Riau, 2017), Buku Antologi Puisi Kata-kata yang Tak Menua (Hari Puisi Indonesia/HPI Makassar, 2017), dan Majalah Puisi (2017). Beberapa cerpennya dimuat di Radar Mojokerto, Sebatin.com dan Kibul.in. Dan, puluhan artikelnya dimuat di Sebatin.com. Tergabung di Komunitas Pena Terbang dan Jaringan Penulis Indonesia.
No comments