POTRET KUMUH KAMPUNG NELAYAN PESISIR_LABUAN, BANTEN
(Liputan Khusus Simalaba.com, Fotografer: Dede Rokhman, Yudi Arnando)
(Redaksi Simalaba, Labuan-Banten)
Anak anak itu. Yang tersenyum riang usai bermain layang layang. Merogoh saku celana, menyodorkan selembar uang pada pemilik warung, kemudian meraih teh gelas. Menghisapnya hingga musnah, hingga pudar rasa haus sebab udara di sini membakar meski senja sudah mendekat dari kejauhan. Kotak teh gelas tersebut kemudian melayang ke laut. Berayun ayun di kecipak ombak. Menyatu dengan gumulan sampah yang telah berjubal di situ sepanjang tahun.
Anak anak itu. Kemudian melompat ke laut. Berkejaran dan berenang. Warna kemilau air yang tercampur lemak dan solar sudah terbiasa nempel di kulit. Dan rambut warna kecokelatan. Cekikikan tawa. Riang. Dan, nyanyian nyaian anak nelayan, sementara waktu menggelinding pelan pelan.
Para lelaki bertelanjang dada, memanggul balok es, memecahnya dengan gancu hingga rontok ke dalam sebuah tong besar yang berisi ikan mati. Aroma hanyir menyengat, menyebar hingga seluruh pelosok kampung. Ya, inilah kampung nelayan, di salah satu sudut Kota Labuan, Pandeglang-Banten. Tempat kedinamisan hidup berjalan dari waktu ke waktu. Menapak sejarah ombak.
Cuaca baik, adalah pula nasib yang baik untuk turun ke laut. Berlayar hingga ke tengah dengan kail dan jala. Atau jaring yang tak bosan ditebar di sekitar perahu mengapung di atasnya. Tatap mata mereka ritmis. Berpasang pasang hingga membentuk koloni. Dan, kata-kata, tak pernah berangkat dari seputar laut. Seputar angin. Seputar ombak yang rajin menampar lambung perahu. Tak ada yang perlu dirisaukan di sini selain pasokan solar dari depo pertamina sewaktu waktu harganya bisa saja berubah bila kebijakan orang-orang besar di Jakarta sana mengutak atiknya.
Tetapi bahan bakar sejauh ini cukup stabil pasokannya. Tidak sulit mendapatkannya. Meski harga yang telah pindah dari masa silam telah pula mempengaruhi label harga-harga bahan pokok di republik ini. Kaum nelayan tentu merasakan imbas dari semua itu. Tetapi laut adalah laut. Ladang raksasa yang harus selalu dijelajah. Kecintaan mereka pada tariannya telah menyulap sekujur tubuh senantiasa ingin menyentuh kulit-kulit air asin, menyibak ke dalamannya, memetik ikan-ikan manis di relungnya.
CUACA BURUK
Cuaca, adalah riwayat dari sebuah hakikat perjuangan dan kisah-kisah yang selalu disuguhkan oleh alam raya ini. Sebuah batasan yang tak mungkin dilompati dari waktu ke waktu. Sebab ia adalah sinyal tentang sebuah istirahat dari keletihan yang panjang. Ya, cuaca buruk berarti adalah istirahat melaut, duduk di beranda rumah beratap rumbai, membenahi bagian-bagian sobek pada jaring dan pelampung yang mulai tak efektif.
Cuaca buruk adalah juga sebuah mimpi buruk. Sebab omabak yang membumbung. Arus tak stabil. Bahkan hujan badai. Adalah larangan turun temurun tak boleh dilanggar apalagi ditentang. Laut adakalanya sedang tak ingin dikunjungi sebab ia ingin menyepi. Melakukan segala kegiatan musimannya, sibuk dengan perasaan pribadinya.
“Kami, para nelayan, mesti libur. Dan, nganggur bila cuaca sedang begini,” kata seorang pemuda dengan wajah ringkas, mencerminkan pula pikirannya yang ringkas. Tak banyak obsesi di dalamnya.
(Para pemancing yang sedang libur karena cuaca buruk)
Sementara mimpi buruk itu adalah momok musiman, mesti dilayani dengan segala keterpaksaan setiap kedatangannya. Cuaca tak bersahabat, sementara kebutuhan dasar hidup mesti terus terpenuhi. Dapur dan aktivitas di meja makan yang tak boleh berhenti. Biaya anak sekolah. Bayar listrik. Air minum isi ulang. Sungguh inilah sebenarnya mimpi buruk itu. Ketika sumber dan tangkai-tangkai uang enggan dipetik sementara musim paceklik. Tak ada cara lain, selain menambah catatan hutang pada koperasi keliling atau warung-warung kecil yang bertebaran sepanjang pemukiman.
Dan, orang-orang itu memandang langit pagi, siang, juga malam. Menanti bintang-bintang serta penujuk arah angin yang sampai kapan mengungsi ke gunung. Berdoa agar badai cepat reda. Sebab mereka ingin melaut. Ingin menangkap kerapu, cumi, belanak atau sumilang. Mereka tak ingin berlama lama menumpuk hutang makan, hutang biaya hidup, dan hutang mimpi karena tidur yang selalu saja tak begitu nyenyak.
NYANIAN DI PESISIR
Kembali ke pesisir. Tempat anak anak yang terus melompat dari tumpukan beton, batu yang disusun membentengi pemukiman. Tawa mereka surut. Seperti tengah mengiringi perasaan ayah serta abang-abang mereka yang sedang tak bisa melaut. Tetapi mereka tetap harus menikmati hari-hari menjelang senja. Berlari lari sepanjang pantai. Bermain layang layang dan berenang.
(Potret Pemukiman Pesisir. Fotografer: Dede Rokhman)
Hidup, sejatinya, bagi mereka adalah untuk berenang. Mengakrapi air dan sampah yang tumpah dari pemukiman ke laut. Baubau-an hanyir dan rasa mual yang tak pernah lagi mereka hiraukan.
Sebab mereka calon-calon generasi penerus, setelah ayah dan abang abang mereka menua, merekalah yang akan menggantikannya. Menyusuri kemungkinan-kemungkinan yang sembunyi di lipatan ombak dan hamparan air hiijau kebiruan. Anak-anak itu terus berlatih agar menjadi tangguh. Agar otot-otot tubuh mereka timbul, mengeras dan perkasa untuk melempar jangkar atau mengibaskan jala raksasa. Mereka harus terus belajar berenang, melompat dan terus melompat dari tumpukan batu. Membiarkan kulit gelap mereka terendam mengakrapi lemak dan minyak sisa solar di pinggir pesisir. Mereka adalah anak anak Indonesia yang belajar untuk menjadi pelaut tangguh menggantikan para leluhurnya. Belajar mengelola alam ini dengan baik dengan bijak dan dengan kecintaan serta kasih sayang yang panjang.
(Ulasan Riduan Hamsyah. Sumber: Otentik, liputan langsung. Fotografer: Dede Rohman, Yudi Arnando)
No comments