HEADLINE

Cerpen Dody Wardy Manalu _MENUNGGU MALAKA

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU:  EDISI 08
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)
Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)



Halima berdiri menatap lepas ke arah laut. Ombak memecah di bibir pantai meninggalkan busa putih di ujung jari kaki. Tiga minggu belakangan ini, ia selalu berdiri di sana. Kembali pulang bila mentari telah tenggelam. Orang mengira Halima teramat mencintai laut. Menikmati debur ombak, desau angin, dan rindu pada cericit camar bersahutan mencari makan di waktu petang.

Jauh di lubuk hati, Halima sangat membenci laut. Ia habiskan masa kecil diantara debur ombak. Mandi laut hingga mata memerah. Kaki saban petang menjejaki garis pantai mencari kerang dan menangkap ikan-ikan yang lepas dari jaring. Kini, laut itu merenggut Malaka dari hidupnya, menyembunyikan pemuda itu di suatu tempat.

Sehari sebelum Malaka berlayar, Halima merusak perahu milik Pak Kardiman, toke ikan itu. Gambar mata dibagian depan perahu ia coret-coret. Halima sakit hati. Suatu malam, Pak Kardiman, diam-diam memasuki rumahnya, memaksa Halima untuk melayani nafsu bejatnya. Halima tidak sama dengan mendiang ibunya. Ia berhasil meloloskan diri setelah menendang selangkangan bandot tua itu. Kepercayaan warga kampung pesisir, mata perahu laksana mata manusia. Mata itu akan melihat ke mana arah perahu melaju. Perahu dibawa kelompok Malaka berlayar adalah perahu Pak Kardiman yang matanya kena coret.

Halima belum menyerah pada takdir. Mayat yang ditemukan dua minggu lalu dengan wajah mengenaskan bukan Malaka. Itu mayat nelayan lain yang kapalnya karam dihempas ombak. Malaka pintar berenang, mustahil mati tenggelam. Barangkali ia terdampar di sebuah pulau tidak tahu jalan pulang. Demikian pemikiran Halima. Ia akan terus menunggu di bibir pantai. Namun sampai kapan. Entah!

Mengapa selalu seperti ini? Pertanyaan itu sudah ribuan kali menggerogoti hati Halima. Empat kali mengenal laki-laki, semua berakhir tragis. Selalu ber’ujung kematian. Keteguhan hatinya mulai runtuh. Keadaan memaksa mempercayai selentingan yang berhembus di tengah warga. Puteri seorang pelacur pembawa sial. Seberapa rapat ia menutup telinga, kata itu tetap menyusup menggedor gendang pendengaran.

Semasa hidup, ibunya seorang pelacur dengan bayaran diatas ratusan ribu. Di perkampungan kumuh pesisir pantai, bayaran seperti itu merupakan bayaran termahal. Warga mencemoohnya. Nasib sial bertubi-tubi menimpa dirinya adalah karma atas kelakuan sang ibu di masa lalu. Halima tidak terima tuduhan itu.

**

Awan bergerak menutupi permukaan langit. Hari tampak lain dari biasa. Dari pagi, Halima berdiri di bibir pantai bagai patung. Rambut kusut ditiup angin petang. Kebersamaan dengan Malaka kembali hadir menyesakkan dada. Pantai jadi saksi untuk janji Malaka. Hingga kini, janji itu belum ia penuhi.

“Lihat, anjing itu cantik sekali.” Ujar Halima dua bulan lalu. Seekor anak anjing melintas dari antara mereka. Bulunya cokelat mengembang, halus seperti beludru. Bola matanya hitam legam. Sangat lucu saat mata itu mengerjap-erjap kearah Halima.

“Ingin punya anjing kayak ‘gitu?” Bisik Malaka. Halima mengangguk dengan bibir mengulum senyum. Matanya tak bosan menatap anak anjing yang telah berlari jauh.

“Pulang berlayar nanti, aku akan beli satu ekor anak anjing yang lucu. Dan aku akan segera melamarmu.”

“Sungguh?”

Mata Halima membola. Bukan karena mau dibelikan anak anjing, melainkan karena Malaka akan melamarnya. Halima sudah lama menunggu kata itu. Namun ia tidak mau memaksa. Biarlah Malaka mengutarakan sendiri. Halima menghapus air mata. Ingin sekali melupakan kenangan pahit itu. Namun ingatan bukan memory komputer bisa dengan mudah menghapus data. Halima tidak sanggup menepis. Harapan menjadi isteri Malaka semakin menipis. Pemuda berkulit hitam itu belum juga kembali.

Seratus meter dari garis pantai, seorang pemuda sembunyi di balik pohon kelapa. Ia mengawasi setiap gerak-gerik Halima. Matahari hampir terbenam. Halima beranjak meninggalkan pantai. Pemuda di balik pohon kelapa mulai berkemas. Ransel disandang terburu-buru. Ia berlari menghampiri. Namun seorang anak kecil mendahuluinya menghampiri Halima. Barangkali anak kecil itu membawa kabar buruk. Wajah Halima seketika pucat.

“Jangan pergi, Kak! Nanti warga membunuh Kakak.” Teriak si anak kecil. Ia mengejar Halima dan menarik pergelangan tangannya. Halima meronta dan terus berlari tak peduli bila nanti warga akan membunuhnya.

Asap mengepul membentuk silinder membumbung di udara. Rumah kecil beratap rumbia habis dilalap api. Itu rumah Halima. Tidak ada harta peninggalan orang tuanya selain rumah reot itu. Sekarang, rumah itu sudah menjadi abu. Halima mematung menyaksikan rumahnya telah rata dengan tanah. Semua mata memandang sinis begitu melihat Halima ada di sana.

“Mengapa kalian membakar rumahku! Apa salahku!” Jerit Halima.

“Kamu itu gadis pembawa sial. Mau berapa lagi pemuda kampung ini mati di tanganmu. Kami tidak ingin anak laki-laki kami jatuh cinta padamu dan mati mengenaskan seperti pacar-pacarmu terdahulu. Kamu harus menanggung dosa ibumu. Pergi dari kampung ini. Pergi!” Teriak seorang ibu dari antara kerumunan. Ia melempar Halima dengan sepotong kayu. Aksi itu diikuti warga lain sembari berteriak.

“Pergi…..pergi dari kampung ini gadis pembawa sial.”

Berbagai benda mendarat di tubuh Halima. Kepala, lengan, wajah berlumur darah. Pemuda itu menyaksikan tindakan warga yang sudah keterlaluan. Tidak tega melihat keadaan Halima terkapar, ia menghambur dan memeluk Halima, membiarkan dirinya memar kena hujan lemparan.

“Hentikan…..” Teriak pemuda itu tanpa melepas dekapan. Aksi lempar berhenti. Warga memandang pemuda itu penuh kebencian.

“Bila ingin gadis itu tetap hidup, bawa ia pergi dari kampung ini. Jangan salahkan kami bila kamu juga akan mati. Gadis itu pembawa sial.” Ujar seorang bapak tua berdiri dibarisan paling depan. Ia adalah Pak Kardiman, si toke ikan.

“Tidak seorang pun manusia di dunia ini pembawa sial. Allah telah menentukan hidup kita masing-masing. Jangan pernah menghakimi orang lain. Siapa diantara kalian merasa tidak punya dosa, ia berhak melempar gadis ini.” 

Semua terdiam. Satu orang pun tidak berani melempar. Mereka memilih mundur dan pulang ke rumah masing-masing. Dengan sisa tenaga, pemuda itu membawa Halima meninggalkan kampung. Mereka istirahat melepas lelah di puncak bukit. Gerimis mulai turun disertai angin berhembus kencang. Dari puncak bukit, Halima melihat kampung pesisir pantai tempat ia dilahirkan. Menyedihkan. Warga kampung sendiri tidak menerima dirinya. Air mata kembali menetes. Pemuda yang menolongnya menyodorkan sebuah sapu tangan.

“Kamu siapa hingga mau berkorban untukku.”

Halima menerima sapu tangan yang disodorkan pemuda itu.

“Namaku Bona. Datang ke sini mengantar titipan sahabatku pada kekasihnya.”

“Apa hubungannya denganku?”

“Kamu kekasih sahabatku itu.”

Bona menunjukkan sebuah foto. Gadis dalam foto adalah Halima tengah dirangkul seorang pemuda berkulit hitam.

“Pasti ingin mempertemukan aku dengan Malaka, bukan?”

Bola mata Halima berbinar seketika.

“Angin topan menghantam perahu kami hingga terbalik. Kami cerai–berai di tengah laut. Begitu sadar, aku dan teman-teman telah berada di rumah sakit. Namun Malaka tidak ada diantara kami. Ia tidak ditemukan.”

Tangis Halima menggema diatas bukit. Penantian sia-sia. Laut telah berkhianat. Kedua tangan menutupi wajahnya. Kakinya setengah ditekuk dengan dagu bertumpu di lutut. Suara tangisnya menggema di atas bukit. Bona mengeluarkan kotak dari dalam ransel.

“Malaka menitipkan ini sebelum kami berangkat berlayar.” 

Bona memberikan kotak itu. Halima membukanya. Sepotong kebaya warna putih dihiasi payet dan boneka anjing berwarna hitam. Di bawah kotak ada secarik kertas berisi pesan: Aku ingin kamu memakai kebaya ini di hari pernikahan kita nanti. Pasti kamu terlihat sangat cantik. Saat ini, masih mampu membeli boneka anjing. Nanti kalau ada rezeki, aku belikan anak anjing yang asli. Anjing itu akan menjaga rumah kita ketika aku berangkat melaut.

 Halima sadar, Malaka tidak akan kembali. Ia harus belajar ikhlas. Malam kian larut. Gerimis berubah menjadi hujan deras. Mereka berteduh di bawah pohon besar. Tiba-tiba bumi terguncang hebat. Bona mendekap tubuh Halima yang ketakutan. Tanpa mereka sadari, laut meluap tinggi. Ombak bergulung-gulung bergerak cepat menuju pantai. Sekejap memporak-porandakan kampung pesisir di bawah bukit. Semua terjadi dengan sekejap meninggalkan duka mendalam. Banyak warga hanyut terbawa arus laut. Ada terjebak dalam rumah. Bangunan tinggal puing-puing. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Tsunami, mengapa engkau datang! END

Barus, 16 Januari 2018


Tentang Penulis

Dody Wardy Manalu tinggal di Jl. AMD No. 7 Kecamatan Sosorgadong. Kabupaten Tapanuli Tengah. Sumatera Utara. Ia seorang Guru bidang studi ekonomi di SMA Negeri 1 Sosorgadong. Kecamatan Sosorgadong Tapanuli Tengah.

No comments