HEADLINE

Cerita Singkat (Cersing) Nuriman N Bayan_GADIS MISTERI

Dari Redaksi:
Kirim Puisi, Esai, Cerpen, Cersing (Cerita Singkat) untuk kami Siarkan setiap hari ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com beri subjek_LEMBAR KARYA HARIAN MAJALAH SIMALABA


Cersing (Cerita Singkat) NURIMAN N. BAYAN
GADIS MISTERI

Pada suatu masa, di sebuah desa kecil. Hiduplah seorang gadis, gadis itu ayu dalam menjamu setiap orang. Gadis itu seperti sang fajar. Di suatu pagi ketika langit cerah dan pohon-pohon bermain dalam derai angin, sang Gadis duduk di atas kaki jalan. Ia duduk memandangi birunya langit dan bangkai daun yang bertebaran di kaki bukit.  Lalu ia berkata dalam hati, “Kalau saja aku diciptakan seperti daun, setiap musim aku akan rontok dan melayang-layang tanpa arah yang jelas dan tak tahu akan di bawa ke mana oleh angin.” Setelah itu, kemudian bergegas pergi menggulung jalan panjang, ia berjalan sambil menghitung langkah, dan menghitung setiap aliran kali yang ia lewati hingga matanya gelap tertutup kabut malam.

Di hari kemudian, penduduk desa sibuk mencari gadis itu, karena sudah beberapa hari ia tak terlihat. Paras cantiknya pupus di mata dunia yang menganga, sapa ayunya hilang tanpa memberi arti. Penduduk desa merasa unsur keindahan dunia telah dicuri oleh waktu yang bersekongkol dengan kematian. Dari hari ke hari ia terus dicari, tapi harapan tetap harapan dan kenyataan hanya memberi kepiluan yang tak berpenghujung. “Ke mana sang gadis itu?” Tanya penduduk desa yang duduk dalam kerumunan. Dan ada yang menjawab, “Mungkin waktu telah membuat ia berlalu, tapi mengapa mayatnya tidak ditemukan padahal kita sudah mencari semua sudut hutan belantara ini.”
Gadis itu menghilang, hilang,  bunuh, dibunuh. Kata itu jadi pisau, setiap hari menikam kepala penduduk desa, dan bermain seperti teka-teki matematika yang rumusnya sulit dipecahkan. Hingga melahirkan lagu tanya.
Kemanakah gadis itu? Dimanakah gadis itu?
Kapankah gadis itu kembali?
Kapankah deru angin datang membawa kabar gembira?
Kapankah biru langit mendengar tanya kami?
Kapankah deru air menyulap harap kami menjadi nyata?
Wahai Yang Memberi Arti, mengapa Engku ciptakan hidup penuh arti, tapi kami ditinggalkan tanpa diberi arti? Jika hidup hanya sedekar arti, biarkan kami mengartikan hidup ini dengan sendiri, agar hidup adalah arti dan arti adalah hidup.

***************** 

Di suatu senja, penduduk desa kembali duduk di sebuah surau kecil,  mereka duduk dan saling bertukar pendapat mengenai hilangnya gadis desa yang sampai kini gerangannya belum diketemukan. “Besok sebelum fajar menyingsing sebagian dari kita pergi ke bukit dan yang lain pergi mengikuti aliran sungai”, kata tetua desa. “Itu saran yang sangat bagus,” yang lain menambahkan.  
Ketika mentari pagi membuka mata, penduduk desa mulai berjalan pada rute yang sudah ditentukan. Kelompok pertama menuju ke bukit dan yang lain mengikuti aliran sungai, mereka berjalan dan memanggil-manggil dengan suara menggigil dan penuh harapan, “Wahai gadis yang datang dari dada ibu pertiwi, engkau di mana? Tunjukkan elokmu yang cantik itu, mata dunia belum puas memandangimu, hadirlah kembali di tengah-tengah kami untuk menenangkan batin kami, cairkanlah jiwa kami yang telah beku ini.”Suara-suara surut tanpa ada balasan, membuat lagu-lagu harap berdendang tanpa henti.
Tak terasa sudah sepuluh kilo jarak yang mereka tempuh, tapi gerangan gadis itu belum juga ditemukan. Tidak ada tanda yang mereka jadikan sebagai peta pencarian. Dari bukit ke bukit, sungai ke sungai, tapi harap belum juga nyata dan tanya belum juga terjawab. Padahal hujan dari tubuh tumpah tak lagi menentu. Bahkan lelah telah menggerogoti celah-celah napas. Bukit dan sungai menjadi media perekam jejak pencarian mereka.
Namun Sutradara semesta belum juga membuka tirai pertemuan. Usaha seakan-akan mencair bagai keringat. Lantunan doa terus dipanjatkan, tapi misteri belum juga membuka tabirnya. “Wahai gadis semesta, kaulah jiwa kami, jika kau tak kembali, raga kami beku dan mati mengering di bawah kombinasi sajak-sajak kehidupan yang terus mengekang hati”. Irama-irama itu terus berguman di balantara hutan yang gelap. Namun, nyata masih misteri.

***************
Di pagi yang cerah, buih angin bermain merontokkan bangkai daun. Air bernyanyi di setiap aliran kali. Burung-burung bermain di atas hijau pohon yang rimbun. Tapi pencarian tak juga tuntas. “Berapa lagi jarak yang harus kita tempuh. Hidup ini kejam.” Keluh penduduk desa.
“Kita harus mencarinya lebih jauh lagi. Semangat kita tak boleh mati, walaupun bukit semakin meninggi di depan kita, tapi semangat kita harus selalu membara. Tak perlu keluh, karena keluh adalah tanda kelemahan jiwa. Perjuangan, pengorbanan dan pencarian adalah hukum kehidupan. Maka kita tak boleh lengah, biarka bukit terus meninggi. Tapi semangat kita harus lebih tinggi. Kita pasti menemukan gadis itu, Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan tak akan menguji umatnya di luar batas kemampuannya.” Seruh tetua desa. “Ya, benar tetua. Semangat kita harus di atas dahi kita. Api semangat dalam diri harus terus berkobar, dan air dalam diri akan jadi penghangat. Kita tak boleh berhenti, karena jika berhenti, hutan belantara ini akan menertawakan kita. Ayo! Kita tetap meradang, menerjang!” Lelaki muda menambahkan.
Hari berganti hari mereka habiskan di hutan belantara itu. Makan dan minum tak menentu, tapi semangat mereka tak pernah mati. Jarak pencarian semakin jauh, hutan semakin gelap. Lelah tak henti-hentinya bernyanyi. Oto-otot dalam tubuh seakan mengeram, darah dalam tubuh tak lagi membeku. Wajah gadis terus membayangi, bermain dipikiran mereka. Gadis yang tak punya bapak dan ibu, gadis tunggal yang tak punya saudara, ia lahir dari dada ibu pertiwi. Ketika terompet kehidupan dibunyikan. Ia datang dari kesalahan yang termaafkan, ia datang dari keburukan yang diperbaiki. Dalam kesendiriannya ia terus menderu, dalam seruan ia berkata, “Jangan pernah mencariku, bila kalian hanya melihatku dari satu sisi. Jangan pernah mengejarku, bila kesabaran dan ketabahan tidak kalian genggam. Aku lahir dari dua sisi kehidupan yang dipertentangkan. Aku tidak ada niat menghilang, dan tidak meminta kalian mencariku, tetapi jika kalian menganggapku penting bagi kehidupan. Cari dan kejarlah aku, dan ikuti setiap jejak waktu. Karena di sana aku menanti.”

Ternate, 25 Januari 2016

Tentang Penulis:
Nuriman N. Bayan atau lebih dikenal dengan Abi N. Bayan, lahir di Desa Supu Kecamatan Loloda Utara Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara pada 14 September 1990. Anak dari Hi. Nasir Do Bayan, dan Rasiba Nabiu. Anak keenam dari sembilan bersaudara. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP-Ukhair. Saat ini membina Komunitas Parlamen Jalanan Maluku Utara (Komunitas Teater) dan tergabung di Komsas Simalaba. Karyanya dipublikasikan di media online (www.wartalambar.com, litera) dan tergabung dalam antologi bersama: Kita Halmahera, Kitab Penyair Maluku Uatara (Garasi Genta, 2017), Embun-Embun Puisi (Perahu Litera, 2017), Majalah Simalaba (2017), dan Majalah Mutiara Banteng (2017). Selain menulis puisi, ia juga menulis berjumlah naskah teater (Potret Pendidikan Bermata Uang, Lihat Tanda Tanya Itu, Biarkan Kami Bicara, Indonesiaku Kau Hilang Bentuk Remuk, Membuka Nestapa Yang Hilang), telah dipentaskan pada setiap kegiatan (kampus maupun di luar kampus). Kini tinggal di Ternate Utara.


No comments