DIPINDAH MENUNGGU SASTRA ORANG ORANG BIASA
Siapakah masyarakat sastra itu sebenarnya? Pertanyaan ini selalu menghampiri saya. Kadang ia menderas. Kadang lagi kelam timbul. Dan, kembali datang meski tak juga berjawab. Sebab sebenarnya (yang bisa dipahami) saat ini masyarakat sastra itu adalah sepi. Sebuah kesendirian yang membatasi jasadnya dari pemahaman awam. Cuma milik orang orang tertentu saja. Ya, cuma milik pelakunya saja, barang kali.
Memang benar bahwa sastra itu sendiri adalah sebuah proses yang sulit, berliku dan bertebing-tebing sebuah perdebatan panjang tak berkesudahan dari sejak zaman entah hingga zaman entah lagi dan ini sebenarnya yang menyihir sastra itu bukan lagi sebuah konsumsi yang hangat bagi orang banyak tetapi (nyaris) merupa ranah yang sulit digapai apalagi diraba dengan kacamata biasa.
Jika seni music dimainkan oleh para pemusik bisa dinikmati oleh segenab kalangan manusia di berbagai belahan bumi, seni lukis dikuas-kampaskan oleh pelukis juga bisa dipandang-nikmati keindahannya oleh banyak pasang mata yang paling tak paham sekalipun, seni tari dimainkan oleh penari di panggung pertunjukan orang orang tertegun menarasikan liuk tubuh serta jemari dengan hati dan jiwa masing masing kita yang menyaksikannya. Ada juga pementasan drama dan film ‘lagi lagi’ bisa dikonsumsi oleh publik, tetapi mengapa tidak dengan sastra. Karya sastra hanya bisa dilihat-pandangi oleh sesama kaum seniman sastra itu sendiri. Belum begitu terdengar ada masyarakat umum yang turut serta menikmatinya. Apalagi berminat menyentuhnya.
Barangkali sastra itu terlalu anggun untuk disentuh oleh sekelumit pemahaman biasa sehingga orang awam jadi semakin enggan memandangnya, bahkan sangat tidak ingin paham lebih jauh tentang bidang seni yang satu ini. Orang orang kemudian lebih memilih untuk meninggalkannya. “Sastra” sebenarnya merana di tengah peradaban masyarakat yang alergi terhadap pemikiran skala rumit, di tengah gelombang rasa ketidak percayaan besar terhadap nilai-nilai kesejatian humanis sehingga perilaku hidup instant terlanjur menyeret kita semua pada ranah yang serba abu abu dan kita (kaum yang tidak begitu mengerti sastra) kian lugu. Keluguan yang begitu kronis sebab pemikiran yang jernih tak kunjung menyuguhkan apa apa selain pergunjingan pribadi tak pernah memberi sinyal damai untuk sebuah perburuan ‘pengakuan’ sehingga nilai-nilai kesederhanaan yang nikmat itu menjadi abai terhalang kerumitan sengaja diciptakan meski sebenarnya tidaklah pula bermakna apa apa.
Ia, sastra itu, terlanjur terbentuk sebagai sebuah tonggak yang begitu idealis. Pongah dan penyendiri. Ditulis tetapi (sebenarnya) bukan untuk dibaca melainkan untuk mencari sebuah predikat semata, bisa jadi. Sehingga jangan heran kini cuma tersisa segelintir saja orang orang nekat yang masih bermain main dengan rasa di dalamnya selebihnya adalah barisan besar masyarakat apatis bahkan tak ingin tahu menahu tentang itu. Gelombang pembaca yang kian menipis terenggut suguhan-suguhan digital (tentu) lebih renyah untuk diterjemahkan. Orang-orang semakin pergi sebab seni kata-kata semakin tak menarik bagi mereka. Lalu, untuk apa sebenarnya produk sastra itu diciptakan?
Berpuluh puluh abad lamanya seni sastra gagal menjadi bagian yang lazim di tengah masyarakat. Gagal pula membentuk sebuah kultur atau tradisi seni yang bikin ramai geliat kebangkitan dunia literasi kita. Sekali lagi; ia terlanjur datang ke bumi dengan bentuk yang tidak standar. Terlanjur dibangun sedemikian rupa sehingga semakin tidak terjangkau oleh orang orang biasa. Ia kian jadi sebuah makhluk asing yang begitu oportunisme.
Kita membayangkan, suatu ketika, puisi dan Cerpen atau prosa bisa diterima oleh segenab kalangan sebagai sebuah tradisi yang lazim. Dibaca oleh banyak orang dengan segenab latar belakang serta pemahaman yang beragam. Sehingga karya-karya sastra bukan lagi menyoal seputar hulu dan hilir atau predikat serta label yang menggiring pemikiran kita pada sebuah harga sulit untuk suatu perihal yang sebenarnya amat murah itu. Meretas sekelumit penafsiran orang orang tentang “matinya” sebuah kualitas. Kita membayangkan lagi para penulis dan pembaca tidak dibenturkan pada dua kutub yang sejak lama telah membentuk jarak yang semakin intoleransi. Soal kualitas karya dan ragam pola ucap (saya kira) akan menemukan tempatnya sendiri sebab yang terpenting sebenarnya, membiarkan pembaca dan penulis menikmati titik temu dalam sebuah tamsil yang mengikat keduanya dalam tarian pikiran yang saling bergandengan sehingga karya sastra adalah sebuah magnit yang menghisap banyak hasrat.
Adakah selama ini kita telah melakukan pembiaran terhadap keterkungkungan yang berjalan semakin lama dan jauh itu? Melakukan diskriminasi terhadap banyak orang yang kita pandang tak memahami diksi. Sehingga nilai-nilai spritualitas yang terkandung dalam rahim seni tersebut menjadi sebuah ritual yang sacral. Seni sastra masih jauh dari petani, dari nelayan, dari para pedagang, bahkan dari kultur budaya yang sejarahnya senantiasa dekat dengan corak keberagaman sebab seni sastra tidak lagi mengindahkan keberagaman tersebut, berjalan jauh pada ketentuan aneh dan ganjil sehingga (sebenarnya) ia berjalan tak begitu mengarah pada siapa dan akan dibawa kemana. Sebab sastra yang dipaksa menyelami nilai-nilai hidup itu ternyata gamang menterjemahkannya pada habitat masyarakat yang diharapkan ‘sadar sastra’.
Sungguh, kian terbenam ia, dalam fatamorgananya sendiri. Dalam nilai-nilai kontekstual yang sepertinya sudah (haram) untuk disederhanakan. Akankah kita kaum peminat sekaligus pegiat seni terus terjerembab dalam labirin yang kita ciptakan untuk memenjarakan diri kita pribadi dalam hamparan kesunyian yang gulita. Saya merindukan, suatu saat, sastra itu adalah sebuah roti yang bisa dinikmati semua orang. Menjelma jadi sebuah hidangan yang begitu toleransi serta memanggil siapa saja melintas serta tak pula butuh kerumitan yang kronis untuk menggapai sebuah aspek keindahan juga totalitas berenang ke setiap lembahnya.
Kita, tentu, tidak menutup diri dengan peningkatan kualitas bahasa dari segenab kalangan tertentu yang juga meningkat intensitas pola ucapnya, tetapi, masalahnya, di sini adalah menuntut adanya sebuah keberagaman dalam penyajian. Sehingga, kata-kata, benar benar menjadi sebuah kebun yang begitu dihargai. Ditunggu-tunggu. Mematahkan asumsi bila sebuah karya sastra itu mesti sulit dan nyaris tak bisa dipahami sebab bila dikotomi ini terus digiring pada pemahaman satu kutub saja betapa kita ini telah menjelma menjadi bangsa yang sebenarnya tidak lagi kaya karena telah abai dengan sebuah kalimat yang bernama KEBERAGAMAN tersebut. Jika pembiaran ini terus saja berjalan maka setelah kaum sastrawan sastrawan hebat itu kelak “mati” akan sulit sekali kita untuk menemukan penggantinya di tengah ketidak berdayaan kita menjadi pelaku pelaku sejarah yang digandrungi oleh hasrat ingin dipuji ini.
Marilah kita sama sama merindukan sebuah kancah kesusastraan yang semakin ramai oleh minat-minat baru. Membaur dalam sketsa komunikasi yang ramai pula. Sebuah arus kesenian modern yang tidak lagi penyendiri serta pilih-pilih sasaran. Sebuah tradisi seni yang menyerupai anak tangga dimana antara satu dengan yang lainnya saling berpautan menengadah dengan tegak tetapi bersandar saling menunggu isi sementara si pemanjat itu diartikan sebagai banyaknya minat baru. Orang-orang datang mencari banyak hal di sini. Menjadikannya sebuah alat komunikasi yang tak begitu dipersulit. Bisa dipergunakan oleh segenab kalangan, tetapi tetap sebagai mata air yang senantiasa menetes, mengalir menuju lubuk, tempat ikan-ikan kecil berenang dan siapa pun juga bisa ikut berenang.
(Penulis adalah penikmat sastra, dari Ciptagara-Lampung Barat)
No comments