PUISI PUISI KONTRIBUTOR TERPILIH SIMALABA AWARD 2017
Puisi Novi Indriani (Lamongan)
RONA MANJA
Rona cantik …
Atas segala rayu rupa penuh gurau
Bak buih yang terlupakan
Tertenggelamkan atas semunya dunia
Penuh hal yang fana
Menusuk kalbu terdalam
Rona yang menebarkan cantik nan keindahan
Namun simpan seribu jeratan pilu
Yang siap menerkam segala jiwa yang lalai
Yang menghunjam diri yang terlena
Tentang rona yang semu
Lamongan, 15 Mei 2017
Puisi Adriano Julian (Kerawang)
SAYAP HITAM
Sesosok kupu-kupu berhenti jelajahi pekatnya malam
Jiwanya telah terketuk tuk' tinggalkan dunia kelam
Luruhkah dosa jika ia mulai bersujud
Tersenyumkah Tuhan melihatnya kini takut
Helaian sayap hitam patah satu persatu
Berguguran seiring air mata penyesalan
Khawatir nyawa tak lagi miliki dentang waktu
Kepada-Nya ia memohon pengampunan
Sajadah telah tulus terhampar
Lantunan doa-doa suci lirih terdengar
Berharap segala kekhilafan segera memudar
Inginkan kasih suci dari Sang Maha Besar
Inilah ibadah sang kupu-kupu
Rindukan segala pelanggaran bisa tersapu
Tuhan adalah tempatnya berseru
Mimpinya ialah menjelma manusia baru
Karawang, 15 April 2017
Adriano Julian: lahir di Karawang 27 Juli 1992. Ia seorang karyawan di salah satu perusahaan swasta Jepang, di kota kelahirannya. Ia tengah disibukkan dengan persiapan menyambut kelahiran anak pertama
Puisi Fatma Ariyanti (Demak)
RANTAI KOLUSI
Pemakan lintah darat
Berjejer di sepanjang rel kereta
Memenuhi istana
Buruk rupa bertajuk kesetiaan
Membangkang dalam diam
Sesekali mencekik meja hijau
Rupa kekuasaan digenggaman
Bisu, tuli, buta
Mengekang ubun-ubun rantai
Manusia sejenis kepuasan
Terkadang berparodi kemanusiaan
Menjalari aliran darah
Menjilat diantara jilatan
Sampah menjadi berlian
Mengikat satu sama lain
Merantai satu sama lain
Demak, 7 Mei 2017
Fatma Ariyanti: Lahir di Demak, 11 April 1999. Anak kedua dari tiga bersaudara. Hobi membaca komik. Berdomisili di Desa Jleper Kec. Mijen Kab. Demak
Puisi Ainia Praba ( Depok )
MERAIH RINDU DI BAKAUHENI
Kulepas rela di lipatan petang
Seiring laut merangkulmu ke seberang
Betapa enggan kulahirkan luka
Meski berat endap mendada
Selaksa asa gusar beriak
Penantian terpisah ombak
Tahun-tahun riuh berdebur
Bulir kembang rentan mengucur
Kubentangkan sambut kasih
Di mahkota Menara Siger
Biar lenyap sepantai pedih
Buih cinta pun bercecer
Senyummu rekah di sela wajah
Gegas langkah menghalau henti
Lebur sudah kepingan gundah
Meruah rindu di Bakauheni
Ainia Praba: (nama pena), lahir di kota Jepara Bumi Kartini, 18 November. Seorang ibu dari satu anak ini tinggal di Depok. Ia sering menjuarai beberapa event puisi. Karyanya dimuat di majalah Story, majalah GoGirl Magz, web sastraindonesia.org, dan puluhan buku antologi cerpen dan puisi.
CELAH HARAPAN
Takut, rindu dan takjub kini menghadang bersamaan
Keputus asaan tapi penuh harapan
Bagai didikte oleh masa depan
Kaki ini menapaki kerikil dan bebatuan
Ada yang meneduhkan saat mentari seolah memanggang bumi
Aku mengeja warna udara dibalik kaca
Seakan ingin meremas waktu sedemikian singkatnya
Menghilangkan berbagai kegusaran yang tak kunjung reda
Angan ini harus segera menepi
Agar ketakutan dengan hal asing tak lagi menghampiri
Perjuangan masih setia menjadi sekawanan teman
Menuntun diri dalam menemukan hakikat kehidupan
Bukan kemustahilan
Tingginya gunung mampu kita daki
Luasnya laut mampu kita seberangi
Jangan risau semua pasti terlewati
Salatiga, 5 Mei 2017
Dewi Rohmawati: dengan nama pena: Dewi Rasya, pecinta alam, pelantun ayat suci, menuangkan segala yang ia tahu ke dalam bentuk tulisan. Karna baginya sejarah yang paling mudah kita ciptakan ialah tulisan.
Puisi Fatizya Fatim (Kebumen)
PELUK SEPIKU
Sendiri dalam pedih meratapi diri
Tak ada halauan yang akan mengeja
Dulu memang pernah mengerti bahagia
Seindah melodi dalam not-not nada
Tak terpungkiri arti yang begitu gembira
Dengan berbagai cerita dan penuh rasa
Tetapi mungkin kekosongan kini menyapa
Tentang sebuah rasa perih kian melanda
Hanya ada sepi dalam tangis malam
Tawa seolah hilang bersama temaram
Hingga hati dapat peluk sepiku
Tak pelak kalbu semakin memburu
Sanggupkah peluk sepi obati rasa terluka ini?
Luka transparan dan mungkinpula abadi
Hanya butuh kesendirian beberapa jam saja
Untuk segala perasaan sepanjang masa
Sendirian memeluk sepi dan hadirnya bayangmu
Lalu mengapa diri ini tetap terluka dan pilu?
Hatiku hampa tak paham akan kesepian ini
Usir sepi ini jika memeluknya lukaku tak terobati
Siti Fatimah: saya menggunakan nama pena Fatizya Fatim, siswa MA Negeri Kebumen 1 kelas XI.
Puisi Hafiz al Faruqi (Lampung)
HUJAN
Hujan …
Serunai rintikmu mendinginkan bumiku
Kristal-kristal beningmu
Membasahi tanah yang mulai mengering
Serta menghijaukan rerumputan yang telah menguning
***
Hujan …
Begitu mulia dirimu, hingga saat kau turun
Tuhan menetapkan waktu-mu diijabah segala do’a setiap hamba
***
Hujan
Di tengah rintikan airmu
Di antara kilatan petir dan gemuruh guruh
Kusenandungkan do’a untuk dia
Yang kurindukan
Untuknya yang tengah menikmati dinginmu
Untuknya yang sedang bersimpuh dalam keheningan
Semoga ia senantiasa dalam lindungan
Tuhanku dan Tuhanmu
***
Hujan.
Lampung, 10 Mei 2017
Hafiz al Faruqi T: anak kelima dari enam bersaudara. Lahir di Lampung, 11 Agustus 1993. Merupakan seorang mahasiswa di UIN Raden Intan Lampung, pada prodi Pendidikan Bahasa Arab.
Puisi Siti Nor Azizah
(Kalimantan Selatan)
MUNGKIN ESOK
Musim penghujan kembali berlalu
Telah ia tinggalkan jejak di sebuah tebing
Yang mana jiwaku tengah berpijak di sana
Jejak itu dan jiwaku tak pernah adu netra
Tak pernah ada yang memulai
Pun seuntai senyum tak pernah terantar
Angin menamparku
Ilalang berduri ikut mencakar
Mendung pekat juga selalu mengiringi kaki
Mereka tegaskan untuk enyah saja dari sini
Namun, jiwaku tetap kukuh berdiri
Menunggu seseorang datang
Yang kehilangan jejak di tebing curam
Pasintik, 11052017
Siti Nor Azizah: Berdomisili di dekat perbatasan antara Kal-Sel dan Kal-Teng, tepatnya di Desa Pasintik, Kec. Kelua, Kab. Tabalong.
Puisi Tommy Effendy
BINKAI PRAHARA
Sayap-sayap patah membawa jiwaku pergi,
Lenyapkan segala luka
Bersama hati yang tengah memendam rasa
Lenyapkan segala luka
Bersama hati yang tengah memendam rasa
Terbayang akan dirimu
Aku beralun dalam mimpi-mimpi,
Membiarkan hujan menyergap malam-malamku
Aku beralun dalam mimpi-mimpi,
Membiarkan hujan menyergap malam-malamku
Ragu hatiku, tuk berlari mengejarmu
Namun benakku
Tak membiarkan anganmu hilang
Diantara bayang-bayang kelam
Namun benakku
Tak membiarkan anganmu hilang
Diantara bayang-bayang kelam
Semilir angin mengguratkan jiwaku,
Bertanya pada rembulan
Pantaskah deritaku bersanding diantara suka citamu?
Bertanya pada rembulan
Pantaskah deritaku bersanding diantara suka citamu?
Mampukah rasa rinduku terpaut dalam angan-anganmu?
Dan layakkah misteri-misteriku menjamah seluruh kesucianmu?
Dan layakkah misteri-misteriku menjamah seluruh kesucianmu?
Kesendirian telah membawa mimpiku singgah,
Pada hati yang tak pernah memandangku,
Dan kesunyian menghantarkan jiwaku tuk berteduh,
Dari derasnya hujan kesepian,
Namun cinta dan jemariku hanya mampu menyentuh wajahmu,
Dari binkai prahara ini.
Pada hati yang tak pernah memandangku,
Dan kesunyian menghantarkan jiwaku tuk berteduh,
Dari derasnya hujan kesepian,
Namun cinta dan jemariku hanya mampu menyentuh wajahmu,
Dari binkai prahara ini.
05 Februari 2017
Tommy effendy asal pasuruan, jawa timur. Ia mahasiswa fakultas hukum Universitas Islam Malang.
Puisi Rahmat Hidayat (Yogyakarta)
TERBAKAR DI KOBARAN RINDU
Tidak hanya bebintang malam menawarkan warna,
Kalau tidak pada rumpun kata dalam sajak
Segala akan terasa hampa dan semesta tak dapat kita eja
Menyerasikan arah angin ke dermaga,
merapatkan mimpi yang singgah
di bawah temaram cahaya purnama
kita lekatkan pandangan ke arah laut,
sambil meleparkan doa ke samudra
“jadikanlah kami ombak dan perahu
yang mesra menyusuri belantara waktu”
Di keheningan malam ini rindu berlayar dengan bahtera kata
mencari doa-doa ke sebrang, muara air mata cintamu.
Melipat jarak ke sebuah tempat rahasia
yang lama beku menantikan musim semi.
Mengetuk cahaya bagi bunga-bunga hati
yang sempat gugur di atas pusara waktu.
Dalam sunyi jiwa kita terbakar di kobaran rindu.
Yogyakarta, 27/04/2017
Rahmat Hidayat: lahir 23-04-1997 di Sumenep, Madura. Alumni PP. Al-Amien Prenduan tahun 2015, dulunya aktif sebagai anggota Sanggar Sastra Al-Amien kemudian melanjutkan studinya ke UIN Sunan Kalijaga, jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Berdomisili di Wisma Tiban, Jl. Timoho, Gg Genjah, No:19 A, Rt: 04/Rw:01, Ngentak Sapen, 55281, Yogyakarta. Puisi-puisinya dimuat dalam antologi bersama di antaranya Antologi Puisi Kopi Penyair Nusantara, Antologi Puisi “Kala Tuhan Merasa Cemburu” sebagai puisi terfavorit, Antologi Puisi Surabaya Memory 2014-2015 dinobatkan sebagai puisi terbaik, terkumpul dalam Poetry Praire Literature Journal #4 bertema “Dunia Bawah Laut” dan Antologi puisi “Rumput Merah dan Rumput Putih.
Karya Dormauli Justina (Palembang)
RINDU
Tanganku menggenggam erat gambarmu
Lidahmu begitu lugas:
berkisah tentang air mata
Wajah tegasmu menjadi sangat lembut
Tubuh tegapmu menjadi sangat ringkih
Aku tak lagi menggenggam tanganmu
Telingaku tak lagi mendengar tuturmu
Aku hanya punya segenggam kenangan
dan seikat rasa yang indah di masa muda
Bapak, aku rindu....
Palembang, 13 Mei 2017
Dormauli Justina: lahir di Palembang, 12 Agustus 1979. Ia bekerja sebagai PNS. Tinggal di Perum Sekojo Harmony Residence B-16, RT. 26, RW. 10, 2 Ilir, Palembang 30118
Puisi Rahimdiawati Mila Anggraini (Nganjuk)
HATI TERBUANG
Hati diam sesaat.. Dan mulai berbicara kesakitan..
Entah mengapa hati ini terasa perih..
Tak ada sebab yang nyata tuk lukiskan..
Siapakah dia yang terpikirkan hingga sesakit ini??..
Dan mengapa sakit??.. Rasa sakit yang serupa sayatan..
Maafkan hati yang lemah ini..
Yang selalu menangis di tengah tawa..
Katakan padaku apakah hatiku buta??..
Gelap dan menjatuhkan jalan mu..
Aku katakan yang sesungguhnya dalam hatiku..
Aku tak akan pernah sebanding..
Aku tak akan pernah sama..
Aku tak akan pernah pantas..
Bersanding dengan berlian kemilau..
Aku sangat hitam dan buruk rupa..
Bagimu akan merusak semua..
Hati ini terlalu sadar untuk menerima..
Terlalu busuk tuk diterima..
Katakan padaku kau kan membuangku bukan??..
Benarkah?? Ke tempat terjauh kan??..
Aku ingat saatnya..kali itu..
Sekarang aku kan bersiap-siap pergi..
Sempatkan tuk menatapku sekali terakhir..
Hatiku adalah milikmu yang kusam..
Yang tak akan berguna lagi..
Sampai jumpa di pagi esok..
Yang cerah dan kan ku lihat kau tersenyum..
Seakan kilauan berlian itu telah kembali..
Menerangi jalanmu..
Kepergian bukanlah akhir..
Senyuman hatiku kan jadi sampah yang harum..
Dan lama kelamaan kan membusuk bersama kotoran lain..
Darimu indah.. Bagimu menjijikkan..
Selamat tinggal pemilik hatiku..
Nganjuk, 21 April 2017
Rahimdiawati Mila Anggraini: lahir 20 Desember 1999 ini pelajar kelas XI MIPA 6 di SMAN 1 Nganjuk. Berdomisili di Ds. Sumberurip Dsn. Brayung Kec. Berbek. Kab. Nganjuk.
Karya Nur ‘Aini
(Sumatera Barat)
MENGEMBALA
Aku kembali mengembala
Dari pulauku kepulau tetangga
Mencari segudang ilmu dalam persembunyian
Membiarkan kerinduanku tenggelam dalam lautan
Walau ayah dan ibu jauh di mata
Ku yakin hati kita saling berdekatan
Padang, 10 Mai 2017
Nur ‘Aini: Lahir di Bukittinggi 16 Februari 1995. Mahasiswi UIN Imam Bonjol Padang. Memiliki keinginan untuk mengabadikan nama lewat tulisan. Ia tinggal di Jln. M.Yunus, Kel.Lubuk Lintah, Kec. Kuranji, RT 03 RW 01 No 44, Padang, Sumatra Barat
Puisi Dyah Purbo Arum Larasati (Riau)
SAJAK PUTIH
DARI SEPETAK TAMAN KECIL
Ah!
sudah berapa hari pergolakan ini
masih bergulat pada batang yang sama
uh!
terlampau sejuk
peluh menggorok leher mereka
menyiksa kedamaian yang bermain ingkar
jika ode ini terbuat
tentulah helai dedaunan itu
tak berdesir sedarah dan searah
ah!
ya, kita telah dilahirkan berbeda
tapi tak ada salahnya
mencari persamaan dari perbedaan itu
meski itulah susahnya
ketahuilah,
tidak banyak keadaan nanti
mencuri kematian atau kehidupan
dan oh!
terpujilah para putik dan benang sari
kita semua pandai berdeklamasi
mereparasi bagian–bagian hara sendiri
hilir–mudik
bagi si cacing yang kepanasan
jadi perhelatan
korban percekcokan
tapi di mohon
pada ode kali ini
jangan ada bantahan lagi
cukuplah kebiadaban
yang terlampau karat itu
berhenti disini
wahai jiwa–jiwa mati
yang tak ingin mati
aku pahami
dan tentu
aku tau kau masih memahami
tidak
tidak
ya
aku tau kau paham ini
dari sebuah meja hijau sana
dan pergulatan media sini
sudahlah
kita bersihkan taman ini
tak apa
semua ada sanksi
tak apa
akan ada tanggal mainnya sendiri
‘jika memang kau pautkan itu
dengan kematian yang berkesudahan dulu’
sudah
ini selesai
tiada memihak
atau unsur sepihak
Pekanbaru, 11 Mei 2017
Dyah Purbo Arum Larasati, lahir di Kota Bertuah, 7 November 1998. Menulis cerpen, puisi, esai, novel dan naskah drama. Tinggal di Jalan Rose Nomor 31 Kelurahan Labuh Baru Barat Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru, Riau.
Puisi Catur Hari Mukti (Sragen)
LANGKAH DALAM DEGUNG ADZAN
Hidup dalam putaran sujud, tanpa berpaling dari lipatan sajadah
Di masjid hanya ada satu pengharapan, biarkan ia yang menjadi pengotor
Dari siklus masjid yang selalu berganti pakaian, berganti orang-orang singgah,
Berganti bulan demi bulan, berganti penginfak, berganti pemuja,
Biarkan nafas demi nafas membasuh putih masjid dengan doa.
Ia berlari, melangkah, menatap, pulas, terbangun dan terlelap dalam karomah lagi
Di antara lengking demi lengking adzan, degung orang-orang, dan airmata yang
Berterbangan.
Sesekali ia bertemu dengan seseorang, bersalaman, bertukar mushaf,
Dan bertasbih kembali, getar tak akan pernah redup di sisiNya, karena Nya
Tempat kembali, tempat berlari dan berpaling kembali.
Tak ia biarkan setetes peluh berkucur di sajadah-sajadahNya, tak ia biarkan
Semua redup tanpa simbahan harap dan degung demi degung tasbih,
Ia lipat sajadah, ia cuci raganya untuk Tuhan, ia tiupi seatom debu dari sajadahNya,
Ia cuci dan cuci hati Tuhan, berkilau lantai masjid mencerminkan wajah, melafadzkan
Nama-nama Tuhan dalam degungan adzan yang selalu melengking.
Saat doa untuk anak dan istrinya di rumah, dalam gemuruh ia bertakbir menuruti
Orang-orang yang mengambil air putih, mushaf, maqramah, sarung, tasbih,
Minyak zaitun, buku-buku islam bekas, dan Thawb dengan produk baru,
Degung dan degung berkumandang dalam hati.
Langkah yang ditempuhnya sebatas sajadah di pijakannya, matanya hanya pada degung
Adzan. Rindunya pada perputaran roda yang kembali dan berputar kembali.
Tatapan di luar, setajam keyakinannya, ia berlindung pada sisi Tuhannya,
Berlindung, berlindung, dan hanya berlindung.
Sragen, 20.39, 30/04/2017
Catur Hari Mukti: lahir di Sragen 7 Juli 1997. Cerpenis dan Penyair. Karyanya dimuat di beberapa media, buletin, dan memenangkan beberapa sayembara. Mahasiswa fakultas bahasa dan Sastra Indonesia semester 4 Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo. Aktif di SMS (Sekolah Menulis Sragen), RSS (Rumah Sastra Sragen), Paduan Suara Mahasiswa “Aurea Voce” Univet Bantara Sukoharjo, Teater Teras, UKM Olahraga, dan Himaprosa (Himpunan Mahasiswa Progam Studi Bahasa dan Sastra Indonesia).
Puisi Iyut Muzdalifah (Gresik)
HIJRAH SUCI
Diriku mengembara sekian lama
Merpati putih pun menjelma tua
Petang hingga petang ku susuri
berbekal patri iktikad suci
Tiupan angin membelai purnama
berbisik mendekap hamba hina
Akhirat berlinang cinta
Dunia tak ada apa-apanya
Berhijrah dari gurun ke gurun ku layari
demi menghapus lukisan tinta nista di tangan
Jilbab putih nan suci
kini bertudung berserabut pahala
Lidah beracun penjerumus dosa
Berubah jadi ungkapan keindahan lafadz-Nya
Sujud daku
dibawah cahaya hijrah Sang Maha Kuasa
Gresik, 1 Mei 2017
Iyut Muzdalifahkelahiran Gresik, 01 Mei 2001 ini adalah siswi MAN Lamongan yang bercita-cita ingin menjadi penulis terkenal.
Puisi Rakhmad Andhika Dwinandra
(Kendari)
BINTANG PANGGUNG
Aku berdiri di depan cermin
Menyapukan pelan kuas kebohongan di wajah
Menorehkan anggun lipstik dusta di bibir
Menaburkan bedak si penipu
Ya, akulah pemeran utama
Si bintang panggung malam ini
Di atas tak lupa kukenakan topeng
Topeng sandiwara penghias megah
Selalu kupakai di setiap momen
Dunia nyata maupun dunia ilusi
Tidak ada tempat hidup yang lain
Panggung, panggung, meresap ke nadiku
Disinalah aku meresapi kepingan hidupku
Merealisasikan hasrat khayalan-lari dari keputusasaan
Bogor, 19 April 2017
Rakhmad Andhika Dwinandra: lahir di Kendari, Sulawesi Tenggara pada 28 Maret 1990. Lulus di Jurusan Sastra Indonesia, FISIB, Universitas Pakuan, Bogor pada tahun 2015 yang lalu. Karya-karyanya pernah dimuat dalam antologi bersama mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Pakuan dengan judul Mantra Hujan (2012) dan Bahtera Pelangi (2015).
Puisi Irma Mutiara Sari (Ujung Pandang)
KELEMBUTAN KASIHMU WAHAI IBU
Kelembutan kasihmu wahai ibu
Tiada henti tercurah untuk buah hatimu
Setiap saat menyelimuti hampanya jiwaku
Dengan selembut sutera belaian kasihmu
Ketikat aku sakit engkau jadi dokter untukku
Tatkala aku bingung engkau jadi guru untukku
Bila aku menangis engkau jadi sapu tangan untukku
Saat aku tertawa engkau jadi gembira mentapku
Setulus hati engkau mengasuh dan merawatku
Tak mengharap balas jasa semua pengorbananmu
Engkau hanya ingin membahagiakan buah hatimu
Terima kasih jasa dan cinta kasihmu wahai ibu.
Makassar, 1 Mei 2017
Irma Mutiara Sari: lahir di Lajokka, 18 Agustus 1997. Putri dari pasangan Syarifuddin dan Gusniwati. Setelah lulus dari SMAN 2 ia melanjutkan kuliah di jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Ujung Pandang.
Puisi Arief Rahmanto
INTI AIR MATA
Pada kata-kata yang terucap
aku ingin waktu berjanji
akan menghapus inti air mata
dengan seluruh pelukan
arah dan cinta manusia
yang tak bisa sesaat sirna
meski terus berlaku
sampai ketetapan titahNya.
Dan inti air mata
selalu membekas di hati
karena tertusuk kata-kata
yang sempat menyakiti.
Kulon Progo, 3 April 2017
Arief Rahmanto: saat ini sedang menempuh bangku kuliah S1 Prodi Sastra Indonesia di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta
Puisi Nurul Husna Amalia (Medan)
GAUN PUTIH
putih bagai mutiara.
Cemerlang bagai permata.
Dihiasi dengan senyuman jelita.
Dan tatapan yang menggoda.
Wangi semerbak yang merayuku
Segera menjemputmu dari tangan ayahmu.
Dengan percaya kau memegangku dengan erat.
Dan memancarkan pesona yang anggun.
Gaun putih yang menyempurnakan keindahanmu.
Menuju sebuah ikatan yang kekal bersamaku.
Menjadikan sebuah kesaksian antara ikrar,
Yang telah kita ucapkan.
Memberikan keyakinan yang kuat padaku.
Engkau yang sempurna.
engkau wanitaku.
Dan kekal dalam jiwaku selamanya.
Saat ini kita mengikat suatu hubungan yang abadi
Dan telah dipersaksikan oleh semesta
Untuk saling menjaga dan percaya
Hingga, akhir hayat perjalanan antara aku dan kau.
Medan,23 april 2017
Nurul husna amalia: lahir di Medan, 7 Desember 2001. Siswa di SMK Negri 3 medan jurusan Kimia Analisa. Ia berharap setiap karyanya bisa menjadi manfaat bagi banyak orang”.
Puisi Neng Repi (Garut)
PULANGLAH WAHAI KAWAN
Aku melambaikan anganku
pada setiap angin yang menerpa jiwaku
harapku, asaku menyapa hatimu
wahai kawan sejatiku
aku menoreh ingatanku
saat nafasmu masih bersamaku
kita pernah beriringan
kita pernah satu jalan
dulu kita saling mengepalkan tangan
saling menguatkan dari setiap lelah yang menekan
wahai kawanku
pulanglah...
temui aku disudut waktu
yang menggenggam segenap rindu
pada dirimu yang telah jauh dariku
aku merindumu
merindu senyum dan tawamu
Disudut waktu, aku menunggumu
Neng Repi lahir di Garut, 23 Maret 1995. Lulus dari MA Nurulhuda (jurusan IPA) sambil mondok dipesantren Nurulhuda tahun 2015, melanjutkan pendidikannya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil Jurusan Bahasa dan Sastra Arab diFakultas Adab dan Humaniora. Tinggal di Kel. Pisangan, No. 50 Rt 002, Rw 017 Kec. Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan.
Puisi Mellisa Khuza Azzura (Tuban)
KAMUFLASE RINDU
Rei, kau tahu rindu?
Ialah binar dari netra birumu
Lesung dari kedua pipimu
Dan ikal dari rambut panjangmu
Rei, kau kenal rindu itu?
Ialah aku yang melihatnya dari jauh
Menikmatinya dengan lidah keluh
Berkamuflase pada pandang yang kubuang
Tatkala kau sadar mata lain sedang memandang
Rindu ini menyetia, Rei
Serupa riak ombak yang selalu menepi
Atau serupa embun di pagi hari
Dan ialah jiwa dalam tiap larik puisi
Untukmu Rei, kekagumanku
Tuban, 14 Mei ‘17
Mellisa Khuza Azzura lahir di Tuban sejak 08 Oktober 1995. Beberapa sajak puisinya tergabung dalam beberapa buku antologi puisi bersama.
Puisi Ningrum Zahrohtul Janah ( ? )
RINDUKU DI PERUJUNGAN JALAN
Sudah setahun, kah?
Sejak jejak-jejak terakhirmu rapih menapak
Sejak jejak-jejak kaki jenjangmu menemaniku menapak
Menghitung mundur satuan jarak
Dengan langkah, mencari perujungan jalan
Sudah seabad, kah?
Sejak terakhir kali aksesori jalan di sini terlihat menawan
Tak menyisakan perihnya buih kenangan
Aduh, aku sangat lemah bila dibandingkan kerinduan
Jalanan ini diam, namun rindu di sini mencekam
Dibanding ragamu yang kurindu
Di sana bayangmu lebih nyata menyemu
Di perujungan jalan yang tak satu pun berlalu
Di perujungan jalan yang rinduku padamu tak kunjung berujung
SMAN 1 Simpang Empat, Februari 2017 TAHUN
Puisi Nurul Amirah
(Bangka Belitung)
DIAM CARAKU
Dalam diam ku
Langgam elok penjawab salammu
Mencuaikan terpaan angin berderau
Hingga tembus mengenai qalbu
Menyandang status harammu
Bukanlah yang kumau
Melainkan Allah Maha Tahu
Baik-buruk untukku
Allah melukiskan Zulaikha-Nya
Allah mengisahkan Khadijah-Nya
Allah menuturkan Aisyah-Nya
Dengan segenap penantian cinta
Diamku membayangkan cinta
Kau dan aku tak akan kemana
Kita selalu menjejaki dunia bersama
Jika Allah menghendaki-Nya
Ridingpanjang, 5 Mei 2017
Puisi Faris Al Faisal
RINDU KARAM CINTA TENGGELAM
Api padam gelap mencekam
Angin malam membuat kelam
Apalah kutanam hendak kuketam
Aduhai bersemayam luka terendam
Mawar hitam bertabur riam
Kabut diam menyelimut guam
Reda redam hati kusam
Seperti godam kepala terhantam
Hari suram hujan menyiram
Dalam cekam menggigit geraham
Rindu karam cinta tenggelam
Hanya tuam hangatkan demam
Indramayu, 15 Mei 2017
Faris Al Faisal lahir dan di Indramayu. Sehari-hari menjadi pengajar di sebuah sekolah dasar di Kandanghaur. Sebagai penggiat sastra menulis banyak fiksi dan non fiksi
Alirman Kampai
(Sumatera Barat)
IRADAT CINTA
Cinta itu iradat untuk kita semua
Anugerah Illahi semesta alam
Bersemai dihati mengakar pada urat jiwa
Menerbangkan sejuta angan-angan siang malam
Ketika cinta itu bercahaya
Sukma kita menghimpun beratus simponi kerinduan
Rindu dalam cinta asmara berdua
Mengirim rasa ingin dalam pertemuan
Cerita bercerita pada perjalanan
Tentang masa kini, juga akan datang
Curhatan dari mimpi-mimpi dan angan
Secercahpun kisah tak luput terbuang
Tapi ..., bila cinta rindam campur luka
Sungai di jiwa terasa mengarung jeram
Gelisah hati harapanpun hampa
Hancur rasa tusukan mendalam
Begitu rasa
Begitu cinta
Iradat Yang Maha Kuasa
Maklum terpulang pada kita semua
Payakumbuh, 03042017
Alirman Kampai: lahir di Kabupaten Limapuluh Kota-Sumatera Barat menulis karya fiksi dan non fiksi, dan Kaligrafer. Lebih kurang telah menulis 350 puisi, cerpen 25, artikel/ karya ilmiah 100 lebih. Sudah puluhan kali sebagai Kontributor Terpilih dari berbagai Penerbitan, dengan karya dibukukan.
Ayu Damayanti (Ngawi)
SAMPAI TUA NANTI
Yang pernah kita dengar kawan, persahabatan akan hilang seiring masa.
Ikatnya merenta lalu terputus begitu saja.
Namun bolehkah kusangkal itu
dan menggandengmu dengan tangan lemahku?
Adalah aku si bintang kecil yang menyanyi lagu bersamamu.
Menyemat senyum atas bahagiamu.
Ikut perih atas dukamu.
Aku lapuk.
Kau datang menguatkan.
Kokoh tekadmu menyambung asaku.
Menopang si harap ringkih yang nyaris ambruk terseret angin.
Sampai tua nanti.
Kalau boleh,
aku ingin tetap jadi sahabatmu.
Ngawi, 14 April 2017
Ayu Damayanti, lahir di Ngawi 26 Juni 1998. Penulis bertempat tinggal di Ngeljem RT 02 RW 01, Gendol, Sine, Ngawi. Mulai menulis tahun 2009. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa Inggris, IAIN Surakarta angkatan 2016.
Puisi Eka Wahyu Ningsih (Surabaya)
HAJAR ASWAD
Terperosok kaki setiap langkah
Tangan mengais di tanah
Gigi beronggah terasa sepah
Karena hanya seonggok pelepah
Lekat-lekat mata memerah
Tergambar penat tiada arah
Getar bibir tahan amarah
Bukankah kita serumah?
Emak,,, Bapak,,,
Mengapa kulit kita tak kompak?
Kakimu juga berduri landak
Padahal sama-sama terlindung gapyak
Kita seatap
Kulitmu tampak mengkilap
Sedang tak kau izinkan aku tersentuh asap
Aku meratap
Warna apa itu yang melekat
Punggungmu, tanganmu, semua terlihat pekat
Ku usap-usap berharap minggat
Namun tak juga terangkat
Padahal juga bukan tahi lalat
Apalagi jaket berkarat
Aku ingat
Itu hajar aswad
Bukan batu
Bahkan lebih mulia dari itu
Bukan karena hitam aku menganggap aswad
Emak,,, Bapak,,,
Berharap mencium, memelukmu
bagaikan hajar aswad
Surabaya, 19 April 2017
Puisi Muhammad Rizqan (Kalimantan Selatan)
ADA APA DENGAN ANGIN?
Angin … kemana kau membawaku
Terbang mendayu-dayu
Bersama dedaunan keriput layu
Melayang-layang ku di buatmu
Melingkar tajam di langit biru
Lalu lalang menyayati kalbu
Ada apa gerangan …!
Terpampang kau terjerat sendu
Berderu tersedu-sedu
Seolah-olah kau tersedak segumpal rindu
Deraian air matamu mengembun pilu
Menyelimuti cakrawala kian kelabu
Burung-burung berlalu lugu
Di hantam gundah gulana membisu
Tangisanmu …!
Membasahi dunia berbias salju
Kehangatan meredup ngilu
Leluasa membakar kirana hidupku
Mentari seakan-akan kian berdebu
Ku mohon … katakanlah sesuatu …!
Jangan hanya merintih sendu ….
Ku mohon lenyapkan itu …!
Dengan senjata bidikan jitu ....
Bersama-sama kita bercumbu ….
Banjarbaru, 2 Mei 2017
Karya Hariyanto (Sumenep, Madura)
DIA SI KEMBANG DESA
Kukirimkan asmara melayu dari singgasana sunyi
Tuk jemput sebongkah kata yang terselipkan rindu di dalamnya
Kupu-kupu menari terhenyak dan terkagum
Bunga mekar tertegun dan tak hayal
Pohan merunduk tunduk menjadi teduhan cinta
Di sana lorong asmara yang jauh pun di depan mata
Dan terpukau oleh dirinya yang bagai melayang pada semesta dan cakrawala
Menuju lubuk hati yang terdalam
Kuikatkatkan tali cinta di dalamnya
Itulah dia sang ratu kesunyian
Oleh harumnya yang bertabur permata dewa
Akupun kini selalu terpikat samudera lensanya yang sayu
Hingga nanti, akupun berhayal
Kau didekapku pada suatu malam sunyi
Yang berbaring cinta kita berdua
Pada ranjang bahtera
Hariyanto lahir di desa Gersik Putih 09 Februari 1999 kecamatan Gapura, kabupaten Sumenep. Ia adalah santri di PP Nasy`atul Muta`allimin Gapura Timur, Gapura, Sumenep.
Puisi Anisa Rahayu
BALADA DARASUTA
Pun bumi makin berpeluh pada ujung malam
Semakin menyesaki rongga-rongga baja
Angin berkhianat pada orang-orang yang dilimbung senja
Pun deru liar duri-duri mata bajak yang melukai dinding kaca
Pada setiap nadi yang ditancapkan di ulu hati
Purnama tak mau menyesali diri
Ia cukup mengerti orang-orang mati
"Darasuta, ambil suluhmu! Kita bakar ramai-ramai!"
Jingga membelah air mata
Saban malam ia merayap di detak jam atom
Membiarkan peluh menari di atas suluhnya
"Darasuta! Jingga di pipimu adalah nyata.
Renjana di tanganmu adalah lima puluh bunga angsoka.
Pergilah kau Darasuta! Bawa suluhmu! Bakar bulan betina itu!"
Malam semakin berkhianat
Darasuta memotong rambut malamnya
Mendekap suluh yang padam.
Bandung, 2017
Anisa Rahayu: lahir di Bandung, 21 September 1999. Ia tinggal di Kp. Astaraja Ds. Margahurip Rt 01 Rw 03. Kec. Banjaran Kab. Bandung. Siswa SMAN 1 Banjaran Kab. Bandung, kelas XI IPS 4. Aktif dalam organisasi Pers Sekolah. Prestasi yang pernah diraihnya antara lain : Juara I Lomba Baca Puisi FLS2N Tk. Kabupaten 2016, Juara II Lomba Fotografi Agroforce Unpad 2016, Juara I Lomba Esai PEF Unpad 2016, Juara I Resensi Buku Cerita Rakyat 2016, Juara 1 Lomba Cipta Puisi Kakaban Unpad 2017, Juara 3 Lomba Esai Kakaban Unpad 2017, novelnya berjudul Menyeka Hujan Kelabu pernah diikutsertakan dalam lomba Ceris tingkat Nasional Kemenag RI. Buku kumpulan puisi pertamanya berjudul Kisah yang Telah Usai diterbitkan penerbit Desfira Pressindo (2016) dan beberapa puisinya dimuat di laman Balai Bahasa Jawa Barat.
Puisi Dinda A Oktavia (Yogyakarta)
SAJAK UNTUK PECUNDANG
Malam ini aku melihat senyum manis sang rembulan
Malam ini aku merasa sangat hangat
Dan malam ini aku merasakan dirimu ada disampingku
Kamu, yang sedari dulu mengajakku keluar di saat bulan bersinar
Mengajakku bergurau dan menghitung bintang
Tetapi malam ini timbul pertanyaan dalam benakku, dimana dirimu berpijak saat ini ?
Masihkah di hati yang sama ?
Aku merindukanmu, aku merindu kehadiranmu diantara langit yang begitu cerah
Sudahkah kamu melupakan aku ? sampai disinikah perjuangan yang kamu janjikan ?
Tidak ingatkah dirimu yang menantiku diseberang jalan setiap sabtu malam
Sudah lupakah dirimu aku harus mengendap melewati pintu belakang untuk bertemu denganmu dan melebur rindu
Tak ada lagikah dalam ingatanmu kau menjemputku sekolah setiap hari sabtu ?
Apakah kau tak mampu mengingat janjimu, bahwa kau dan aku akan memperjuangkan kita ?
Berjuang agar aku tak lagi harus mengendap lagi saat bertemu denganmu ?
Aku kecewa, aku benar-benar kecewa padamu
Kamu melupakan semua pengorbanan kita, kamu melupakan janji-janjimu
Setelah 5 tahun kamu menghilang aku kembali melihat senyum manis itu
Tapi sayang, sapaan lembut itu tak kembali hadir, bahkan yang aku tau, telah ada tangan manis yang berada dalam pegangan eratmu
Aku memang sudah tidak berharap lagi untuk bersama denganmu, dan berjuang besamamu
Aku hanya ingin datang dan bertanya sampai dimana pengorbananmu, dan pengorbaan kita ?
Dan semua telah terjawab, ternyata semua yang kau janjikan hanyalah bualan belaka
Dan hal ini menyadarkan kebutaanku selama ini bahwa kamu bukan pejuang yang seharusnya aku tunggu
Kamu hanya pecundang yang menyerah saat badai masalah menerjang
Berbahagialah dengan dara yang tidak harus kau perjuangkan lagi
Tapi ingatlah, untuk mendapatkan mutiara kau perlu menyelam kedasar laut dan mengambil kerang
Untuk mendapat emas kau perlu menggali dan melewati banyak proses
Tapi untuk menemukan dan mendapat sampah, dimanapun kau berada kau pasti akan mendapatkannya dengan mudah
Terimakasih untuk pelajaran yang begitu berharga
Yogyakarta, 19 April 2017
Dinda A Oktavia: lahir di Bekasi 25 Oktober 1996. Mahasiswa D3 Politeknik ATK Yogyakarta
Tinggal di Jln Parangtritis km 4,5, Saman, Sewon, Bantul, Yogyakarta
Puisi Aliem Musthafa (Madura)
SEIRING MENTARI TERBIT
Seiring mentari terbit kubuka kisah pagiku
bersama pematang di tepi sawah.
Sepasang kakiku berlari-lari kecil
mengejar angin yang suka hinggap
pada batang-batang padi yang lelah.
Embun-embun mengintip cemas
dari balik tepi rumput-rumput hujau menghampar
berbisik-bisik lirih dengan sesama
seperti menggumamkan nasibnya sendiri
yang akan segera luruh ditelan tanah.
Tubuhku mulai basah dalam lima puluh
langkah. Kaos kutanggal membuka dingin.
Sekawanan burung betina riuh di atas dahan
duwat, sepasang matanya nyalang melotot
paruhnya menganga meleleh iler melihat
tubuhku telanjang dada berotot.
Sumenep, 12 Maret 2017
Aliem Musthafa: lahir, besar, dan tinggal di Kota Ukir Karduluk, Sumenep. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab di Intitut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-guluk Madura. Menulis karya fiksi berupa puisi dan cerpen.
Karya Alvie M Rizki
(Kabupaten Bandung)
SAYAP PUTIH KELABU
Berjuta ukiran kata
Tersurat indah memprosa
Buihkan puisi, tidak ternoda
Terkenang suci di setiap helai tinta bersutra.
Mentari bersua
Mempersunting dentuman lelangkah
Perlahan, merayap sirna
Terselimuti kelabu, tanpa asa.
Tersentakku dalam angan
Masa lalu nan penuh kenangan
Merangkul, mendekap jiwa penuh kehangatan
Hingga daku terlelap di pangkuannya.
Tanpa sadar bongkahan kristal mencair
Basahi relung pori kecil di pipi
Di sini, di pamah ‘tak berpuan
Sayap-sayap harapan; berkelabu.
Bandung, 09 April 2017
Alvie M.Rizky, berdomisili di kab. Bandung barat kec. Pacet, Tepatnya Kp.Babakan Negla Rt 04/09 desa Maruyung kode pos 40385. Ia kelahiran Bandung, 08 Maret 1997. Ia juga menggantungkan cintanya menjadi penulis, guru, dan sutradara.
Puisi Ahmadi shalehuddin
(Sumenep Madura)
BERJALAN MENUJU KOTA
Aku berjalan menuju kota
Kala senja menyimpan luka,
Kutitipkan rumah dan keluarga
Pada setumpuk awan jingga
Trotoar-trotoar kulewati
Melepas gelisah disetiap langkah telah sirna,
Kulempar asa pada langkah yang masih tersisa
Dan kubiarkan keringat terus mengucur mengikis lelah
Aku berhenti sejenak
Menatap senja sedang menepi
Hingga aku berjalan kembali
Diiringi lantunan-lantunan puisi
Gapura, 2017
Ahmadi shalehuddin lahir 06 Juni 2000 ini nyantri di PP. Nasy’atul Muta’allimin Gapura Timur Gapura Sumenep Madura. Ia mengenal sastra ketika memulai pendidikan di Nasy’atul Muta’allimin. Aktif di berbagai organisasi diantaranya adalah sanggar RELAKSA dan Komunitas ASAP. Beberapa karyanya telah di bukukan dalam antologi bersama. Dia
Puisi Aldila Rizki Kartika Dewi GM
(Jatim)
SERANGKAIAN KATA
Tik tik tik
Lama tak jumpa dentuman itu
Lembaran baru pun tergores sedikit
Kenangan usang manis terlibat pula
Aku pun mulai rancu akan diriku
Hujan pun meneduhkan rasaku
Rasa semula pandangan pelangi
Kabur bak kabut pagi hari
Lelah terasa tertinggal
Beranjak lah aku seketika
Sampai jumpa perih dan bahagiaku
Puasku senyum pun mengernyit kecut
Malang, 31 Maret 2017
Aldila Rizki Kartika Dewi Gustinur Maharani: lahir di Ambon pada 27 Agustus 1997. Tinggal di Ds. Kalianyar RT/RW 003/002 Ds. Ngunggahan Kec. Bandung Kab. Tulungagung Jawa Timur. Saat ini kuliah Jurusan Bahasa dan Sastra Arab (BSA). Fakultas Humaniora di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Puisi Diah Natalia (Jakarta)
CINTA DAN BENCI
Mulut beradu dengan Ibu
Lalu maut iri
Diapun beradu dengan Ibu
Hingga Ibu menyerah dan pergi
Oh, Kau kasih
Kabar pun aku dapati
Dari tanganku sendiri
Tak pelak ada yang berani
Berkata Ibu telah mati
Jatuhnya cintaku tak sampai ke Ibu
Pertanda dibantah satu per satu
Mengantar Ibu ke peradu
Dengan nyanyian merdu
Sejak aku tak ber-mahkota
Ibu memilih tetangga sebagai akhir kata
Adat istiadat terjalani
Penjelasan Ibu tak bernyata
Saat Ibu berkalang tanah,
Aku tak mampu menemui
Karena duka yang dunia berikan...
Duka ku kehilanganmu, Bu
5 tahun tiada kata Kau ucap
5 tahun Bu...
Kau goreskan prosesi kepergianMu
Ibu tak mau dengar
Tak mau lihat
Bagaimana seorang anak dharma
Yang mencinta
Dunia juga akhirat
Dia tau masa di depan
Namun Ibu pergi tanpa percaya
Benciku masih menyelamatkanMu-Bu
Itu sesalku
Tuhan,
Apa Ibu lebih baik pergi?
Supaya Ia tau besarnya Cinta-Benciku?
Dengan kalang tanah, sepi, dan gelap?
Sementara aku anak-Mu Bu
Hidup tanpa nama
Entah siapa...
Mengenang-Mu Bu, 3 tahun silam
Jakarta, 17 April 2017
Diah Natalia: lahir di Jakarta, impiannya adalah memiliki satu buku yang bisa menjadi inspirasi dan best selle.
Puisi Elfiyan Khafi Lah
(Sumenep, Madura)
ANYIR-NYINYIR-SIHIR SAMPAI KHIDZIR
hijrah ke kotamu
setelah kepergian nabinabi di sisi-Nya
kerang dan perahu lelahkan ombak
tak padam dalam sarkas tarian api
tarian mimpi pagi sebelum disapa qamari
begitu kemaren,
berita tentang khidzir yang membunuh anak kecil
tukang sihir yang sekian kalinya anyir
spekulasi nyinyir setelah remang menatap senja
ketika laut terpenggal hujanpun gelombang.
Elfiyan Khafi Lah: dilahirkan di desa kecil Pakandangan Barat Kecamatan Bluto Sumenep Madura, 29 Agustus 1990. Mulai menulis sastra sejak masih duduk di kelas VIII SMP sekitar tahun 2003 hingga sekarang. Alumni STKIP PGRI Sumenep jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ini.
Puisi, cerpen, dan artikel penulis pernah dimuat di beberapa buletin lokal pesanten dan kampus di sumenep. Diantaranya buletin Sangsi PP. Nurul Huda Pakandangan, buletin Al-Hasyimi PP. Attaufiqiyah, Buletin Tidar PP. Annuqayah, dsb. Tahun 2017 ini, karyanya terpilih sebagai juara 1 dalam Sayembara Cipta Puisi se-Madura. Adapun Antologi Puisi bersamanya yang pertama akan segera terbit, ‘Seharusnya Kita Tak Saling Rindu’ (Rumah Kayu Publishing, 2017). Tinggal di Jalan Raya Saronggi-Lenteng Kambingan Timur Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep.
Puisi Heriwati simanullang
(Sumatera Utara)
BUNDA
Di berbagai tantangan
Panas Teriknya matahari, hujan,hembusan angin
Kau menghadapinya segalanya dengan kuat
Tak pernah kau kenal kata lelah
Tak pernah kau kenal kata malu
Tak pernah kau kenal kata mengeluh
Kau korbankan segalanya demi masa depan anak-anak mu
Bunda..........
Betapa besarnya pengorbananmu
Wajahmu yang dulu mulus
Kini mulai keriput dimakan usia
RambutMu yang dulu hitam kini mulai memutih
Bunda.........
Akan ku ingat selalu pengorbanan Mu
Akan ku junjung Namamu
Sampai akhir hayatku
Medan, 17 April 2017
Puisi I Gede Ariawan (Bali)
API RINDU
Di saat sepi mengundang gelisah
Di saat malam menawarkan lara
Bayangmu hadir menyalakan api rindu
Bukan menerangiku ketika berselimut gulita
Bukan menghangatkanku ketika gigil mendamba
Justru membakarku menjadi abu nestapa
Hingga tersapu oleh dersik pelantun duka
Dengan apa harus kupadamkan?
Akankah dengan rinai dari pelupuk netra?
Ataukah bersua di bawah terangnya purnama?
Tapi ragamu tiada lagi menemaniku
Engkau telah tertawan dalam gundukan pilu
Biarlah api rindu ini merajamku
Hingga kutemukan secangkir asmara yang baru
Bukit Jimbaran, 11 April 2017
I Gede Ariawan: lahir di Takedan, 21 Juni 1997. Ia berdomisili di Klungkung, Bali. Saat ini ia tengah menempuh S1 di jurusan matematika Universitas Udayana Bali.
Puisi Izuddin Amri
(Lombok Timur, NTB)
KEMATIAN YANG TENANG
Ketika ruh harus berpamitan
Kepada raga yang lemah ini
Di jemput oleh dewi kematian
Di bawa dengan lembut
Menuju Tuhan sang pencipta
Tak seorangpun kan dapat menunda
Kerinduan ruh pada Tuhannya
Raga hanya dapat tersenyum
Kepada ruh yang berpamitan
Ketika ruh berkata” Sampai jumpa raga, waktuku telah tiba”
Raga hanya dapat diam
Memandang ruh yang pergi
Sembari tersenyum dan menutup mata perlahan
Lombok Timur,12 April 2017
Izuddin Amri: alamat NTB, Lombok Timur, Selong, Sandubaya, Reban Tebu RT 15. Siswa MA Mu’allimin Pancor
Puisi Ining Rustini
(Arab Saudi)
USIA
Bertambah tahun kehidupan
Kematian menunggu di
depan
Berkuranglah usia di kemudian
Kematian menunggu di
depan
Berkuranglah usia di kemudian
Tak terasa setengah abad melalang buana
Mencari perubahan nasib
Tetaplah kuasa ditangannya
Kehidupan tiada yang sempurna
Mencari perubahan nasib
Tetaplah kuasa ditangannya
Kehidupan tiada yang sempurna
Akhir dari sebuah cerita
Hanyalah renta dan kembali kepadanya
Meraih mimpi tanpa nyata
Akhirat tumpuan
Keabadian di sana
Hanyalah renta dan kembali kepadanya
Meraih mimpi tanpa nyata
Akhirat tumpuan
Keabadian di sana
Puisi Muhammad Lutfi
KOTA PATI
Padi menghampar luas di setiap jalanan
Menghijau setiap mata memandang
Menari-nari bagai gelombang laut diterpa angin
Gunung-gunung tinggi tertusuk dingin, tertutupi kabut pagi hari
Burung-burung bertengger di pucuk ranting pengharapan
Menyanyikan lagu merdu sebuah kedamaian
Bagi para petani yang bekerja turun ke sawah
Bumiku Mina Tani,
Melimpah ruah kekayaan Ibu Pertiwi
Ikan-ikan sumber kehidupan para nelayan pesisir
Teruslah hidup rukun dan damai,
Masih selalu lugu dan sopan
Simbol orang kelahiran Pati
Nasi gandul dan bandeng presto terasa lezat bagi pesona asing
Di hulu kenikmatan bagi para pengunjung
Aku merasakan kenikmatan dari kota kelahiranku,
Tempatku tumbuh dan berjuang
Pati Bumi Mina Tani,
Warisan kita dari amanat Ibu Pertiwi
Surakarta, 23 April 2016
Muhammad Lutfi: tinggal di Desa Tanjungsari, RT.01/ RW.02, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah.
Puisi Miftah Shofiyah Novianti
(Lampung Barat)
CERITA DI UJUNG MARET
Tata raga oleh di rasa,
bina jiwa kala mendung mencengkrama.
bina jiwa kala mendung mencengkrama.
Di titik asa ku lukis cerita
kuncup bunga anugrah semesta,
ujung pandang pinang muda
tatkala senja membayangi rindang beringin tua.
kuncup bunga anugrah semesta,
ujung pandang pinang muda
tatkala senja membayangi rindang beringin tua.
Mengerti sekejap
terbelalak mata kejora
tertunduk malu di teras surau tua tanpa setetes air mata.
terbelalak mata kejora
tertunduk malu di teras surau tua tanpa setetes air mata.
Miftah Shofiyah Novianti: lahir di Lampung Barat, 1 November 1999. Tinggal di Air Hitam, Lampung Barat. Saat ini sekolah di SMA Negri 1 Way Tenong. Puisi-puisinya terangkum dalam buku EMBUN PAGI LERENG PESAGI.
Puisi Maulana Zandra
(Solok, Sumatera Barat)
SINGGAH SEUTAS SENYUMAN
Dering genggam yang terpesona
Yang meluap dalam ucapan
Untuk meronakan ayunan perkataan
Dalam seutas tali persaudaraan
Tak tersangka nyiur yang menyapa
Dalam kelembutan lantunan suara
Yang mengiang-ngiang dalam daun telinga
Untuk mengingat-ingat siapa yang menyapa
Kembang desa kah yang menyapa
Kusangka tak terlintas ulasan katanya
Menyimpang ke arah siulan daratan
Yang tak membasahi bibir daratan
Begitukah nasib tak terkenang
Dalam denyutan nadi yang hilang
Karena lantunan jiwamu
Yang akan selalu terkenang
26-03-2017
Maulana Zandra: Asal solok, lahir di Bukittinggi 19-07-1998, saat ini masih sekolah di ‘Aliyah Sumatra Thawalib Parabek Bukittinggi
Puisi Septi Pristiwati (Banyumas)
SATU KEINGINAN
Menjamah ilalang di tengah hutan
Menggali mutiara di tengah laut
Meramu segala wajah ibu pertiwi
Meracik menjadi rupa nan elok rupawan
Teralis pintu penghalang raga
Jendela besi penghantar suara
Panas mentari sebarkan peluh
Tetesan hujan lepaskan dahaga
Sunyi malam kerap menakutkan
Lolongan serigala membangunkan kecemasan
Piring – piring beterbangan
Tangisan si kecil hilangkan keceriaan
Hanya ada satu keinginan
Kembalikan pesona alam
Tumbuhkan sejuta rindang
Sebagai tempat naungan
Dengan segala keharuman
Banyumas, 20 Maret 2017
Septi Pristiwati ( Umi Say ): tinggal di Banyumas, Jawa Tengah.
Puisi Ratno Antiarno (Tangerang)
PUTIH-PUTIH KELABU
Ranting-ranting kering tak berembun
Pasukan bangau putih telah berkumpul
Mencari tempat untuk beradu
Hiruk pikuk dalam kebingungan
Letih lelah tak punya Alaskan
Hanya menutupi kebohongan
Hanya menutupi kebodohan
Hanya menutupi pepesan kosong
Pasukan bangau putih telah berkumpul
Mencari tempat untuk beradu
Hiruk pikuk dalam kebingungan
Letih lelah tak punya Alaskan
Hanya menutupi kebohongan
Hanya menutupi kebodohan
Hanya menutupi pepesan kosong
Siapa bilang dia itu putih
Siapa bilang dia suci
Dia itu Kelabu
Dia itu kaum penipu
Siapa bilang dia suci
Dia itu Kelabu
Dia itu kaum penipu
Puisi Qiey Romdani
(Sumenep, Madura)
PEREMPUAN PAGI
Aku adalah air mata penistaan
Lahir dari rahim dendam
Sedangkan orang tuaku bernama cita-cita dan angan
Aku dilahirkan pada waktu pagi
Tempat keributan masa kini
Banyak orang menganggapku taman subur
Subur kebencian dan penderitaan
Sampai kapan aku meratapi nasib ini
Memulai lembaran-lembaran suci?
Kalau kamu melihat pagi
Di situlah perempuan setengah bayang
Berjalan tertatih menuju perdamaian
Tak ada satu pun membantunya
Dan sia-sia harapannya
Pada siang dan malam
Aku mati untuk sebentar
Dan hidup memulai pagi
Pulau Garam, 28 Februari 2017
Qiey Romdani lahir di desa Gersik Putih 09 Februari 1999 kecamatan Gapura, kabupaten Sumenep. Ia adalah santri di PP Nasy`atul Muta`allimin Gapura Timur, Gapura, Sumenep. Kini masih duduk di kelas XII MA jurusan Agama. Aktif menenulis di sanggar RELAKSA dan ASAP. Ia nulis puisi, esai, kolom, cepen dan lain-lain. Dan Puisi-puisinya terkumpul di berbagai antologi bersama: Kalau Aku Mati Besok (WA Publisher: 2016), Akuarium dan Delusi (Antologi 1000 Penyair Terpilih Nusantara:2016), Dairy Ramadhan (Mawar Publisher Masher:2016).
Puisi Siti Tunariyah
(Jawa Tengah)
BINTANG
Bintang itu indah
Bercahaya digelapnya gulita
Kufikir, aku bisa meraihnya
Sebagai hiasan hati yang renta
Tapi, dia terlalu sulit tuk dieja
Apalagi tuk diraih dan dilekatkan dalam dada
Siti Tunariyah: Lahir di Batang, 17 Juni 1999. Mulai menyukai dunia kepenulisan sejak duduk di bangku SMP. Namun, baru ia kembangkan ketika dia duduk di bangku SMA. Selain puisi ia juga menulis cerita pendek. Saat ini ia tercatat sebagai siswi kelas XI ipa di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bandar.
Karya Taliyatul Kholilah
(Depok, Jawa Barat)
CINTA DALAM DIAM
Berbisik hati ini menyebut namamu
Bertabur cinta di dalam aurora
Kilapan cahaya kesunyian
Mendekap erat di hati
Cinta yang tak bisa diungkapkan
Tak selamanya tak tahu
Angin sepoi-sepoi berbisik hati
Seolah-olah memberi tahu
Hamparan pasir di padang gersang
Bagaikan cinta dalam diam
Sebutir pasir yang bertaburan
Sunyi sepi akan arti ketenangan cinta yang damai
Taliyatul Kholilah: Tinggal di Kp. Sengon Jl. Pindahan III Gg. H. Karim RT/RW. 03/10 Kel. Pancoran Mas Kota Depok
Karya Satria Janisar (Banyuwangi)
DANSA TERAKHIR
Ada suatu masa yang takkan lapuk dalam hidupku
Yaitu saat di mana hanya kita berdua
Menikmati indah manisnya cinta kita
Pada malam itu kita berdansa
Di tepi pantai dengan ombak yang mendesah
Dengan iringan alunan piano nan merasuk jiwa
Kita terus dan terus berdansa
Tanpa peduli waktu yang berjalan
Siapa sangka siapa menduga
Itu adalah akhir pertemuan kita
Ternyata kau mengajakku berdansa
Untuk berpisah denganku selamanya
Ternyata kau simpan lara selama ini
Yang tak pernah kupahami dan kuketahui
Kini kau pun telah pergi
Tapi dansa terakhir itu akan selalu kuingat
Bersama cintamu yang akan selalu melekat
Satria Janisar lahirkan di Banyuwangi, Jawa Timur, pada tanggal 17 September 1995. Akrab dipanggil Janisar. Anak bungsu dari dua bersaudara pasangan (Alm). Bagus Adam dan Marishi Cita Kartika ini adalah mahasiswa di Pendidikan Sejarah Universitas Jember semester V. Meskipun lahir di Banyuwangi, namun sejak umur dua tahun hingga sekarang yang bersangkutan tinggal di Bondowoso, Jawa Timur.
Karya Rais Amin
(Sumenep, Madura)
KOPI RINDU KEKASIH
Di beranda yang sesak olehmu
mennyeduh kopi
Sama artinya menyalakan kenangan itu
Aku menjadi ampas
Seolah-olah hidup Adalah cangkir
Yang kuisi bubuk dan gula
Di tanganku dengan jarimu.
Aku kehilangan sajak
Tapi aku menemukan rindu
Pada setiap cicipannya
Harapku kurang manis
Tak mengikis sepi rindumu
namun ribuan lebah malu malu manghampiriku
mencerna nectar di setiap sisi cangkir
menjadi puisi semanis madu
kopi terus berubah
ada yang tetap hangat
dari waktu ke waktu di setiap cicipannya
rindu bergetar
saat terrbenam di matamu
Gapura,29 Maret 2017
Rais Amin lahir di kota Sumenep. Ia adalah santri di PP Nasy`atul Muta`allimin Gapura Timur, Gapura, Sumenep. Kini masih duduk di kelas XII MA jurusan IPS. Aktif menenulis di sanggar RELAKSA dan ASAP. Puisinya termuat dalam antologi bersama penantian (2016) dan bingkisan cinta buat ibu 2016.
Puisi Tri Lande (Rokan Hilir, Riau)
RINDU DALAM KESENDIRIAN
Rinduku sampai di puncak keegoisan
Setiap langkahnya meyayatkan luka
Aku yang hanya diam
Membiarkan rindu mempermainkan
Mata ini memandang kekosongan
Mencoba mengimajinasikan harapan dan impian
Aku sempat tersenyum tipis
Kala kenyataan menatapku sinis
Berdiri aku bersama bayangan
Menatap lekat keindahan bulan
Lagi-lagi aku tersenyum muram
Kala menyadari diriku yang sendirian
Rindu yang kejam
Ku titipkan kau lewat rintik hujan
Sampaikah ia?
Hati yang malang
Ku hibur kau lewat nyanyian
Terhiburkan kau?
Temaram malam menemaniku dalam kesendirian
Redup cahaya bulan memberi ketenangan
Ku biarkan segala lelah mendesah
Dan ku nikmati rindu yang tak berujung ini
Berharap terbayar di pagi nanti
Tri Lande lahir di Tanjung Leban, Kubu, Rokan Hilir, Riau pada 10 November 1997. Sekarang tinggal di Jermal XIV Kec. Medan Denai, Kota Medan, Sumatra Utara. Menulis adalah hobi anak sulung Caslim Aminudin dan Mum Sriwati ini, sehingga ia memutuskan mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Medan.
Karya Tias S. Astuti (Klaten)
KAWAN KESEPIAN
Saat kaki lelah berlari
Otak tak mau lagi berpikir
Hati tak bisa diajak kompromi
Apa daya diri tersindir
Hiruk pikuk dunia enggan menyapa hari
Matahari mulai redup
Sedang bulan menyembul malu-malu
Bintang gemintang hilang tertelan awan
Terkapar kecemasan beralasan
Hilang bersama tiupan angin
Tersapu badai tertelan bumi
Kesepian yang dialami
Bercerita berbagi suka lara
Tawa ceria tersemat dalam lisan
Sedih hati tersembunyi dalam sunyi
Bersama kawan menepis sepi
Tias Susiana Astuti: anak ke-7 dari 9 bersaudara bercita-cita menjadi penulis dengan nama pena Tyas Adzra sejak SMP. Alamat RT 02/001, Pondok, Karanganom, Klaten 57475.
Puisi Y. S. Sunaryo (Ciamis)
RINDU DI SEPOTONG ROTI
Di mana engkau harus kutunggu
Ketika rindu tak berkidung syahdu
Berlalu mengais ambigu
Telusuri jalan terjal berliku
Seperti rembulan sepertiga malam
Indah namun tak dinikmati
Berlalu rona temaram
Ditelan pagi sinar tak disesapi
Jiwaku tertumbuk lagi
Menyerpih perih sendiri
Dipeluk angin sepi
Tanpa sedikitpun yang berempati
Ke mana para penikmat pergi
Membawa jantung, otak dan nurani
Dimakan tanpa bertanya nyeri
Berlalu seribu kaki
Siapa yang lupa diri
Ketika rindu enggan dicari
Kecuali aku membawa sepotong roti
Senyumanmu pasti berseri kembali
Ciamis, 22 April 2017
Puisi Eka Fajrina Haryati (Semarang)
BUMI TANPA BULAN
Oh bumiku..
Bumi yang bulat seperti bola kristal..
Engkau tak pernah lelah..
Tuk Berputar siang dan malam..
Namun apa daya manusia..
Jika bumi tanpa bulan..
Langitpun akan selalu panas..
Dan tak adannya malam yang indah..
Oh Bulan..
Janganlah engkau menghilang..
Hanya karena kau tak bisa menyapa bumi..
Bumi yang indah ini..
Jika tanpa adanya kau..
Bisa merubah kehidupan manusia didalamnya..
Jika bumi tanpa bulan..
Dampaknya terhadap pasang surut..
Perubahan jumlah jam dalam sehari..
Manusia tak dapat melihat bulan sabit..
Bulan purnama..
Ataupun gerhana bulan..
Eka Fajrina Haryati: lahir di Kendal, pada 31 Januari 1999. Ia merupakan mahasiswa di Universitas PGRI Semarang, prodi Bimbingan Konseling. Saat ini ia tinggal di Jl. Dr. Cipto Kp. Lasipin nomor 339, Semarang. Dia memiliki hoby membaca novel.
Puisi Siti Nuraeni (Bandung)
HANYA DEBU DI AIR KERUH
Jauh jiwaku menyeberangi asa
Cita hanya menjadi kunang yang tak mendekat
Tersapu angin yang menghembus
Semu keinginan yang telah kokoh
Diinjak oleh kesadaran sirna
Kelam ini membukakan solusi
Ternyata debu itu berair
Ombang-ambing memantaskan keberanian
Sesuap bahagia cukup ku dapat
Karena rintihan rembulan datang sebelum fajar tiba
Menyelamatkan kerja keras berkacamata
Siti Nuraeni: Lahir di Bandung, 10 Agustus 1996. Tinggal di Jl. Desa no. 42 rt 06/02 kelurahan Babakansari, kecamatan Kiaracondong. Bandung 4028. Mahasiswi Sastra Sunda UNPAD.
Karya Titik Nurafifah Kamila (Tegal)
PADAMU
ALAM PUN MERINDU
Ku dengar semilir angin berbisik merdu
Bisikkan cinta pada jiwa yang merindu
Cinta yang takkan lekang oleh waktu
Rindu yang kian menderu dalam kalbu
Ku dengar gemericik air mengalir
Alirkan rindu yang tiada mampu terhilir
Rindu yang kian abadi mengukir
Rindu yang tiada mungkin dapat ku pungkir
Ku dengar ribuan burung berkicau
Kicauan rindu yang buatku kian mengacau
Rindu pada sosok yang buatku terpukau
Namun raga tak mampu dapat ku jangkau
11 April 2017
Titik Nurafifah Kamila lahir 3 November 1999, mempunyai hobi menulis sejak masih duduk di bangku SMP. Mulai dari flash fiction, cerpen, puisi, artikel bahkan novel. Ia adalah siswa kelas XII SMK Tegal jurusan Teknik Komputer.
Puisi Ratu Amani Azzahra (Pandeglang)
WANITA SURGA
wanita surga
aku datang ingin menjemputmu
membawa kedunia
memberikan sejuta
aku datang ingin menjemputmu
membawa kedunia
memberikan sejuta
bahagia kelak
wahai wanita surga
indah bagai permata
cantik menawan hati
sejatinya kumiliki
wahai wanita surga
engkau datang tebarkan pesona
engkau datang berikan keindahan
dan engkau datang dalam diriku
engkau datang tebarkan pesona
engkau datang berikan keindahan
dan engkau datang dalam diriku
setiap hari
(Pandeglang 06/04/2017)
Ratu Amani Azzahra Lahir di Pandeglang 19 Desember 1999, menulis puisi di buku hariannya dan majalah dinding sekolah. Diam diam dia suka mengirimkan tulisannya ke media lokal dan media online. Saat ini menjadi santri Madrasah Aliyah kelas XI di Ponpes Al Gifhari Al Bantani Karangtanjung Kab Pandeglang.
Puisi Tika Lutfia Ningsih (Salatiga)
PUN SEKARANG ENTAH ESOK
Sekarang...
Aku berhenti untuk menanyakan
Menanyakan pada bulan yang merindu
Merindu sepertiku, aku malam yang kelabu
Kelabuku adalah bait-bait sendu yang pilu
Piluku tersibak semu yang melulu tentangmu
Arungi saja lautmu sendiri!
Biar saja tersapu angin ke samudera penuh duri
Melihatmu menghilang, pelan, tak berbayang
Airku mengkristal tak beraturan, berjatuhan
Pun sinarku tak berpendar, redup keremangan
Esok...
Jangan tanya esok!
Menunggumu tetap saja menyebalkan
“Aku bahagia untukmu!”
Tidak! Waktu tidak sesederhana itu
Masihkah kau adu aku dengan dadu keberuntunganmu?
Mungkin aku tersudut dalam kerinduanku sendiri
Pun sekarang entah esok,
Aku tak ingin bertengkar dengan takdir
Bila masih bisa aku berjalan, biar aku lanjutkan
Pun sekarang entah esok,
Aku masih saja menunggu
Entah dirimu entah masa lalu
(Salatiga, April 2017)
Tika Lutfia Ningsih, tinggal di Salatiga. Lahir pada tanggal 02 Juli 1996. Mahasiswi semester 6 Tadris Bahasa Inggris (TBI) IAIN Salatiga. Menyukai dunia baca sejak kecil. Sering mengikuti kegiatan tulis-menulis sejak duduk di bangku menengah atas. Saat ini aktif mengikuti Lembaga Pers Kampus (LPM) Dinamika, sebuah organisasi kampus yang bergerak di bidang kepenulisan..
No comments