Edisi Jum'at, 11 Agustus 2017_ PUISI PUISI APIN SURYADI (Pandeglang-Banten)
Dari Redaksi:
Kirim Puisi, Esai, Cerpen, Cersing (Cerita Singkat) untuk kami Siarkan setiap hari ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com beri subjek_LEMBAR KARYA HARIAN MAJALAH SIMALABA
PUISI PUISI APIN SURYADI
WAKTU TAK SEPERTI KEMARIN
waktu tak seperti hari kemarin
berjalan kian menepi
lengah mengubah haluan
aku begini ya begini saja sendiri
detik ke detik bagaikan pedang membelah lautan
kesadaran yang menyeretku ke pusaran
bahkan menepi di buritan
ujungnya aku tidak pernah tahu
untuk siapa menunggu?
aku terlena fatamorgana
jam adalah penentu mayapada
manusia hanya bisa mengira
sungguh waktu telah menjadi sia-sia
sesal kemudian tak berguna
(Pandeglang, 2017)
UDARA DI ALUN-ALUN PANDEGLANG
pagi jalan kaki
udara masih berkabut di alun-alun
kulihat tetesan embun
setia hinggap di daun daun
menjadi teman dalam taman
jangan tanya burung-burung berkicau di sini
ia tak lagi akrab dengan gemuruh kota ini
mereka lebih berlari ke hutan yang masih asri
mencari habitat sendiri
lihat di pinggir alun-alun
malam hari keremangan cuaca
dari tangan pendek sepangkal ketek
dan rok pendek sepangkal paha
bukan soal tabu lagi,
adalah hal pemandangan biasa
setiap orang senang berdatangan
berebut alasan kesegaran cuaca
menghirup aroma kuliner kabupaten kota
sudah menjadi berita
(Pandeglang, 25 Mei 2017)
TITIPAN
kau ingin titipkan aku bunga
pada setiap mesra
dan hanya aku yang disinggahi duka
kau bersamanya dan aku sendiri
Sebab tak bisa ada harapan lagi
dari genggaman yang terpatri
waktu yang terus merayu
aku mencoba bertahan dulu
dari sergapan pilu
dan aku tak mungkin lupa
dari doa yang selalu terjaga
(26/2/2017)
SEPERTI DALAM ADONAN
seperti dalam adonan kue terigu
kuaduk- aduk dicampur air dan zat pewarna
serupa itu cinta kelabu bukan saja di malam minggu
malam yang lain pun seperti itu.
seperti dalam adonan kue terigu
d ilumat-lumat hingga tanganmu luput
hasilnya, kau hidangkan untuk orang-orang tercinta.
Cinta yang memabokkan. Seperti itulah cinta apa adanya?
Cinta yang pada akhirnya gagal transpran,
lahirlah kemunafikan dan pengkhianatan
seperti adonan diaduk-aduk hingga lumat
(2017)
SEPERCIK AIR MENGALIR
Sepercik air mengalir di kehidupan
Adalah undangan yang menggelayuti pikiran
Tentu saja tanda tanya
Siapa yang membikin lubang sumur di matamu
Lubang yang terus kau gali
Mengalirkan air kehidupan
Yang paling ngeri
Ujung matamu melihat penderitaan
Orang orang lapar dari pengungsian
Dan orang-orang kekeringan di mulutnya
Sedikit dahaga bila airmata menjadi
Tetesan di bibirnya.
Bibir orang-orang pengungsi yang setiap saat
Mengalirkan air darah di setiap tenggorokan
Sebagai oase kehidupan
(8/4/2017)
Tentang Penulis: Apin Suryadi, Peminat sastra, tinggal di Pandeglang Banten. Pengelola anak asuh RA Al Dzikro. Puisinya bertebaran di media massa. Buku kumpulan puisi bersama Embun Pagi Lereng Pesagi, buku antologi tunggal “Menatap Cahaya” dan tengah menggarap 2 buku puisi lagi.
No comments