HEADLINE

KOMITE SASTRA DEWAN KESENIAN LAMPUNG (DKL) AKAN TERBITKAN BUKU ANTOLOGI PUISI DAN CERPEN




PENERBITAN ANTOLOGI PUISI DAN CERPEN MUTAKHIR LAMPUNG


Salam kreatif,

SEBAGAIMANA kami sampaikan sebelumnya (baca: Sastra Bertumbuh dari Bumi Ruwa Jurai: Upaya Melacak Jejak Sastrawan Indonesia di Lampung), Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) bermaksud menghimpun karya-karya (puisi dan cerpen) sastrawan Lampung dalam dua buku:
1. Antologi Puisi Mutakhir Lampung
2. Antologi Cerpen Mutakhir Lampung.

"Sastrawan Lampung" yang dimaksudkan dalam project ini adalah sastrawan Indonesia (menulis dalam bahasa Indonesia) yang memiliki hubungan emosi dengan Lampung: (a) lahir di Lampung, (b) tinggal/berdomisili di Lampung, (c) pernah bermukim, sekolah, kuliah, dan berkarya di Lampung.

Kami mengundang, penyair dan cerpenis seperti dimaksud untuk mengirimkan karya terbaik berupa
- puisi sebanyak 6 (enam) judul dalam satu file
- cerpen sebanyak 2 (dua) judul dalam satu file.
Sertakan biografi naratif singkat sepanjang maksimal 15 baris, alamat, email, nomor HP/WA dan foto dalam pose santai. 

ke email: bukulampung@gmail.com

Ditunggu paling lambat 30 November 2017

Naskah yang masuk akan melalui kurasi oleh Tim Antologi Puisi dan Cerpen Lampung. 

Penulis yang lolos kurasi dan karyanya dimuat dalam buku akan diberikan 2 (dua) eksemplar buku sebagai nomor bukti. 

Silakan. Terima kasih. Tabik. 

Bandar Lampung, 25 Juli 2017

Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung
Udo Z Karzi (HP: 0821 8392 9651)
Christian Saputro (HP: 0813 6943 5789)
Fitri Yani (HP: 0822 8058 4660)

------------------
SASTRA BERTUMBUH DARI BUMI RUWA JURAI: UPAYA MELACAK JEJAK SASTRAWAN INDONESIA DI LAMPUNG*

FAKTA menyebutkan Lampung adalah sebuah kekuatan lokalitas yang tak bisa diabaikan begitu saja. Bagaimana misalnya, kain khas Lampung yang disebut tapis mencuat ke permukaan, membuat orang berdecak kagum pada pesona dan kemegahan kain adat ini. Tapis yang tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional tahun 2013 dari Kementerian Pariwisata dan Budaya ini tampil ke berbagai perhelatan dunia. Elfin Pertiwi Rappa yang mengenakan busana tapis dengan paduan mahkota khas Lampung Siger sukses menyabet Miss Intenasional 2014 di Jepang. Pada ajang Mister Internasional 2015 di Korea Selatan, Kevin Hendrawan, pemenang L-Men of The Year 2014, mengenakan baju dari kain Tapis yang dirancang Rendie Arga. Lalu, Anindya Kusuma Putri di ajang Miss Universe 2015 di Las Vegas, AS, mengenakan baju berbahan Tapis karya perancang asal Lampung Mia Ayunda Sari. Tapis juga pun tampil dalam ajang bergengsi Olimpiade 2016 lalu dan menuai banyak pujian.

Belakangan destinasi pariwisata Lampung pun mulai dikenal luas, mulai dari wisata pantai Tanjungsetia, Pulau Pahawang, Teluk Kiluan, Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) hingga Danau Ranau. Berbagai budaya lokal yang kental juga ada di Lampung yang dikenal sebagai Indonesia mini. Lampung yang memang memiliki letak strategis sebagai pintu gerbang Pulau Sumatera sejati sejak dulu sebenarnya banyak memainkan peran penting yang dalam hubungan antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, bahkan dan dalam konteks keindonesiaan. Lampung yang menjadi lumbung pangan bagi Pulau Jawa. Ada kopi Lampung, lada Lampung, dan berbagai komoditas penting lainnya.

Namun, apa boleh buat, fakta lain menyebut Lampung sebagai sebuah nama tidak bisa tidak masih menyimpan banyak perkara yang cenderung negatif. Sebut saja masalah begal, kekerasan, konflik sosial, dan berbagai bentuk kriminalitas. Semua nilai lebih Bumi Ruwa itu seperti tenggelam oleh citra buruk daerah ini. Sampai-sampai, sekali waktu anggota Dewan Redaksi Media Group Djadjat Sudradjat mengatakan, "Satu-satunya yang menyelamatkan Lampung adalah sastra." Dan benar, geliat dan pertumbuhan sastra dan sastrawan -- tanpa mengabaikan bidang seni yang lain -- di Lampung luar biasa menggembirakan. Sudah sewajarnya jika Iswadi Pratama mengatakan, "Bicara Lampung ya bicara sastra". Kritikus Nirwan Dewanto sempat menjuluki Lampung sebagai Negeri Para Penyair. Bahkan, melihat denyut kesenian di Lampung, sastrawan Putu Wijaya menyatakan, "(Ibu kita Provinsi Lampung) berpotensi menjadi Kota Budaya".

Sekarang, kita bicara sastra di Lampung saja. Siapakah sastrawan Lampung? Kalaulah yang dimaksudkan adalah sastrawan yang menulis dalam bahasa Lampung, tentulah sedikit. Orang yang menulis dalam bahasa Indonesia dan tinggal di Lampung atau sastrawan Indonesia yang tinggal di Lampung, lumayan banyak juga. Tapi, bagaimana dengan sastrawan lahir, pernah tumbuh-kembang, pernah bersekolah/kuliah, pernah bekerja, bermukim, dan berkarya di Lampung? 

“Saya diakui sebagai sastrawan Lampung nggak ya?” tanya Tita Tjindarbumi, penulis kelahiran dan besar di Lampung, tetapi sekarang bermukim di Surabaya. Pertanyaan serupa juga bisa diajukan, antara lain Alya Salaisha-Shinta (Bekasi), Alex R. Nainggolan dan Asrina Novianti (Tangerang), Nersalya Renata (Jakarta), Hazwan Iskandar Jaya dan Eko Sugiarto (Yogyakarta), Sumasno Hadi (Banjarmasin), dan Agus Sri Danardana (Riau). 

Pamusuk Eneste melalui Buku Pintar Sastra Indonesia (diterbitkan Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001) mencatat beberapa nama sastrawan yang memiliki hubungan emosi dengan Lampung: 

• Aan Sarmany Adiel HA, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 27 Desember 1956. Kumpulan sajaknya: Serai Serumpun (1973), Desa Tercinta (1974), Bermalam di Alam Mimpi (1976), dan Transpersal (1987). 

• Ahmad Julden Erwin, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 15 Juli 1972. Ia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung. Karyanya dalam kumpulan sajak bersama, di samping mengeditori kumpulan sajak bersama Daun-daun Jatuh Tunas-tunas Tumbuh (1995). 

• B. Yass, Pemimpin Redaksi Lampung Post (1959). Ia lahir di Hutapadang, Kisaran, Sumatera Utara, 1929. Karyanya: Halimah Srikandi (novel, 1962) dan Minah, Gadis Peladang (novel, 1964).

• Diro Aritonang, lahir di Kalianda, Lampung, 3 April 1957. Kumpulan sajaknya: Kesadaran (1979), Penyair Bawah Tanah (1981), dan Akar Rumputan (1996).

• Hazwan Iskandar Jaya, (tidak disebutkan) ia besar dan bersekolah di Lampung. Lahir di Tanjungraja, OKI, Sumatera Selatan, 1969. Cerpen, sajak, dan esainya dimuat di berbagai antologi bersama.

• Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 5 Juni 1958. Kumpulan sajaknya: Darah (1982), Badai (1984), Akhir (1986), Lukisan Ombak (1992), Cermin Langit (bersama Ari Setya Ardhi, 1994), dan Kembali Ziarah (1996).

• Iswadi Pratama, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 8 April 1971. Karyanya dalam antologi bersama, di samping mengeditori kumpulan sajak Daun-daun Jatuh Tunas-tunas Tumbuh (1995). 

• Iwan Nurdaya-Djafar, lahir di Tanjungkarang, Lampung 14 Maret 1959. Pernah menjadi Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL). Karyanya: Seratus Sajak (bersama Sugandhi Putra, 1989). Terjemahannya: Hidup, Cinta, dan Petualangan Omar Khayam (karya Manuel Komroff, 1990), Tipologi: Sebuah Metoda Memahami Islam (karya Ali Shariati, 1991), Sang Nabi (karya Kahlil Gibran, 1999), Bagi Sahabatku yang Tertindas (karya Kahlil Gibran, 1999), dan Kematian Sebuah Bangsa (karya Kahlil Gibran, 1999).

• K Usman, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Berkala Pelajar di Lampung (1960). Lahir di Palembang, 11 Agustus 1940. Karyanya: Seorang Pendatang (kumpulan cerpen, 1964), Olga Penari Danau (novel), Di Tepi Jurang (novel), Perasaan Ibu (kumpulan cerpen), Puisi Rumah Kami (1987), dan Keindahan Perempuan (kumpulan cerpen, 1997).

• Motinggo Busye, lahir di Kupangkota, Bandar Lampung, 21 November 1937, meninggal di Jakarta, 21 November 1999. Dramanya, Malam Jahanam (1958) mendapat Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama Bagian Kesenian Departemen P & K tahun 1958 dan cerpennya, “Nasehat untuk Anakku” mendapat hadiah majalah Sastra tahun 1962. Karyanya yang lain: Malam Jahanam (novel, 1962), Badai Sampai Sore (drama, 1962), Tidak Menyerah (novel, 1962), Keberanian Manusia (kumpulan cerpen, 1962) , 1949 (novel, 1962), Bibi Marsiti (novel, 1963), Hari Ini Tidak Ada Cinta (novel, 1963), Perempuan Itu Bernama Barabah (novel, 1963), Dosa Kita Semua (novel, 1963), Tiada Belas Kasihan (novel, 1963), Nyonya dan Nyonya (novel, 1963), Sejuta Matahari (novel, 1963), Matahari dalam Kelam (kumpulan cerpen, 1963), Nasehat untuk Anakku (kumpulan cerpen, 1963), Malam Pengantin di Bukit Kera (drama, 1963), Buang Tonjam (legenda, 1963), Ahim-Ha (legenda, 1963), Batu Serampok (legenda, 1963), Penerobos di Bawah Laut (novel, 1964), Titian Dosa di Atasnya (novel, 1964), Cross Mama (novel, 1966), Tante Maryati (novel, 1967), Sri Ayati (novel, 1968), Retno Lestari (novel, 1968), Dia Musuh Keluarga (novel, 1968), Sanu, Infita Kembar (novel, 1985), Madu Prahara (novel, 1985), Dosa Kita Semua (novel, 1986), Aura Para Aulia: Puisi-puisi Islami (1990), dan Dua Tengkorak Kepala (1999).

• Naim Emel Prahana, saat ini bermukim di Kota Metro, Lampung. Lahir di Kota Donok, Rejanglebong, Bengkulu, 13 Desember 1958. Pernah menjadi pemimpin radio swasta di Metro (1987-1989), redaktur harian Tamtama dan anggota Dewan Kesenian Lampung. Sajak-sajaknya dimuat dalam antologi Sajak Kaca (1985), Kasih Tuan (1985), Bruekechlag (1988), Solidaritas (1991), Orbit Poros (1992), Kebangkitan Nusantara I (1994), Sagang (1994), dan Dari Negeri Poci 3 (1996).

• Oyos Saroso H N, wartawan Lampung Post. Lahir di Banyuurip, Purworejo, Jawa Tengah, 16 Maret 1969. Ia menulis sajak dan cerita anak-anak. Sajak-sajaknya dimuat dalam antologi Dari Bumi Lada (1996) dan Batas Diam Matahari (1996).

• Panji Utama, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 25 Agustus 1970. Ia pernah menjadi anggota Komite Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung (1993-1996). Sajak-sajaknya dimuat dalam kumpulan sajak bersama Mimbar Abad 21 (1996). Mengeditori kumpulan sajak bersama Daun-daun Jatuh Tunas-tunas Tumbuh (1995). 

• Sugandhi Putra, lahir di Kotabumi, Lampung, 6 Januari 1962. Kumpulan sajaknya: Kiblat (1987) dan Seratus Sajak (bersama Iwan Nurdaya-Djafar, 1989). Sajak-sajaknya yang lain dimuat dalam Antologi Puisi Indonesia 1997 (1997). 
Membolak-balik Ensiklopedia Sastra Lampung yang disusun Agus Sri Danardana dkk (diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Bandar Lampung, 2008) terdapat nama-nama: Achmad Rich, Ari Pahala Hutabarat, Asaroeddin Amzuch (Asaroedin Malik Zulqornain Choliq), Budi Hutasuhut (Budi P Hatees), Dahta Gautama, Djuhardi Basri, Edy Samudra Kertagama, Inggit Putria Marga, Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, Iwan Nurdaya-Djafar, Juperta Panji Utama, Arman AZ, Motinggo Busye, Naim Emel Prahana, Oyos Saroso HN, Sutjipto, Syaiful Irba Tanpaka, Y Wibowo, dan Zulkarnain Zubairi (Udo Z Karzi).

Di luar itu, ada Agus S Santo (alm), Andy Wasis, Binhad Nurrohmat, Christian Heru Cahyo Saputro, Gunawan Pharrikest, Ivan Sumantri Bonang, Maspril Aries, M Sidik Mustofa Ycfourts, Robi Akbar, Kus Winarto, dan Ugoran Prasad. Beberapa tahun terakhir muncul: Alexander Gebe, Alex R. Nainggolan, Anton Kurniawan, Arya Winanda, Dina Oktaviani, Dyah Merta, Edi Purwanto, Eli Harda, Fajar, Fitri Yani, F Moses, Hendri Rosevelt, Heru Antoni, Ika Nurliana, Imas Sobariah, Imelda Matahari, Jafar Fakhrurozi, Jimmy Maruli Alfian, Lila Ayu Arini, Shantika Lupita Lukman (Lupita Lukman), Nersalya Renata, Nurzain Kutabatu, Muhamad Amin, Muhammad Harya Ramdhoni, Oky Sanjaya, Rarai Masae Soca Wening Ati, Ratna Dewi Barrie, Rilda A Oe Taneko, Rosita Sihombing, Susilowati D. Gustian (SW Teofani), Tarpin Nasri, Yoga Pratama, Yuli Nugrahani, Yulizal Fadli, Wahyu Heriyadi, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie , dan … tentu data sastra(wan) ini masih belum lengkap. Ada banyak nama tercecer. Semoga yang lain segera terlacak.

Jadi, berapa banyak sih sastrawan Lampung? Yang jelas, hampir setiap minggu, ada saja karya sastrawan -- yang lahir, sempat bermukim, sekolah, kuliah, dan berkarya, serta yang saat ini tinggal -- (di) Lampung yang dimuat berbagai koran se-Indonesia. Ada banyak antologi yang memuat karya mereka. Beberapa di antaranya ada yang memenangkan lomba sastra. Beberapa leksikon, ensiklopedia, dan buku pintar sastra juga mencatat nama-nama sastrawan Lampung.

Dewan Kesenian Lampung (DKL) sebagai mitra Pemerintah Provinsi Lampung di bidang kesenian; berkali-kali menerbitkan kumpulan puisi dan cerpen. Buku Gerimis (dalam Lain Versi) (2005) misalnya, menghimpun karya 11 penyair dan 2 cerpenis. Sebelumnya Komite Sastra DKL menerbitkan Antologi Cerpen Lampung (1996), Festival Januari Penyair Lampung (1996), dan Cetik (antologi puisi dan cerpen, 1998). DKL juga menerbitkan buku puisi dan buku cerpen tunggal sastrawan Lampung. Terakhir, DKL menerbitkan Hilang Silsilah yang memuat karya 12 cerpenis dan 17 penyair dari generasi 1980 sampai 2013.

Akhirnya, dengan melihat situasi perikehidupan kesusastraan di/dari Negeri Ujung Pulau, Komite Sastra DKL memutuskan untuk menghimpun karya para sastrawan ini dalam dua buku:
1. Antologi Puisi Mutakhir Lampung
2. Antologi Cerpen Mutakhir Lampung
Ketentuan dan teknis akan diatur kemudian. 
Semoga upaya ini bisa berjalan lancar. Terima kasih. Tabik.

Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung
Udo Z Karzi
Christian Saputro
Fitri Yani 

No comments