HEADLINE

Edisi Jumat, 15 September 2017_ Cerpen ENDANG A (Jakarta)_MENTARI DI LANGIT BIRU

Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE MAJALAH SIMALABA
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)




Cerpen Endang A

MENTARI DI LANGIT BIRU


Arin melampiaskan amarah kepada ombak yang  menghampiri kisahnya siang ini. Dia di temani oleh Arya, pemuda baik hati yang bersahabat dengannya sejak dari sekolah SD dulu. Mereka itu laksana sepasang kekasih. Arin melukis wajah Mas Decah di pasir putih dengan rasa yang berkecambuk di dadanya. Semua rasa bersatu bagaikan gado gado Bik Surti penjual kantin di kantornya. Rasa itu terbentuk manis di atas pasir putih. Kemudian ombak menghajarnya dan hilang seketika.

"Hai ombak! Lenyapkanlah juga hatiku agar kumpulan sakit ini tak menyarang." Arin berteriak memaki ombak.

"Hai petir! sambarlah otak sahabatku ini, biarkan Dia sadar bahasa kehidupan." Kata Arya.

Kemudian mereka beradu argumen di atas badai ombak yang menghantamnya, dari ombak kecil hingga besar dan membasahi seluruh tubuh mereka. Arin hanya ingin tenggelam dalam lautan, sebab terlalu banyak kesakitan yang tak mampu di bahasnya dalam kehidupan. Dari awalan benjolan membentuk hingga berkembangnya menjadi banyak mampu dia menguasainya tetapi saat kehilangan penyemangat hidup, maka reduplah kekuatan itu.

Entahlah, sudah berapa banyak hati yang dia patahkan demi cintanya pada Decah. Namun Decah tak pernah memahami ketulusan yang dia berikan. Awal september adalah tangisnya yang pecah berhamburan ke trotoar jalan, memacetkan ruang perjalanan, bertemankan banyak racun tacun pembunuh jiwa, sebab jalan yang dia pilih hanya menghilangkan nyawa.

Rona ceria telah lepas dari pengamatan alam, Arya hanya memonitor sebab dia tak mampu berbuat banyak. Ratusan nasihat hanya menjadi sampah di matanya, sebab serbuk kehancuran hanya ada di bola matanya. Sejauh perjalanan hidupnya baru kali ini Arin mencintai pria melebihi kadar cintanya pada dirinya sendiri, seolah nyawa sudah tiada artinya lagi, dia tak menghiraukan apapun selain membunuh napasnya yang terlalu sesak oleh belukar yang tumbuh begitu subur dalam ruangannya. Arya terus memonitor Arin, dia begitu mencintai Arin dari ketegarannya dalam hidup sampai kerapuhannya pada cinta. Kadang Arya bertanya pada ombak, mengapa Arin tidak dapat mencintainya, dia tidak jelek, tidak miskin dan tidak egois, dia bahkan tulus mencintai tanpa keinginan untuk tersambut, dia hanya ingin nerada di sampingnya hingga ajal memisahkannya.

"Arin, sudahlah! Ayo pulang, esok cahaya akan lebih terang dari hari ini."

"Tunggu Mas! Racunku belum habis tertelan."

"Stop! Jika ingin mati, silahkan! Aku mau pulang."

"Asikkk ..! Bye bye Sayang!" kemudian pingsan.

Arya membawanya ke rumah sakit, namun dokter berdecak kagum.

"Entahlah! Makanan dan minuman itu membunuh racun dalam tubuhnya, kesehatannya membaik." kata Dokter.

"Maksud Dokter, Dia ...!" 

"Ya, Dia membaik, benjolan di tulang punggungnya kempis dan kesehatannya membaik, 30 persen."

"Alhamdullilah." kata Arya.

Arya selalu bertanya pada langit di atas sajadahnya, entah apa rahasia yang akan terungkap dari kisah perjalanan Arin. Semakin dia mencoba menghabisi nyawanya semakin membaik pula keadaannya. 

"Mas Arya!"

"Ya Sayang."

"Kenapa Mas selalu selamatkan Aku?"

"Karena Mas belum ingin melihat mayatmu, Mas masih ingin nyawamu bersama Mas."

"Pergilah, Mas! Penantianmu akan sia sia, Aku hanya cinta Mas Decah."

"Iya Mas Paham, Sayang."

Arin kembali menutup mata seolah enggan melihat dunia walau hanya sejenak saja. Sudah beberapa hari pun dia tidak selera menulis, walaupun sering dia bersajak lepas, namun tidak ditulisnya, hanya di kemukakan di atas kasur empuk berenda biru rumah sakit di mana aromanya membuat Arin muak. Kemudia Arin melepas biji sajak tanpa sadar.

"Hai langit biru di ufuk selatan jalan layang
engkaulah kesakitanku terbesar dalam masa jenuh ini
ruang tunggu yang kehadirannya ingin kurasa, tak jua nampak
sedang denyar hidup kembali tereja waktu
walau sudah kucoba matikan bisingnya
namun matahari selalu saja memasuki pori pori tubuhku
membuat mata mampu melihat riuhnya dunia pasar menawarkan basa basi morgana."

Arya mencoba merangkainya dalam lembaran, dia ingin mengikut sertakan puisi puisi itu dalam lomba. Sudah banyak puisi yang di lemparkannya dalam event dan menang. Sungguh otak Arin masih mampu menampung helaian kata dalam banyak situasi kesakitannya. Hal inilah yang membuatnya kagum pada Arin. Walau rapuh dia masih bicara aksara, bahkan melejit hingga menjadi juara. Saat Arya memberikan sertifikatnya dia hanya melirik tanpa semangat, seolah kertas itu hanyalah angin lalu. Di dinding panti Arya menjejerkan sertifikat Arin, untuk mengabadikan hasil buah pikirannya saat rapuhnya dan saat cerianya. Anak pantipum banyak menguras air mata, sebab bunda tersayangnya terkapar tanpa jiwa.

"Dear Anak anak panti, Arinku akan membaik, tunggulah Ia datang dengan cahaya baru dalam wujud paling indah di antara bintang yang terlukis di mata langit." kata Arya membujuk Farhan untuk berhenti menangis.

"Iya Mas." jawab Anak anak panti.

Arya memberikan uang hasil puisi Arin yang menang dalam lomba. 

"Ini dari Arin Bunda Hesti, Dia kirim salam buat semua penghuni panti, esok Dia pulang dan akan menjadi manusia baru."

"Terima kasih, Dek Arya sudah mau menjaga jiwa kami di sana." kata Bunda Hesti.

"Iya Bunda, Aku tulus menjaganya, semoga Dia mampu menginjak mentari di langit biru ujung jalan merpati dua, tempat mimpinya selama ini bersemayang."
"Iya Dek Arya, semoga Kita bisa melihat Dia kembali bercahaya."

"Amin." serentak.

Arya membuat vidio liputan anak anak panti saat berkunjung, hal ini membuat Arin sedikit bergerak hatinya, air mata menetes, betapa selama tiga bulan ini dia menelantarkan jiwa jiwa itu. Jiwa yang pernah membentuknya menjadi karang, hingga mampu melewati segala badai yang menyerangnya hingga tubuhnya terpental, tapi tidak tumbang seperti saat ini. Kekuatannya dia bangkitkan kembali, senyumnya kembali di picu masuk dan biji aksara mulai di lemparkannya dalam wacana hitam di atas putih, perjuangan yang sebenarnya sudah siap dia jalankan. 


Jakarta, 14 September 2017.







Tentang Penulis

Endang A, lahir di jakarta, 30 April 1995 Ia bekerja di wilayah pasar rebo Jakarta Timur.

No comments