Edisi Kamis, 21 September 2017_ PUISI PUISI ENDANG A (Jakarta)
Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE MAJALAH SIMALABA
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)
(Gambar ilustrasi, Pixabay)
PUISI PUISI ENDANG A
Kubuka lembar gaun lampau
lama telah terawat luka luka itu
sesekali teringat
menguras banyak air mata.
Daya hayal mengembara jauh
terhanyut dalam ruangan pengap di atas bukit
di mana gumpalan silau berkabut terkumpul
memenuhi labirin pertikaian.
Sudut itu bersemayang nama nama
terputus oleh keangkuhan masing masing lubuk
inginku jika kelak kalian sudah beralamat rindu
tidak mengeja bahasa dasyat pemecah jalur
bahkan menjadi utuh dalam penantian yang telah karat oleh waktu.
Jakarta, 17 September 2017.
PENGHARAPAN
Sore benar kau terbangun, Dik!
sedang ruang tunggu telah sesak oleh kumpulan asin
entah apa yang kau bawa kini?
semoga mampu menembus langit biru.
Maaf aku tak bisa mengantarmu ke dalam meja altar
sebab ladang aksara memanggilku
untuk meriuhkan dunia hening
agar aromanya tercium oleh nyawa nyawa yang tergeletak malas
lalu sama sama berjalan
dalam pelataran dunia yang penuh semak belukar.
Jakarta, 18 September 2017.
ABAD KEBODOHAN
Menyesal di tikungan rasa ketidak nyamanan
hanya melihat tumbangan leluhur masa depan
jatuh dalam lembah menghitam
mengabaikan nasihat yang terlontar dari biji biji doa.
Budaya menjadi ampas perjalanan waktu
di mana saraf saraf otak hanya menyimpan fosil puing keagungan.
Mawar mawar melayu
tiap butiran debu dari kepingan tubuh bertukar dimensi
lebih hina dari kumpulan cacat
tercatat sebagai penggemar skandal yang memerankan para korban
di atas kubangan harta tanpa nurani.
Sedang orang sekeliling hanya menutup rapat telinga
sebab pancingan receh menghipnotis
kemudian lupa alamat kepulangan raga.
Jakarta, 17 September 2017.
MANUSIA PICIK
Hai kalian yang hatinya berduri
mengapa mengekonomikan sesama?
menjebaknya dalam alamat kiamat
menjelajah ruang pembantaian
di mana investasi menjadi terutama, lalu mengeksploitasi
menjadi budak seksual para kelamin yang gemar mengangkasa.
Duhai pangeran tanpa singgasana
haruskah ratu lebah mandulmu terasingkan?
sebab reproduksi sekarat
kemudian memuasi hasrat dengan membelot dari permainan dadu
kemudian mengabadikan raut mendung pada perempuanmu
di mana dahulu adalah tiang penyanggah kehidupan.
Jakarta, 18 September 2017.
LANGIT BOGOR DI JATI GEDE
Masih hawa pagi di antara kemuning
jiwamu terbentuk prasasti di ujung curuk
di mana pijarnya kini terabadikan.
Selayang pandang
awal jumpa di Jati Gede
cinta bersemi dengan aroma bunga bangkai
berhawakan gigil
bersama kopi, meneguk biji aksara
dan aku melepas pesona
sebab engkaulah lautan asin.
Kemudian sama sama menimbang mimpi
dalam rute patahan hujan
musim ini melontar kemarau
hingga kering saku saku penulis
riuhnya dunia semakin gaduh
aku semakin linglung di pematang sawah
lupa mengeja bahasa perjalanan.
Jakarta, 15 September 2017.
KENANGAN DI CIBODAS
Gigil pagi di langit Cibodas
menelanjanggi sepiku
mendungnya menciutkan nyali
perihal jeruji besi ujung jalan
beserta deret angka basa basi
berupa pion kasih mamak dari seberang.
Kemudian dunia di ukur dari gelas kacamata mata, sekilas
rautnya menjauhi pelabuhan fajar di atasnamakan cinta
manis ... namun patah patah
sedang alam mengejek lambaian angin tanpa arah
di ujung tebing Paman berandai andai dengan gelak tak terbaca masa.
Entahlah napas kecipir!
aku lupa membahas buah bibir Tanjung Karang
di mana aksara nenek buyut bermain api.
Sudahlah!
beta lupa siapa beta
selamat jalan awan awan.
Jakarta, 15 September 2017.
LANGIT BIRU DI SAMOSA
Hai Samosa!
desir anginmu begitu hanyir pagi ini, ada apa?
lupakan masa kemarin?
atau ... sudah lunturkah kepakan sayap sayap berkemilau di ujung pagi?
Hai, lihatlah di sana!
perahu layar memulai perjalanan
riuhnya menerbangkan awan untuk bersiasat dalam perang
segala beban terdata pada catatan poci poci bintang.
Entahlah dengan angin Barito
apakah sama dengan langit Samosa
sebab kabarnya belum kudengar
beta jauh dari negeri atribut baja besi.
curuk kami masih berupa rekayasa artikulasi.
Jakarta, 15 September 2017.
PERJUMPAAN YANG TERTUNDA
Dia bergerak maju semisal cambuk menemani perjalanan
padahal api membakar diri dalam lamunan senja di langit Jakarta.
Terlalu dini mengungkap resah
sedang alam malas berirama sesuai bahasa kalbu
bisakah sejenak kita merapat dalam dinding bisu?
sejenak, sekali lagi biarkan hening menciptakan damai yang hanya riuh dalam angan.
Esok usai kalimat pertemuan
antara kita terbantai lautan lepas
dan asinnya tak lagi ingin menyatukan rasa.
Jakarta, 13 September 2017.
MAWAR DI ANTARA KOTAK KEMATIAN
Bisu terdengar kehampaan tunas
pada edisi lembar tangis di pesisir
membelot asinnya mengabukan wajah bunda
menjalaninya bagai berjalan dalam lahar merapi.
Ya Rab, kuasaku tak lagi kubincangkan dengan sujud
sebab dia sudah mati salam
Dan aku mengeja ruang untuk memangkas hidup
agar kalimat mampu menghidupkan kronis luka.
Ah malam, aku tertampar oleh azanmu
luruhku penuh keringat bernoda
berharap cahaya mampu menyibak lautan kata kata.
Jakarta, 19 September 2017.
Tentang Penulis
Nama Endang A, lahir di Jakarta, 30 April 1995. Ia hobby menulis sambil bekerja di areal pasar rebo
Jakarta.
No comments