Edisi Jumat, 22 September 2017_ PUISI PUISI VITO PRASETYO (Malang, Jawa Timur)
Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE MAJALAH SIMALABA
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)
PUISI-PUISI VITO PRASETYO
RENTANG WAKTU
Rindu telah mengembara jauh
tak ada lagi kata tersimpan di lubuk hati
jemari hanya bisa menghitung rasa penyesalan
apa yang tersisa, hanyalah penantian waktu untuk hari esok
mampukah kita menyibak detik berjalan
di antara rentang waktu
saat syair malam telah terjebak
dalam penatnya putaran bumi
( 2017)
KEPERGIANMU
Di anjungan engkau empaskan resah
beranjak bersama hembusan angin
yang bercengkerama di batas langit
hingga lalu-lalang napas menciptakan gairah
kapal pun oleng diterpa gemuruh birahi
yang ‘kau ciptakan dari dasar laut
semua terjaring nafsu murka
Aku tertegun pada siang menyengat
seakan bara api membakar dadaku
lalu kumaknai geliat tubuhmu
lekukan mulus tanpa cacat
engkau tersenyum, memancing beku darahku
ingin kurengkuh keindahan itu
dalam bait-bait sajakku
tetapi pikiranku terlalu polos
dalam detik waktu, diterjang disapu ombak
Aku berusaha bangkit menggapai kapal
tanganku menggigil tak mampu
ingin rasanya kupeluk semua keresahanmu itu
engkau telah berlalu, meninggalkan dermaga
mungkin mencari tambatan untuk berlabuh
sajakku pun menjadi bisu, tanpa suara
sepasang camar melintas, merobek kaki langit
dan dari kejauhan pandanganku
seakan menertawakan keresahanku
(2017)
KUTEMUKAN SAJAK DI MALVINAS
Harus dari sisi mana lagi kau tembak diriku
pelurumu telah menghujam semua tubuhku
tinggal pikiranku saja yang belum kau tembak
dan pikiranku itu terus hidup, terus berjalan
hingga membuat semua orang menanti kematianku
bahkan seorang yazuka-pun ingin membeslahnya
pedang samurainya menghunus kepalaku
pikiranku itu tetap saja hidup
melahirkan makna lewat puisi
berjalan bersama jiwa, ciptaan pemilik kekal
dan kita ini hanya sepenggal sesat pikiran
untuk mencari kehidupan abadi
– pada sebuah kasat pikiran di antara keabadian itu
1942,
pertama kali pelurumu menembus tubuhku
ketika aku meruncing tinta pena
menulis sajak napas perjuangan
pelurumu menembus tanganku, sajakku pun terkapar menggelepar sembilu
beberapa aksara meneteskan darah
kuobati bait duka itu dengan sebuah tamsil usang
1959,
kembali engkau datang membawa kereta kematian
matamu begitu merah, seakan mengejar murka
tanah negeri ini seperti ingin kau lumat
sekali lagi kau tembak aku, kau lesakkan peluru tepat di dadaku
engkau juga merebut kekasihku
merenggut kesucian birahinya, dan membunuhnya
sayangnya, lagi-lagi pikiranku tetap hidup
berkelana ke dataran eropa
bersembunyi di bebukitan salju, dibawah tirani Joseph Broz Tito
– dan sajakku kembali bangkit
1970,
jiwaku mulai terbelenggu
aku tidak lagi menemukan dirimu
kulihat langit menjadi murung
tak lagi pelurumu memberondong tubuhku
mungkin engkau telah mati, jasadmu ditelan bumi
dan jasadku seakan menemukan sebuah kemerdekaan
tak pernah lagi kusentuh tinta penaku
sajakku terpasung, terbuai perasaan kasmaran
berlari meninggalkan jiwaku
melesat bagai anak panah
pandanganku menjadi liar, ingin menumpahkan segala birahi
setelah lama tersekat pada tembok prodeo
dan begitu lama pikiranku terasing dari kisah asmara
ingin kupeluk gadis-gadis, aku ingin menjadi pecundang cinta
hingga Ratu Nyai Roro Kidul pantai selatan betul-betul murka padaku
aku digulung ombak, napasku tak sanggup lagi menopang tubuh
pandangan pekat, mata berputih tulang
zaman menelan seluruh diriku
mungkin bertahun-tahun diriku berada di pengasingan ombak
sebuah biduk telah menjaringku, menyeret ke sebuah pulau
akhirnya kutahu itu Pulau Malvinas
perlahan mataku mulai terbuka kembali
kulihat sebuah sajak menyambut kedatanganku
sajak itu betul-betul penuh luka
Malang – 2017
MALAM YANG KANDAS
Saat aku menulis
malam mulai rapuh
mungkin karena kopi di gelasku
mulai dingin
kucoba menguraikan isi nalarku
(dia) berkata: buntu!
Aku mulai menatap kebeningan malam
telah lewat sajak pelepas kantuk
dan seribu kali kumainkan penaku
menggurat isi anganku
(dia) berkata: tetap buntu!
Tetapi ketika aku membayangkan seorang gadis
tiba-tiba nalar itu bangkit
mendesah bersama gairah malam
menghembuskan birahi jiwa
dan (dia) berkata: pikiranmu jalang!
(2017)
MENGAIS LANGIT MALAM
Sekuntum mawar tumbuh di matamu
tercium aromanya pada tubuhku
hingga birahi melecut jiwaku
mengoyak cintaku, setelah terpendam lama
bahkan sekian waktu telah kukubur
Aku terpesona, menatap kerling matamu
seakan terseret ombak asmara
jiwaku mulai mengembara mencari hidup baru
setiap lorong kususuri menawarkan cinta
mungkin bisa kutemukan dirimu
tak lupa kubawa sekeranjang aroma sajak
karena hanya itu yang kupunyai
tetapi aku bukan pengembara cinta
dukaku terlalu melekat mendalam
hingga semua gadis tak pernah hinggap dalam mimpi malamku
Aku ingin mengais jawaban dari atas sana
di kejauhan batas pandangan matamu
mungkin pada larik langit menyeruak makna
dan aku berharap bisa bersandar untuk terakhir kalinya
(2017)
MERANGGAS ZAMAN
Pikiranku pernah menyangkal
benarkah kata-kata Socrates dan Plato masih hidup?
Bukankah kebenaran itu datang dari buku suci!?
Sementara zaman begitu ganas memusnahkan kesucian
atau apakah pikiranku semakin bodoh
tak mampu membaca catatan mati
yang tersimpan dalam bejana waktu
hingga impianku terlena, bermimpi tentang esok
dimana kematian selalu mengintip jiwaku
juga jiwa-jiwa kawanku!
Seharusnya itu kebenaran tertunda
disaat aku atau siapa saja
bercerita tentang kata-kata bijak
Kalau boleh aku berkata:
“Socrates dan Plato adalah seorang jalang zaman”
(mereka) telah merampas hidup masa laluku
mengapa (mereka) pergi dari masaku kini
hingga sebagian kesucianku meranggas waktu
Mungkin jagat ini sudah gersang
tak lagi tumbuh peretas adagium – perumpamaan –
seperti diriku yang tersesat dalam rimba belantara itu
mencoba menguraikan zaman diantara perang nalar
hingga aku lupa generasi sesudahku
mungkin akan tumbuh tunas-tunas suci
atau zaman ini semakin terpuruk!
(2017)
SEBUAH KEINGINAN
aku ingin mencintaimu sedalam laut
aku ingin mencintaimu setinggi langit
aku ingin mencintaimu seputih kapas
aku ingin mencintaimu selembut angin
aku ingin mencintaimu sesuci ayat-ayat Tuhan
entah berapa banyak lagi keinginan, yang terlahir dari perasaan cinta
hingga muncul dari kegersangan jiwaku dalam sebuah sajak
laut-laut tak pernah diam
seperti memburu gelora anganku
dan ingin kugapai bayangan raut wajahmu
di pesisir pantai engkau tinggalkan jejak
membekas pada pasir putih
seperti sebuah keinginan, yang ingin kita satukan
walaupun hanya dalam bait-bait sumbang
(2017)
SAJAK KECIL UNTUK ILAHI
malam ini ingin kupupus mimpi
aku bersimpuh dalam hening dan sepi
kusibak langit malam dengan pandangan rapuh
aku selalu berkata tentang aku
tentang diriku: itu membuatku semakin ego
jika bisa kumatikan pikiran itu
seharusnya kumulai dari pemilik jiwaku
disitu, semua arti tentang hidup bersemayam
sebelum Ilahi menutup semua cerita itu
setiap kali aku berjalan dengan pikiran
memandang diri pada cermin-cermin luka
menggoreskan tinta kedalam bait-bait gelisah
bahwa ada sesuatu di balik pikiran itu
yang memberi makna dan hidup
agar senantiasa nama-Nya kuagungkan
walaupun selalu saja rasa ego-ku menepisnya
dalam kesendirianku, hanya sebuah sajak yang bisa kutulis
disitu terlahir, betapa aku merasa dekat
mengingat buku-buku suci
yang tak pernah mampu kutulis
selain berpasrah diri dalam doa
agar sajakku ini terbaca oleh Ilahi
(2017)
TENTANG WARNA
Kini aku mulai mengerti
sehelai rumput yang tumbuh
telah mengukir makna hidup
sesuatu yang tiada menjadi ada
dari sehelai kertas putih
garis-garis hitam memberi makna
warna-warna pun bagai sebuah misteri hidup
(2017)
PERAHU KERTAS
membuka senandika malam dengan sebait sajak
kala gemuruh ombak mengikis bibir pantai
pada titik terjauh, perahu nelayan terombang-ambing
menanti resah, ketika hidup harus menguak makna
gemerlap lampu pun tak mampu menutup gulita
terlampau jauh garis pandang menjangkaunya
hanya pelita kecil untuk melewati penantian malam
dengan mimpi-mimpi yang mungkin tak akan terbeli
biarlah terempas batu karang, atau karam ke palung laut
demi sebuah perjuangan, yang entah kapan berakhir
pergumulan malam pun terasa begitu panjang
saat desah fajar mulai menghampiri
berjalan mengendap dari bumi timur
seakan mengingatkan akhir perjalanan mengembara laut
dan biduk-biduk merepih ombak
menambatkan diri pada tubuh dermaga
segala penat tertumpah disitu
angin pun bercengkerama mengitari setiap sudut dermaga
bersenandung nyanyian alam, menadah kemurkaan sang cahaya
disitu, kulit manusia pun menjaring matahari
melebur dalam aroma ombak
di sudut pantai, senyum pagi memanjakan anak-anak kecil
memainkan riak kecil, merakit ombak
hilir mudik perahu memecah tawa mereka
seakan keresahan tak pernah hinggap pada dada mereka
atau mungkin ayah mereka tak pernah membagi keresahan untuk anak-anak itu
saat ombak menyapu malam-malam mereka di tengah laut
hingga anak-anak mereka bisa berbangga diri
walau hanya memainkan perahu-perahu kertas di tepi pantai
(2017)
Tentang Penulis
VITO PRASETYO, dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964, tinggal di Malang. Ia pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, saat ini aktif di Komunitas Rumah Pena Singosari Malang
Karya-karya Sastra (cerpen – puisi – esai) telah dimuat di berbagai media cetak lokal dan nasional
Buku Antologi Puisi “Jejak Kenangan” terbitan Rose Book (2015)),“Tinta Langit” terbitan Rose Book (2015) -“2 September” terbitan Rose Book (2015), “Jurnal SM II” (2015) diterbitkan Sembilan Mutiara Publishing 2016
Vito saat ini tengah mempersiapkan Buku Kumpulan Puisi “Biarkanlah Langit Berbicara” (2016 – 2017) & Buku Kumpulan Puisi “Sajak Kematian” (2017)
No comments