Edisi Minggu, 17 September 2017_ PUISI PUISI ENDANG A (Jakarta)
Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE MAJALAH SIMALABA
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)
PUISI PUISI ENDANG A
MENANTI SENJA DI UJUNG PESISIR
Ia yang membungkus rindu di antara wajah sajak
tatapannya tak lepas dari aroma gerah
seringkali teriknya membakar ubun-ubun, menusukan jarum
namun tak jua bergegas pergi meninggalkan pena, selembar daun lontar
Rintik hujan membasah bumi
badai bicara, menghempaskan raga
tetapi kembali menanak ....
diam di persimpang
tanpa keinginan beranjak pulang.
Malam datang selesai mahgrib
pepohonan berdesah tentang gigilnya
seperti memainkan kecapi. Memetik lamun
tubuhnya terhenyak
meneteskan embun tentang luka hati
tanpa ingin melepas
hanya untuk menjadi bekuan walau sehari.
Jakarta, 10 September 2017.
LELAHNYA BERTERIAK
Kalian yang gemar meludah, mengotori wajah alam
tanpa sesal keinginan mengubah sebuah kedamaian
di mana tawa bocah bocah bertelanjang dada dapat terlihat
ketika asik bermain dengan polos , di antara sungai sungai
dan riuhnya suara suara pengembala bersenda gurau dalam canda tanpa ketakutan.
Berlomba ketepi hulu
Melepaskan batang batang pisang sebagai perahu
Berjoget layaknya riang dalam panggung
Di mana letak nuranimu tuan
Kemana engkau sisipkan lereng lereng yang indah
Sebagai wahana prosotan pelepah kelapa
Seakan engkau kebiri lalu menukar robot robotik
Menjadi siasat kantong pribadi
Lihat mata mereka
Dari bias biru tehnologi
Rubela tertawa seakan mengusai istana tubuh mungil
Menutup mata mereka dengan rekayasa kecangihan
Jakarta, 10 September 2017.
MENCICIL EPISODE
Malam benar baru kau kaji bumi, dik
sedang tubuhnya sudah mulai keropos
agak sedikit kawatir
tentang alamat yang belum genap terkemas
di ruang tunggu memanggil manggil bahasa ibu
untuk memoles kasih.
Cobalah kau simak episode gerimis tanah ini, dik
terbaca di lindap gunung, sungai sungai, hutan dan hamparan lingkungan yang pecah dari jalur
bandingkan dahulu
di mana tiap sudut adalah keasrian.
Kuingatkan kembali, agar lipatan ozon tidak semakin tipis
kemudian terbuka alur dan mulai belajar menyikapi alam.
Wahai lubuk lubuk yang hatinya belum tercemar
rangkumlah musim, buat penghijauan
bentuklah halaman penuh senyuman pada tiap lekuk lembar masa
agar tercatat bibit bibit ramah lingkungan.
Jakarta, 5 September 2017.
MELUKIS WAJAH SAJAK
Kini bumi sudah mulai usang, meninggalkan sedikit cemas pada beberapa alur
di mana lapisan ozon terkelupas
mengusik laju kehidupan.
Hei dik!
tunggulah sesaat saja, sebab kami sedang mencoba merapihkan gaun ibu kota
agar penuh napas dengan ruang sejuk di antara kepadatan jalur.
Wahai Tuan tuan di balik dinding
bisakah kita membuka bahasa
agar kebocoran dari ampas teknologi mampu terselesaikan
kemudian udara tersenyum
ranting ranting bersenda gurau
dan bakteri bakteri muak lalu menghilang,
meninggalkan musim paling indah pada kemarau ini.
Sebab tak mungkin jantung kota selalu berteriak memohon perlindungan
sedang mata mata hati, bersembunyi di belakang pintu, berpura pada kebisingan yang terpahami benar keberadaannya.
Jakarta, 10 September 2017.
KELELAHAN
Hai kursi, apa kabarmu?
raut lelah tampak ketika cerita menguap di udara
perihal senja berkabut, sejarahnya memangsa diri untuk terdiam
dalam bisingnnya pasar akan harga yang begitu tinggi.
Sore yang muram jatuh di kantung jelata
masih terlalu dini untuk mengawali kalimat pertolongan
lalu mengatasnamakan cinta
berujung maut dengan hawa kerumitan zaman.
Entahlah!
memungguti sisa feodalisme bibir kota adalah kehampaan
sebab tubuhku tumbang di antara kubangan masa
yang hanya beralaskan ketiadaan.
Jakarta, 11 September 2017.
Tentang penulis:
Endang A lahir di Jakarta 30 April 2017. Hobby menulis dan mengikuti event di berbagai daerah dan pernah beberapakali juara. Ia juga suka berpetualang dan menuangkannya ke dalam cermin dan cerbung. Penulis di kosmokomik edisi juli desember.
No comments