Cerpen Ishak Abidin Lafihzy_KEJUJURAN HATI
Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)
Cerpen Ishak Abidin Lafihzy
KEJUJURAN HATI
Pagi ini hujan masih mengguyur bumi. Terpaksa aku harus memakai payung untuk pergi ke sekolah. Sesampai di sekolah, kudapati ruang kelas sepi tiada seorang pun, kecuali satu wanita yang memakai kerudung putih. Sedang duduk di pojok kelas, dengan tatapan kosong ke depan. Seperti memikirkan sesuatu. Aku kebingungan melihat suasana kelas yang 99% kosong. Kemana semua teman-teman.
"Ika, kok kelas kita sepi yah? Pada kemana semua?" tanyaku kepada Ika yang duduk di pojok kanan kelas.
"Oh ... kamu Alif, teman-teman lagi bereksperimen di Laboratorium sekolah. Mumpung tidak ada guru pembimbing." Jawab Ika tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.
"Owh gitu."
Aku pun tahu maksud perkataanya.Ya, sekarang teman-teman sedang bereksperimen di laboratorium sekolah. Semoga saja ga meledak itu lab. Ika memang wanita yang tidak terlalu suka dengan hal-hal yang mengharuskan dia masuk ke lab. Entah mengapa dia tidak suka dengan lab. Begitu pula pelajaran-pelajaran seperti biologi dan fisika, dia tidak tertarik sama sekali. Berbeda denganku, aku sangat suka ke lab sekolah. Biologi adalah pelajaran favoritku. Tapi karena sekarang tidak ada guru pembimbing biologi, aku urungkan niat pergi ke lab. Biarkan saja teman-teman di sana bereksperimen sesuka hati.
Langkah kakiku mulai menuju bangku sebelah kiri tempat duduk Ika. Karena tempat duduk kami memang bersebelahan. Setelah aku duduk, suasana kelas hening tanpa suara. Hanya suara hujan yang mengiringi desah nafas kami berdua di dalam kelas. Aku pun juga bingung. Mengapa canggung begini suasananya. Tak seperti biasanya Ika diam seperti ini kepadaku. Biasanya dia suka bercanda dan riang gembira kalau di sampingku.
"Alif ... boleh aku jujur?" katanya dengan gugup tanpa menoleh kepadaku. Pandangannya masih tertuju pada dua tanganya yang berada di atas meja.
"Iya, boleh," tak berselang lama, aku mendengar suara sesengukan dari dirinya. Sepertinya dia menangis. Tapi kenapa bisa menangis? Apakah dia ada masalah, sehingga tak mampu menyampaikannya.
"Sebenarnya aku mencintaimu, Lif," ucap Ika yang menundukkan kepala dengan tangis yang pelan.
Saat itu aku kaget sekaligus bingung. Entah mengapa diriku seolah-olah berada di antara kebingungan dan rasa tidak percaya. Aku heran mengapa ika mengatakan bahwa ia mencintaiku. Siapa aku. Padahal aku hanyalah anak miskin dari desa.
Aku masih terdiam mematung di bangku kelas. Detik-detik seakan berhenti berdetik. Pikiranku masih terombang-ambing dengan kebingungan. Hingga kemudian aku mencoba mengumpulkan kesadaranku kembali, dan mencerna apa yang dikatakan Ika kepadaku. Akhirnya kuberanikan berkata kepadanya.
"Ka, apa aku tidak salah dengar?"
"Tidak, Lif," sambil menggelangkan kepalanya yang masih tertunduk.
"Tapi kenapa kamu mencintaiku? Aku ini bukan anak yang strata sosialnya tinggi di sekolah kita. Aku ini anak kampung. Anak dari buruh tani di desa. Tidak ada sama sekali yang menarik dariku!" ucapku terus terang dengan menatap wajahnya yang masih tertunduk.
"Entah sejak kapan aku mencintaimu. Tapi, sejak awal kali aku menjadi murid baru disini, aku mulai menyukaimu sejak awal kita bertatap muka. Aku melihatmu berbeda dari semua lelaki yang pernah kutemu. Tutur katamu indah dan mendamaikan hati yang terluka. Bahkan teman-teman yang ada di kelas ini senang dengan sikap dan cara berbicaramu. Mungkin teman-teman sangat senang mendapatkan teman sepertimu. Tapi aku, lebih dari itu, Lif!" ucap Ika lagi dengan suara parau yang diiringi sesengukan. Kemudian dia melanjutkan lagi perkataanya
"Perlu kamu ketahui, cinta itu tidak memandang harta dan strata sosial. Aku tahu kok dengan apa yang aku rasakan. Aku ngerti dengan apa yang sekarang tumbuh di hatiku!"
Aku masih terdiam. Tak sepatah kata keluar dari lisanku.
"Lif, baru pertama kali ini aku jujur mengenai perasaanku padamu. Ini semua membutuhkam keberanian. Dan aku tidak akan menuntut apapun darimu setelah aku berkata demikian. Karena aku sadar, aku bukanlah wanita yang pantas untuk dirimu. Aku dahulu bukanlah wanita yang memiliki latar belakang agama yang baik. Tidak seperti kamu. Lif, aku juga senang bisa mengenalmu. Aku bisa belajar tentang hal-hal yang membuatku sadar tentang Agama. Aku sangat berterimakasih kepadamu. Maaf, Lif."
Setelah Ika selesai berkata panjang lebar tentang perasaannya kepadaku, aku pun mulai menata pikiran dan menatapnya.
"Ika, terimakasih ya atas perasaanmu kepadaku. Aku mengerti tentang apa yang kau maksud sekarang. Tapi, kamu tidak perlu merendah diri seperti itu kepadaku. Kamu adalah wanita yang hebat kok. Alhamdulillah kamu sekarang mau sadar dari masa lalumu. Dan kembali ke jalan yang benar. Dan mengenai perasaanmu itu ... jika memang benar-benar kamu mencintaiku dengan tulus dan ikhlas apa adanya, in syaa Allah aku siap menikahimu 3 tahun mendatang. Asalkan kamu sabar menantiku,"
"Eh ... ka..., kamu serius dengan ucapanmu?" tanya Ika dengan rasa penasaran.
"In syaa Allah." jawabku tegas sambil tersenyum.
Dia masih diam tertunduk. Mungkin dia tengah mencerna kata-kataku tadi.
"Tapi, selama kita masih duduk di bangku kelas 3 SMA ini, dan 3 tahun mendatang aku tidak mau ada namanya pacaran dan hubungan spesial di antara kita. Aku ingin masing-masing dari kita bersabar menantikan hari indah itu dan saling berdoa kepada Allah agar kita dipertemukan di atas ikatan suci." kataku kepadanya.
Perlahan tangisnya sudah mulai reda. Tapi masih saja diam seribu bahasa. Entah apa yang dipikirkannya setelah mendengarkan perkataanku. Yang terpenting, kini aku sudah memiliki tujuan hidup di masa depan. Ya, semoga Allah memberikan kesabaran diantara kami dan menjaga kami dari hal-hal yang memudarkan niat ini.
Keindahan cinta akan lebih terasa saat kita memulai setelah kita di persatukan atas restu-Nya.
No comments