Cerita Singkat Saraswati (Karawang, Jawa Barat)_ AISHA
Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)
Cerita Singkat Saraswati
AISHA
Hujan itu bukan tentang genangan juga tentang kenangan.
Hujan adalah tempat langit memeluk seisi bumi dan pendoa memuluskan semua hasratnya serupa aroma tanah yang mengepul ke petala langit.
Kala mendung tak selalu sama, berujung hujan atau badai terkadang tidak keduanya.
Lebatnya hujan semalam menyisakan kisah lampau di balik kaca kaca jendela yang mengembun.
“Kuterakan namamu, dan hati yang tak pernah pudar sampai kapanpun meski kemudian berdebu terhempas kemarau panjang.”gumam Rudi.
Berkali-kali setiap hujan turun Kakek Rudi selalu menulis kata-kata itu.
AISHA AKU BERUNTUNG MEMILIKIMU
Hiruk pikuk sore itu, sebagai seorang manisis kereta api setelah tugas selesai.
Mata Rudi tak pernah lepas dari satu sudut peron. Aisha menjemput dengan senyuman manis di balik dress merah muda bunga-bunga, dia cantik khas wanita timur dengan kulit sawo matang dengan keramahan yang dimilikinya.
Aisha melambaikan tangannya ke arah Rudi.
“Mas, penatkah pekerjaan hari ini?”
“Lelahku sirna sayang, kala matamu terus berbinar menggenapkan hati ini.”
08.45 WIB
Sebuah pesan terkirim :
Dek, sepertinya aku pulang terlambat. Ada sedikit masalah. Tapi adek tak usah khawatir.
Aisha membalas pesan :
Iya, mas. Hati-hati. Aku akan mendoakanmu selalu, mas. Agar Tuhan selalu melindungimu. Karena sebaik-baiknya penjagaan adalah doa.
Mas, jika kau tahu setiap tetes hujan kusebut namamu, lalu merenda indah di relung hatiku. Hasratku yang sempat pupus akan hidup lalu menjadi tunas-tunas setelahnya. Ya, setelah kau mempersuntingku, mas. Seisi semesta tak akan cukup untuk meluapkan rasa syukurku karena kau membawakan separuh surga yang hilang untukku. Aku akan selalu menyayangimu, mas. Meski kemarau atau musim-musim lain. Tak akan mengubah apapun.
“Ah, aku tak dapat membalas pesan ini. Hidupku amat sempurna Tuhan, karena dia.”
Rudi bergumam matanya berkaca-kaca.
Seorang penumpang tampak gelisah. Rudi menghampirinya,
“Ada apa, pak? Kami sedang berusaha untuk melakukan perbaikan dengan cepat.”
“Saat ini Istri saya sedang berada di rumah sakit. Dan saya akan terlambat menemani istri melalui persalinan anak pertama kami”
“Pak, tenanglah. Lihat di luar sana sedang turun hujan.”
“Lantas? Ada apa dengan hujan pak?”
“Kala hujan, pintu langit terbuka. Doa-doa akan lebih cepat sampai. Berdoalah sebaik-baiknya doa untuk istri dan anak bapak. Aku pun tengah risau karena istriku sedang menjalani operasi.”
“Bapak sungguh tegar.”
“Istriku tak pernah meneteskan airmatanya. Meski aku tahu rasa sakit yang hebat sedang menggerogoti tubuhnya.
Darinya aku belajar. Juga doa-doa yang selalu ia panjatkan kala hujan seperti ini. Biasanya dia sedang menantiku di balik jendela rumah sakit. Menuliskan kesakitannya di kaca jendela rumah sakit.”
“Anda begitu mencintainya, pak?”
“Jika ada yang melebihi sayang dan kesetiaannya padaku. Akan kupersembahkan untuknya. Dan ia hanya memintaku agar tak pernah menangis.”
**
Rudi tergopoh menuju ruang operasi dengan seikat bunga krisan dan sekotak kue pukis kesukaan Aisha.
Satu persatu, hujan tak tumpah, hanya mengiris udara antara koridor dan pintu ruang bedah central.
Langkah Rudi terhenti. Sebuah blangkar tertutup kain putih, dipenuhi orang-orang yang ia kenal.
Jerit hatinya patah.
“Aisha...Aisha..Aisha...”
Langit runtuh, airmatanya jatuh. Seikat bunga rebah. Kesadarannya pudar.
Rudi terjatuh.
***
Dua puluh purnama.
“Aisha, aku bawakan kue kesukaanmu. Pukis dengan sukade diatasnya, teh hijau hangat di atas meja dekat jendela.”
“Kek, obatnya sudah diminum?”
“Kakek tidak sakit cucuku!”
“Kakek harus minum obat, kalau tidak nenek tak akan membacakan dongeng sebelum tidur lagi untukku, kek.”
“Oh, iya. Baiklah.”
“Kakek istirahat ya? Pulang kerja Tian belikan kakek Bubur kacang hijau.”
“Buat Nenekmu juga Tian, Kenapa kamu bekerja? Kakek yang akan cari nafkah untuk kalian ,Tian.”
“Iya, Kek. Jangan keluar rumah lagi ya Kek. Alzaimer Kakek semakin parah kata dokter.” Tian bergegas masuk kamar. Tangisnya pecah.
Hujan tak pernah meminta izin kepada mendung, karena kegalauan akan melarutkan hujan yang menuju muara-muara sunyi.
“Nek, Tian tak sanggup menghalau badai. Dan hujan selalu turun sembunyi-sembunyi di balik pigura photomu.” Matanya lekat pada tulisan terakhir Nenek sebelum tiada.
RUDI AKU AKAN SELALU MENCINTAIMU
AISHA
Mendung bukanlah jalan satu-satunya menemui hujan. Tapi hujan tempat kita saling melingkarkan hati di antara kaca-kaca, meskipun terhapus ada doa yang akan sampai dan terus hidup.
Tentang Saraswati: Ia lahir di Pakuncen Desa Sukaharja Kecamatan Teluk jambe timur Kabupaten Karawang. Menulis beberapa tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Puisinya pernah dimuat di wartalambar.com,majalah simalaba versi online.
No comments