HEADLINE

PUISI PUISI ARIF TUNJUNG PRADANA (Wonogiri, Jawa Tengah)

Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)


PUISI PUISI ARIF TUNJUNG PRADANA

Malam Terakhir Di Solo

Ia segera menuntaskan malam terakhirnya di Solo. Kemudian jalan Slamet Riyadi yang memanjang semakin riuh menjauh menggiring kendaraan ke arah barat; pergi membawa sebuah rencana.
Barangkali lampu taman yang tinggi depan patung Slamet Riyadi akan terjaga sepanjang malam hari. Sebab bayangan pengendara yang menarik napas satu persatu tampak membenarkan gelapnya Solo, gumamnya.

Solo malam hari memekikan pelukan disertai letupan air yang menggumpal dalam tawa dan awan kemudian jatuh tak menentu dari beberapa mata sesaat setelah tubuh saling bertangkup di sela-sela pemberontakan terhadap pertemuan. 

Waktu tak akan memberanikan diri menghirup seluruh kecupan pertemuan terkecuali kenangan akan kota yang mengecap dalam kening beberapa pendoa di tengah tempat ibadah.
Waktu juga telah berjanji memberikan detik yang lebih untuk Solo dan beberapa orang yang mencintainya untuk segera memakamkan air matanya masing-masing yang mulai beterbangan.
Di peron Stasiun Purwosari tercium perasaan saling mencintai kepulangan dalam ransel-ransel yang terpenuhi nama-nama yang bersetia dibalik pintu rumahnya lalu cita-cita menanggalkan kenangan dalam peron tua semakin nyata.

Perjalanan akan membawa ribuan raga kepada beberapa detik peristiwa untuk dikenang menjadi abadi dalam benak-benak para perantau yang pensiun dari statusnya.


Biarkan Laki-laki Bertelur

Jongkoknya yang dalam dan panjang membuat kaki Parjo terpekik dari balik pintu penuh kejutan begitu juga kenangan ; kemenangan. Pelor menembus pembuluh cerna dan merajam seisi ruangan tersebut. Tiba-tiba ingatan menyeret Parjo pada beberapa waktu sebelumnya.  Ia bersijingkat dari tempat tidur, tergesa, belingsatan, dan bergegas memulai peperangan. Usai berlaga ia segera mendobrak pintu dan meninggalkan aroma kemenangan di balik pintu.


Merugi

Mata memerah tersambar likat petir yang melilit memanjang di sekujur urat tenggorokan dan mencekik daun-daun telinga. Seketika kilat kehilangan hujan lebat serta hutan yang saling menindih dan meneduhkan; pula menyedihkan. Mereka kekal di dalamnya.


Merahap Namamu

Tiba-tiba namamu meraba,
dalam tangkupan tangan.
Baru saja setelah Aku selesai,
menanggalkan amin yang menapak
di depan punggung wajah.

Seluruh harapan tumpah dan
berlarian di tubuhmu. Begitupun
airmata yang saling mencari
cara paling sederhana untuk mencintai.

Mungkin ada yang menggigil membiru
dalam tangkupan tangan. Ia adalah
ingatan dalam jumlah besar terhadap
senyuman dan dentuman berbagai harapan;
perihal kenangan.

Sebab, dalam ingatan yang bergegas menjadi permohonan.
Namamu selalu saling bertangkupan dalam telapak tangan.


Arif Tunjung Pradana, lahir pada 16 Juli 1997 dan besar di tanah kelahirannya Wonogiri, Jawa Tengah. Mengenyam pendidikan di Universitas Sebelas Maret. 

No comments