HEADLINE

PUISI PUISI SALIM MA’RUF (Martapura, Kalimantan Selatan)_Sebuah Dongeng Yang Pendek Buat Chingkang

Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE
Redaksi online ini akan mempublikasikan naskah setiap hari dan akan memilih satu puisi dalam setiap minggunya untuk dibuat film puisi
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)


PUISI PUISI SALIM MA’RUF

TUALANG PUISI

kepada perempuan yang berteaterikal
di rahim hujan

I
Di jenggala, kita mengendarai kijang emas
menyisir rimba makna, melewati kenduri kopi.
Semenjak punggungmu mematung di atas sadel.
Sedahan luka: benguk.

Kau ‘tak ingin menanam nisan
di teratak tua di bibir pemburu bertongkat kecapi
dan kita bertanya, siapa yang meramalkan haluan?
aku, kau, atau mereka yang diam-diam bergurau dalam pulas.

Kita selalu puatang menjenguk waktu
yang saban kali hujan bertunas, ia meringkuk
di pojok gua arkais.

II
Di segara, kita menyadau sampan
menggerai ombak, menyapa nelayan berperahu harap.
Kudapati botol berisi layar, kau khidmat membaca peta.
Seasin garam: kenangan mengucur.

Serupa kisah Sinbad, aku merayapi lekuk buih.
Gagap bersemuka moncong meriam kapal bajak laut.
Ada kakaktua meniup terompet jagal.

Pagi ini aku menelan racun, lantas terbahak-bahak.
Wajahmu berteater, mengiring arus ke bibir pantai.
Pelayaran membatu, gelombang meleleh di pipimu.

Kita mengangkat sauh
dan di bandar, wali kota mengalungkan kematian.

III
Di praja, kita menyaksikan bocah menggunting lapar
dan di matanya terlihat kaki pincang pidato berloncatan.
Entah bermusabab apa, kau lesap di persimpangan.
Sepetak jalan: lorong kosong.

Mengakrabi bibirmu yang merah bergincu.
Sebelum tukang becak mendaki tanjakan sajak
aku terlebih dahulu menyibak kerumunan
botol-botol tuak di trotoar.
Lakon hidup, kadang berakhir sad ending.
Berlomba-lomba mengikuti sayembara, tercabik cabik.
Siapakah yang berkenan menggilai waras, Tuan?

Pintu diketuk.
Sapardi menyusun hujan, Jokpin bertani celana,
dan Chairil mengigaukan Tuhan.

Martapura, November 2017

KITAB KOPI
YANG BELUM RAMPUNG

Menaklik surah-surah kopi di punggung puisi
adalah baiat rindu pada perempuan yang berkacamata.

Kemudian tubuh mengutip sabda sendang:
“mozaik takdir berbincang ke segala arah,
lantas memutus lelayangan dari
tangan para kanak-kanak di penghujung sore”

Martapura, November 2017

SEBUAH DONGENG PENDEK
BUAT CHIKANG

Di tubuh pepaya, Chi.
Seekor semut tidur pada sebuah gubuk
yang terbuat dari sampul-sampul buku klasik,
lembaran-lembaran koran bekas, dan kotak sabun pewangi badan.

Ia bermimpi tentang kebun-kebun kertas,
jembatan puisi saling berjerait menyapa tiap tamu yang
menyaksikan konser arus, para pensiunan penyair merivisi sajak,
bioskop sederhana yang menyiarkan film animasi Kimi no Na wa,
dan seorang penyihir cilik bermonolog jenaka.
Wah, lanskap yang artistik.

Ia terjaga.
Seorang bocah mengetuk pintunya
dan menawarkan pepaya yang matang
di tubuh pendongeng dari kota Via De.

Martapura, November 2017

SUATU SENJA
DI KANTIN KAMPUS

: skripsi

Bercangkir-cangkir kopi terkelempai
instrumentalia Kitaro berdelan dari smartphone
kawan, di sampingnya novel Cantik Itu Luka tersempalai.
Aku menampaki layar laptop
mengamati tiap kalimat ilmiah naskah skripsi
dan sesekali mengalihkan pandangan pada perkawinan panorama
di halaman kampus: senja. 

Berkali-kali meredik perihal revisi
seorang sobat menawarkan minuman dingin
kureguk, petuah-petuah anonim berkelindan di kepala
skripsi adalah harga mati
tiada hari tanpa skripsi
sebaik-baik skripsi adalah yang ditulis sendiri meski dengan ribuan revisi
ingat skripsi, ingat SPP
skripsi itu hanya sekali, kerjakan dengan sepenuh hati.

Seketika aku berdiri, serta-merta membaca sebuah sajak
berjudul Suatu Senja di Kantin Kampus.

Martapura, November 2017

MALAM JENAKA 

Aku berkaca. Sekarat di persimpangan kata.
Laron berontak, teriak di rantai usia: renta dan
menziarahi firasat.

Malam jenaka ‘tuk saling berbincang. 
Pelancong papa di kota tua ini
tegap berpenjuru fakir, gamam mengintip dewasa.
Ingin aku mengelabui kematian dan bersujud di wajah ibu.

Meminangmu:
menjagal relief puisi yang berjodoh dengan mangsi.

Martapura, November 2017

Tentang Penulis

Salim Ma’ruf, seorang mahasiswa akhir, bergiat di Sanggar Ar-rumi STAI Darussalam Martapura Kalimantan-Selatan dan Kindai Seni Kreatif. Menyukai teater, buku-buku sastra, dan lukisan-lukisan Affandi Koesoema. Beberapa puisinya pernah dimuat dalam berbagai antologi bersama.


klik juga

PUISI PUISI SUFYAN ZULKIPLI (Lampung Barat)_Rindu_Janji Palsu

Membaca Lagi GURINDAM DUA BELAS_Karya Raja Ali Haji

PUISI PUISI MAULA NUR BAETY (Jakarta)_Saat Rasa Usai

PUISI PUISI Q ALSUNGKAWA (Lampung Barat)_Ketika Waktu Tajam Ke Hulu

No comments