PUISI-PUISI VITO PRASETYO (Malang, Jawa Timur)_Gadis Manis di Bukit Pinus
Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)
PUISI-PUISI VITO PRASETYO
Ah, Dasar Engkau
Lidahku terasa begitu keluh
telah berulang kali kukatakan
juga berulang kali kutulis
tapi sekalipun tak pernah digubrisnya
harus dengan cara apa kusampaikan
agar dirinya bisa mengerti
seingatku, aku sudah berkata dengan berbagai bahasa
karena terkadang aku “sok” nasionalis
Ah, pada akhirnya aku menjadi bosan
bosan menggunakan kata-kata halus
bosan menggunakan bahasa personifikasi
bosan menggunakan kata-kata metafora
karena akhirnya menjadi sublimatif
Ah, dasar engkau…..
membuatku menjadi sadar
aku hanya manusia
ya, memang aku hanya manusia
bukan seorang malaikat
bahkan seorang malaikat pun mungkin tidak mengerti
padahal engkau tidak tuli
juga tidak bisu
Ah, masa bodoh
akhirnya aku bersikap begitu
mungkin engkau memang buta hati
(2017)
Aku Harus Pulang
Kemana lagi aku harus mengembara
tanah tempat kuberpijak telah berpaling
rimba langit pun seakan mencibir
Aku harus pulang
tetapi mengapa semua pintu terkunci
dan mengucilkan segala harapku
kini aku semakin tidak mengerti
telah kucurahkan semua nalarku
agar orang-orang di depanku bisa menerima
Aku bertanya pada Tuhan
apakah salah dan dosa hingga aku harus memanggulnya
anak-istriku telah menanti dalam penantian panjang
Sementara di luar sana
masih banyak orang menghirup udara bebas
dengan segala kekejaman tangannya
menghancurkan generasi kita yang baru!?
Aku mulai berkelana dalam puisi
menulis aksara agar pikiranku bisa bersih
dan berharap suatu waktu Tuhan akan membukakan pintu langit
menghindari semua tatapan sinis
walau mereka belum tentu lebih bersih
akupun bukan orang yang terhukum
tetapi jiwaku telah terpidana
Kubuka mata selebar mungkin
aku tahu, hanya di langit aku bisa mengais jawabannya
berbicara pada Tuhan, lewat doa
meski tidak dengan kesempurnaan kata-kataku
hingga napasku betul-betul bosan menyapa tanah ini
(2017)
Bisikan Halus
Aku menulis sajak untuk matimu
tetapi aku bukan Tuhan
hanya ingin mengungkapkan kata-kata
tersimpan dalam bahasa jiwaku
engkau pernah menguncinya
saat membungkam jiwaku
hingga berkelana dan mengembara
bersama tapak sang waktu
Mungkin roh-mu bangkit
lewat goresan penaku
menggiring tanganku, menulis sajak
mulutmu terbungkam saat jiwamu
begitu penat bersemayam di jasadmu
hingga tanganku gemetar penuh tangismu
tetapi suaramu menggema di telingaku
tulis, tulislah tentang kematianku
karena esok mungkin engkau menjemput diriku
// itu kata-kata jiwamu
Dan kutuangkan pada sehelai kertas putih
seperti warna pakaianmu, kubasahi peluhku
hingga tulisan itu hampir tak terbaca
kusam dengan makna samar
tetapi aku yakin, engkau bisa membacanya
tentu dengan bahasamu
karena alam kita sudah berbeda
ruang waktu pun membuat batas
– dan kita pun tak mungkin akan bertemu lagi
(2017)
Ditengah Kerinduan Zaman
Plato telah lama tertidur
Socrates begitu lama memejamkan mata
William Shakespeare telah lama berbaring
kenapa masih saja orang-orang terkesima
apakah karena pikiran mereka begitu bijak?
Ataukah kita telah tersesat dalam duniawi mereka?
Bisa jadi zaman ini telah kehilangan nalar
Malang – 2017
Debu
Debu-debu itu datang
lalu diterpa angin
lalu pergi
lalu hilang ditelan bumi
lalu hening dan diam
Debu itu selalu saja membuat jengah
benda bukan jahanam
benda bukan jalang
juga bukan biadab
selalu ingin melekat pada kebersihan
hingga harus kueja pada sebuah sajak
(2017)
Esok Menanti
Kita hanya bisa bersibuk diri
tapi tak pernah mengerti
pupus sudah
jiwa membelenggu
diam sejuta makna
pikiran pun terasa mati
kabut turun
menjebak pandangan
pintu langit seakan terkunci
mengapa kita harus merundung duka
Mari kita sibak batas waktu
menguraikan tentang makna esok
meniriskan sisa lembayung
yang masih menggelayut
di sudut-sudut cakrawala
semua jejak tak pernah musnah
pasti meninggalkan catatan
tinggal bagaimana menjadikan perenungan
mungkin ada hikmah
yang masih bisa kita petik
dari semua itu
Esok menanti
itu ucapan kita, kata-kata usang
tak pernah berakhir
selain jagat menutupnya
(2017)
Engkau, Aku dan Orang Lain
Engkau membawa secangkir nafsu
aku membawa segelas dosa
lalu kita tuangkan kedalam raga hina
Seandainya sejuta orang seperti kita
begitu hinanya dunia ini
Dan orang-orang yang bangga dengan dirinya
berkata: Tuhan telah mengutuk penghuni bumi!
Malang – 2017
Gadis Manis di Bukit Pinus
Disini, di bawah bebukitan pinus
bebatuan diam
bermandikan air telaga
ketika gemericik air mengalir
syair alam terdengar merdu
Seorang gadis menyibakkan rambut
menjulurkan kaki bening
duduk di tepi telaga
raut wajah berbinar sendu dan bersahaja
bagai rembulan di siang hari
Ketika air melekat pada kulit lembut
alam terkesima, datang bersama angin
meniup syair asmara
pada hati yang masih polos
dan senyum terukir di bibir ranum
Sinar cahaya semakin memburu
menggelorakan nafsu lepas
pada geliat tubuh gadis manis
seakan mengundang lelaki merengkuhnya
Walau itu hanya bias semu
– yang kadang melekat pada nalar lelaki
Sesaat gadis itu menengadahkan kepala
pandangannya tertumbuk
pada dedaunan di atas bukit
Di atas sana,
burung bercengkerama di ranting-ranting pinus
kicauannya bagai kidung rindu
seakan menanti gadis itu
membukakan pintu hatinya
Malang – 2017
Tentang Penulis:
VITO PRASETYO, lahir di Makassar (Ujung Pandang), 24 Februari 1964, tinggal di Malang – Pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di
Tergabung juga dalam Buku Antologi Puisi: “Jejak Kenangan” terbitan Rose Book (2015)),“Tinta Langit” terbitan Rose Book (2015) - “2 September” terbitan Rose Book (2015) - “Jurnal SM II” (2015) diterbitkan Sembilan Mutiara Publishing 2016 – “Keindahan Alam” terbitan FAM Publishing (2017). Kini ia tangah mempersiapkan Buku Kumpulan Puisi “Biarkanlah Langit Berbicara” (2016 – 2017) & Buku Kumpulan Puisi “Sajak Kematian” (2017)
No comments