HEADLINE

SAJAK SAJAK SAIFUL BAHRI (Sumenep, Madura)_Sabda Hujan di Musim Rindu

Kirim karyamu ke E-mail: majalahsimalaba@gmail.com
Cerpen, Cernak, Esai, Opini, Artikel, Refortase, Puisi (minimal 5 judul), dll
Semua naskah harus dalam satu file MS Word
Beri subjek MAJALAH SIMALABA VERSI ONLINE
(Terhitung mulai Januari 2018: Cerpen, Cernak, Puisi, yg terbit pada malam minggu diberi honorium)


SAJAK SAJAK SAIFUL BAHRI


Sabda Hujan di Musim Rindu

 1/
Musim kian remang mengitari mendung tak bernyawa
rama-rama tertatih buih serupa desau-desau sendu -- melewati
empat puluh ribu prahara hujan rindu. Apkir dimatamu.
2/
Hujan hanya berkeliaran di hutan-hutan selang kesunyian di kamarku
barangkali bisa kupeluk, akan kurobek selimut hujan di saban waktu.
3/
Sabda musim tercipta basah merangkum ranum senyum tanah
menyeruak gigil-gigil dalam denyut derita jiwa penuh asmara
asmara adalah matahari, yang rindu akan canda tawa cahaya.
4/
Air yang kini mengalir membasahi kelopak di matamu
tersaji beku -- tak bisa kubuang deresi rindu seluas waktu
terdiam aku tenggelam menyaksikan musim di laut rindu.
5/
Sampaikan.. sampaikan pada musim perihal sabda rindu ini
aku akan berteriak meringkus musim tersanjung cahaya
aku akan mendendangkan nada-nada asmara dalam dada.
6/
Terdiam aku kelam teringat kehangatan dalam dekapan
terdiam aku karam terbawa gerimis yang mengiris-iris ingatan.

 Oktober, 2017

Masai

Wahai pelitaku, aku tau bajumu kusut, terbingkai debu asmara yang terjerat erat di rahim malam. Kurelakan kunang-kunang terbang berselendang riang -- meresapi detak jantung yang berdendang diladang-ladang, nyalang melayang-layang.
Wahai pelitaku, seakan-akan aku tak peduli pada tubuhmu yang membeku. Aku tereret dekapanmu dimalam itu. Dengan sebaris diam menyusuri lautan -- dengan sehelai rahasia menjelma rayuan. Tapi, engkau masih tak peduli pada nafasku yang kelaparan.
Wahai pelitaku, angin-angin yang kini bertandang memeluk hitam, hitam yang kini terapung mencium kelam, pastikan ini palung kehangatan. Susut pada senyuman. Meliut kemesraan dalam dekapan berkepanjangan. Terbaring kelaparan.

Bungduwak, Oktober 2017

Serpihan Hujan

Engkau tau? Serpihan hujan membingkai tanah sebasah bibirmu di kota ini
menjilat semesta raga yang tak kunjung terang di kutuk zaman khatulistiwa
sementara senja butuh panorama, kicau camar, dan suasana terang dilangit jingga.

Barangkali, semesta ini terima air yang menjanjikan cahaya dalam derasnya
Ah, aku tidak perlu memikirkan hujan yang tertimbun basah direlung jiwa
Sebab aku butuh dekapan, yang memancarkan putik terang di bibir bunga.

Engkau tau? Serpihan hujan ini menjadi saksi akan tulang-tulang yang menghilang
tertuang gigil-gigil di tubuhku, tertuang bulir kedinginan di terpa angin memilukan
:ku ingin tersulam senyum keindahan, memancarkan kehangatan dalam pelukan.

Hujan.. Aku tak bisa berjalan seketika ada kilau matamu
Hujan.. Aku tak bisa tidur bila sunyiku ada bayanganmu
Sebab tubuhmu adalah ladang luas tempatku menanam bibit puisi.

Ladang-ladang akan tunduk kepadamu, lalu kutanam bibit bunga
Kala mataku sedang melihat anggun senyummu,  lalu mekar berakar cinta
Kemana hujan bertandang disitulah mataku memandang, lalang diladang asmara.

Engkau adalah hujan, air adalah kedinginan, menjadikan kehangatan sebab pelukan.
Bila nanti aku mencubitmu, terimalah penebus rasa keheningan ini
Keheningan yang akan kurajut lewat musim semi dalam imaji.

Sumenep, Oktober 2017

BILA SENYUMMU TAK MEKAR LAGI

bila senyummu tak mekar lagi
siapa lagi yang bisa kujadikan imaji lewat puisi.

bila tubuhmu belum jadi puisi
hayalan apa lagi yang bisa temani pagi lewat mimpi.

:aku mesti terbaring di atara percikan api terbakar ilusi

bila mimpi habis terangnya
mustahil aku meraba tubuhnya.
sebab bila engkau tiada, tiada cinta -- dalam sandiwara.

Bungduwak, 2017

JIKA

Jika hidup tak ada rindu
Buat apa kuhabiskan waktu memandangmu
Agar hidup tak lagi berurusan dengan pilu.

Jika hidup tak ada rasa
Aku ingin hidup selamanya
Tanpa berurusan dengan luka dan kecewa.

:Rasa pilu hanya menjadikan aku sendu berlumur debu.

Jika semuanya itu terjadi
Terasa bebas hidupku ini.
Dari mana saja, aku bisa memeluk angin lewat puisi.

Bungduwak, 2017


Tentang Penulis

SAIFUL BAHRI Penulis Lahir di Sumenep-Madura, Pada Tanggal O5 Februari 1995. Selain menulis, ia juga seorang aktivis di kajian sastra, dan "Teater Kosong Bungduwak", Perkumpulan dispensasi Gat's (Gapura Timur Solidarity), Fok@da (Forum komunikasi alumni Al-Huda), sekaligus perkumpulan (Pemuda Purnama). Disela-sela kesibukannya ia belajar menulis Puisi, Cerpen, Essai, Opini, dll. Puisinya antara lain dimuat di Riau Pos, Bangka Pos, Palembang Ekspres, Radar Madura, Radar Surabaya. Radar Jember, Radar Banyuwangi, Radar Bojonegoro 2017 Kedaulatan Rakyat, Solo Pos dan Malang Voice. Tinggal di Jl. Raya Pantai Lombang, Gapura-Sumenep, Madura. Tepat di Dusun Bungduwak. Desa Gapura Timur. Kec. Gapura. Kab. Sumenep. RT/RW 003/003. Kode Pos: 69472

No comments