BUKAN YATIM BIASA _Cerpen Mutia Nasution
Redaksi menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)
BUKAN YATIM BIASA
Siapa bilang tidak memiliki orangtua yang lengkap akan memberi dampak buruk bagi si anak? diriku misalnya, aku memang tidak memilki orangtua yang lengkap. Ibuku tercinta baru saja meninggal dan Ayah bekerja diluar kota hingga kami jarang bertemu.
Keadaan ini tidak lantas membuatku bersedih, murung apalagi sampai putus asa. Aku tahu keadaan ini tidak akan mudah, meski tanpa cinta Ibu lagi, aku terus berjuang, Aku kan masih muda masih punya semangat mengejar cita-citaku dengan berbagai upaya salah satunya mengirimkan berbagai karyaku ke surat kabar Waspada.
***
Matahari yang berkilau tak menyulutkan semangatku di Minggu yang mendebarkan ini. Seperti biasa setiap hari Minggu aku pasti ke loper koran langgananku untuk mencari tahu apakah karyaku dimuat hari ini.
“Tiaaaa!!!” suara teriakan mengerikan itu mengagetkanku yang tengah melotot ngebolak-balik koran ditanganku.
“Tina… Kamu mengagetkan aku saja. Sedang apa kamu disini?” tanyaku pada gadis kumal berambut keriting itu.
“Kamu seperti tidak tahu saja, seperti biasa, aku berjualan koran dan mengantarkan kue ke warung-warung. Kamu sendiri?”
“Seperti biasa…mencari tahu apakah karyaku ada disuratkabar yang aku kirim.”
“Lohh… kenapa tidak kamu tanyakan saja padaku, daripada kamu harus bersusah payah datang ke loper koran.” Tina tampaknya tak ingin sahabat tersayangnya ini bersusah payah.”
“Tidak usah Tin, aku tidak ingin merepotkanmu yang super sibuk ini. Lagi pula aku sudah pernah mencoba mengirim Sms padamu untuk menanyakan apakah karyaku dimuat dikoran minggu ini tapi kamu tidak membalasnya.”
Tina melirik kearah sahabatnya itu.
“Oh ya, kamu pernah Sms aku ya? aduh maaf ya Tia, maklum ponsel abal-abal, jadi bermasalah gitu.” Tina memandangku dengan tatapan bersalah diikuti barisan giginya yang rapi meski tidak begitu putih.
“Ya sudah bukan masalah, aku pamit duluan ya Tin. Aku harus buka kios ponselnya Kak Nung. Kamu kan tahu sendiri gimana murkanya dia kalau aku terlambat membuka kios ponsel kesayangannya.”
“Ya aku bisa bayangin tuh, dia akan teriak Tiaaa…” Sontak aku menutup mulut Tina yang lebar itu.
“Husss kamu ini Tin, gak baik menjelek-jelekkan Kak Nung begitu, gitu-gitu dia udah berjasa banget mau nampung aku jadi pegawainya. Dia masih iba sama aku yang anak ya…” Tina berbalik menutup mulutku yang tengah menganga.
“Jangan lanjutin kalimat itu, kamu kan tau aku juga demikian. Itu udah jadi takdir yang Allah berikan ke kita Tia. Jadi kita jalani aja dengan ikhlas.
Aku tersenyum bangga pada sahabatku itu. Walau dalam keadaan seperti apapun ia tak pernah mengeluh dan tetap bekerja keras memenuhi kebutuhannya yang sebatang kara ditengah kerasnya kehidupan dikota.
“Baiklah, sampai jumpa Tia, aku harus melanjutkan pekerjaanku.”
Tina dan Tia pun berpisah di perempatan melanjutkan perjuangan mereka masing-masing.
Mungkin perjuanganku tidak seberat Tina yang harus berteriak menjajakan koran. Setiap Pagi aku bertugas membuka counter ponsel milik salah seorang terpandang dilingkungan tempatku tinggal.
“Dek… dek Tolongin Kakak dek!”
Sura minta tolong itu memecahkan konsentrasiku yang tengah menghitung pemasukan satu minggu ini.
“Iya Bu’ ada yang bisa saya bantu?” tanyaku agak panik.
“Anak Ibu yang pertama ketinggalan di pasar, Ibu mau minta tolong mau menitip anak Ibu yang satunya lagi disini, bisa tidak nak?”
Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu yang tengah kalang kabut itu. Akupun meng iyakan permohonan Ibu dengan pakaian mewah itu.
Tak berapa lama kemudian Bu Mira yang punya counter tempatku bekerjapun datang. Tanpa mengucap salam ia langsung masuk.
“Gimana penjualan hari ini? Loh… ini anak siapa Tia?” tanya Bu Mira penuh amarah. Tampaknya ia begitu tak menyukai malaikat kecil itu beristirahat di istananya. Tanpa membiarkanku untuk menjawab pertanyaannya, ia pun langsung membuat kesimpulan.
“Oh… pasti kamu membuka jasa penitipan anak di counter saya ini ya?”
“Ti… tidak Bu, tadi ada Ibu-ibu minta tolong anaknya dititipkan sebentar disini” aku mencoba menjelaskan.
“Kamu pasti berbohong sudah mengaku saja. Tidak tahu terimakasih.”
“Assalamualaikum… Ti…” Tina menghentikan memanggil namaku mendengar omelan Bu Mira yang memarahiku.
“Bu… Ibu kenapa memarahi Tia?” Tina tampak murka tak tega melihat sahabatnya kena marah.
“Diam kamu!” Bentak Bu Mira dengan mata melotot pada Tina.
“Kalian berdua ini sama saja, tidak tahu terimakasih dasar anak…” Hampir saja Bu Mira mengucapkan kata mengerikan itu tiba-tiba datang seorang wanita cantik.
“Permisi…” sapa wanita itu dengan lembut.
“Ya ada yang bisa saya bantu?” Bu Mira berubah menjadi lembut mendapati pelanggan yang ia anggap berada itu.
“Saya mau menjemput anak saya yang tadi saya titipkan disini!”
Mata Bu Mira melotot mendengar ucapan wanita berparas putih itu.
“Ja… jadi anak kecil yang tidur itu anaknya Ibu?” tanya Bu Mira kaget.
“Iya… saya juga sudah mendengar semua perkataan Ibu ke Tia dan Tina, maafkan saya bila anak saya merepotkan Ibu dan Tia.”
“Tidak masalah Bu…” Tia tertunduk malu.
“Ibu mau menawarkan kamu dan teman kamu bekerja di counter yang baru saja ingin saya buka. Saya belum memiliki seorang pegawaipun dan saya mau kalian yang menanganinya.”
Sontak Tia dan Tina kegirangan dan Bu Mira tertunduk malu.
Akhirnya Tia dan Tina bisa memiliki usaha mereka sendiri, meski dimodali oleh seorang wanita berhati mulia yang dengan tulus ikhlas menolong mereka. Kedua sahabat tadipun kini semakin optimis meraih impian mereka meski tak mendapat kasih penuh dari kedua orangtua mereka namun mereka bisa memberikan kasih itu pada orang lain yang membutuhkan.
***
Tentang Penulis
Mutia Nasution, memiliki Hoby Travelling dan Jogging juga menulis, tentunya. Selain aktif dalam berbagai even kepenulisan, dengan nama pena Mutz ini telah menghasilkan beberapa karya seperti cerpen dan puisi yang terbit disurat kabar lokal, Sumatera Utara. Ia tinggal di Padangsidimpuan, Sumatera Utara.
No comments