MEMBACA GARIS TANGAN _Puisi Budi Setiawan
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU: EDISI 12
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak ( minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam.
Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorium dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)
(Klik video di atas untuk menonton animasi puisi)
MEMBACA GARIS TANGAN
Sekali waktu
Nasib bermain di garis tanganku
Menyaru sebuah jalan
Lurus atau menelikung tajam
Tak ada bedanya
Sebab akhirnya semua buntu
Ke arah masa lalu
Sepi membawaku
Terbang jadi kupu-kupu
Menyelinap di balik gumpalan awan
Pecah berserak jadi serbuk-serbuk hujan
Yang rentan diremas tangan Tuhan
Lalu jatuh menjadi kenangan
SEMBAHYANG KENANGAN DI BULAN KERINDUAN
:Maret
Akulah malam sunyi yang merindukanmu mengaji
Membacakan ayat-ayat suci
Menerangi bumi hangus ini
Suara adzanmu membuat lubang di dadaku
Tertutup kembali dari benci dan dendam yang bergoyang
Menghantam karang dan lautan diri.
Akulah langit sepi yang bergemuruh
Mendengarmu fasih melantunkan sholawat nabi
Degub jantungku tak bosan mencari
Zikirmu menggema menggetarkan jagat raya
Memancarkan cahaya menghapus gelap
Ke dalam jiwa.
Akulah hujan kecil yang tak bosan memanggil
Mengucap salam dalam alunan tasbih
Hapus dosaku Tuhan yang berlebih
Doamu teguh tak tersentuh keluh
Walau seribu bayang ketakutan
Ingin berlabuh.
Akulah petir nakal yang gemetar mendengar
Suci janjimu kepada bintang dan kehidupan
Ibadahmu, ibadah atas nama Tuhan
Ibadah penyerahan jiwa dan badan.
Di bulan kerinduan
Maretku, sayang
Engkau menjelma kekasih Tuhan
Yang tak pernah lupa sembahyang
Sholatmu dan ibadahmu
Hidupmu dan matimu
Hanyalah kepada Allah
Tuhan sekalian alam.
Jika pagi datang dan Engkau menghilang
Aku, akan tetap mengenangmu,
menunggumu
sepanjang jalan
hingga daun-daun kenangan
ditubuhku gugur berserakan
di pangkuan Tuhan.
SEPERTI ADAM YANG LAHIR DI NEGERI INI
:eka rini prasetyaning tyastuti
Seperti Adam yang lahir di negeri ini.
Aku akan mencintaimu setulus hati,
lewat doa-doa sekawanan domba kelaparan
di trotoar jalan beraspal. Lewat teriakan
ikan-ikan pemuja biru laut tempat
mereka bertelur dan hidup.
Kini Ibarat kekasih, engkaulah, Hawa.
yang tercipta dari belulang airmata.
yang tumbuh dari pohon-pohon purba.
Dari jembatan ambruk di perut kali.
Dari malaikat pengutuk bumi hangus ini.
Sementara seribu ular melata itu menjelma bencana,
atau berjuta buah terlarang ranum di antara reruntuhan
asap-asap tebal yang gugur dan tanggal seperti
tanah mengalir darah, seperti hutan menggigil
pada bising tangis mesin dan gemuruh kota
tak pernah tidur dari suara mobil-mobil yang berdemo.
Anakmu dan anakku, Qobil dan Habil.
Mereka saling menikam demi kekuasaan.
Demi sebuah cinta yang abadi untuk di sesali.
Demi pulau-pulau yang meratapi nasibnya sendiri.
Demi bahasa, demi budaya, demi agama, demi keyakinan,
Dan demi reformasi yang katanya sebentar lagi meledak ini.
Tapi, tunggu! Aku masihlah kekasihmu, Hawa
aku setia mencari di mana rimbamu, berada.
Di atas tebing, di bawah jurang,
di setumpuk nama-nama pejuang, aku menggali kejayaanmu lagi.
Seperti adam yang lahir di negeri ini.
Aku tetap mencintaimu setulus hati,
Setulus Tuhan menyatukan ari-ari
kita di bumi ini yang tiada berpenghuni.
MAWAR BERDURI
:endang
Dadanya tidak mekar mawar
tapi, duri. Endang mawar duri.
malam menamparnya
hingga pecah bedak di mimpi
ibunya mengutuk diri jadi batu
ia memilih jadi hantu
dan mencari
mencari laki
ke pasar kembang
atau ke pasar remang
Siapa berani menawarku ini?
Tembakau kemloko
rasanya pahit
tapi, tubuhku enak dicicip.
Pagi yang cacat
menyeretnya pulang
menggugurkan
bunga-bunga perawan
di atas nisan.
Ibu aku datang
di rahimmu
masih adakah kesedihan?
BANDOSO
empat ekor kuda
satu kereta
ke arah kiblat
berpayung langit
hujan menyimpan perih
di lubuk ajrih
sebelum berangkat
Syeh Abdul Qodir Jaelani
berucap ;
“yang hilang dan yang lenyap
bisa (jadi) kita berikutnya”
amin,
dua malaikat diutus
mengukur jarak
antara kedatangan dan kepergian
mana yang kau pilih?
gugur bunga
kidung bergema
sepanjang jalan
orang-orang bertanya
menjadi tua
kemana kita akan
pergi, setelah ini?
anjing anjing menyalak
di atas makam
seorang wali
ayat ayat suci
doa-doa
kembali sunyi
Syeh Abdul Qodir Jaelani
berkata; “ yang percaya dan niscaya
bisa (jadi) kita selanjutnya”
shirotol mustaqim
pintu terbuka
KOTA SANTRI
Di gapura sebuah desa kembali namamu gagal kueja
Nama seorang wali yang dijaga ribuan ayam cemani
Dengan sayap-sayap hitam tak ringkih dikikis hujan
Yang berabad-abad menyelinap
Dari tempat gelap menuju terang
Siapa yang memutar waktu ke belakang
Siapa diriku tanpa dirimu sekarang
Kalau bukan seseorang yang tersesat
Dari balik pekat kabut asap
Lalu cahayaMu menyentuh jalanku
Ke arah kiblat
Aku datang kepadamu
Sebagai perantau dari negeri jauh
Di pagi hangat, tak berbekal apa-apa
Hanya membawa hati dan cinta
Seputih buih di samudra
Dan jika bukan karena dirimu
Mungkin aku juga tak tahu di mana Tuhanku
Tapi kau memilih tinggal di kota itu
Saat aku masih ingin mengukur
Seberapa dalamnya sumur di hatimu
Ah,waktu begitu gelap, sunyi, dan senyap
Membuatku kian bertanya-tanya
Kelak cahaya akan terbit dari arah mana
Timur atau barat
Atau dari matamu yang telah
Terpejam lelap
SABDA WAKTU
;siti
Kau tak memerlukan gugur bunga
Untuk adegan hidup semelankoli itu
Sebab ajal tak mudah jatuh cinta pada yang bersedih
Sebab kematian pun sesungguhnya tak pernah
Bermimpi memiliki seorang kekasih.
Kau hanya perlu bercakap-cakap
Dengan malaikat yang sungguh tak hanya ingin
Mendengar gerutumu
Tentang sepasang sayap itu.
Kau tak perlu berusaha payah
Menggerakkan apapun yang tak pernah kau sukai dari tubuhmu
Yang lelah kaku beku di lemari es.
Kau pun tak usah bermimpi bangun
Setelah di kurung tidur begitu lama
Dan gelap menyelinap dengan nyenyaknya
Tapi, di ranjang itu
Kau bak seorang permaisuri
Dengan belahan payudara terbuka
Ingin menggoda Tuhan sekali lagi.
Kau pikir Tuhan
Seperti seorang lelaki yang patah hati
Mudah dibujuk-rayu
Dengan cinta dan rindu
Kau hanya harus terus berpura pura
menikmati hidup dalam ketiadaan
sebab ciuman terakhir malam
biasanya penuh dengan kutukan perpisahan
desah dan nafasmu hanya akan menjadi jaminan
paling memabukkan bagi setiap mata langit yang merindukan hujan
Kau boleh mencintai atau membenci
Tentang segalanya yang tak pernah kau tahu atau yang ingin sekali kau tahu
Tapi, sejauh apa usia bakal mampu mengingatkanmu
Jika pada akhirnya, hasrat bercintamu
Pun sirna di curi waktu.
SITI ELANG
Dalam sangkar tubuhmu
Aku kau kurung
Dalam langit jiwamu
Aku tetap seorang petarung
Tentang Penulis
Nama Budi Setiawan tinggal di Temanggung Jawa Tengah, alumni Universitas Muhammadiyah Magelang jurusan ekonomi manajemen. Ia bergiat di komunitas turonggo setro, beberapa puisinya termaktub dalam antologi bersama di antaranya 100 Puisi Qurani (2016), Puisi Untuk Indonesia (2017), Sajak Untuk Saudaraku (2017) dan 100 sajak untuk Gus Dur (2018).
No comments