HEADLINE

ELEGI SEPASANG SAUDARA _Cerpen Luhur Satya Pambudi

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU:  EDISI 12

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak ( minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam.
Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorium dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)


Bukan sesuatu yang mudah bagi Aini melupakan Nurman, sang adik semata wayang yang tiba-tiba padam nyawa. Sepanjang tiga dasa warsa lebih, mereka menjadi sepasang saudara yang seakan tak terpisahkan. Sejak masih bocah, mereka memiliki banyak ketertarikan pada hal yang sama, apalagi soal makanan. Bahkan mereka pernah bertahun-tahun merintis usaha bersama, hingga sang kakak akhirnya memilih menyelesaikan studi S-2 dan bekerja sebagai pengajar di sebuah universitas. Baru tiga bulan berselang, Aini dan Nurman tak lagi tinggal satu rumah lantaran sang adik telah melepas masa lajangnya. Jadi, hanya dalam kurun waktu singkat, perempuan tersebut mesti dua kali kehilangan lelaki yang sangat disayanginya. Semula Nurman tidak ingin menikah mendahului kakaknya, tapi Aini berbesar hati dan justru mendorong adiknya agar segera hidup bahagia bersama kekasihnya.

“Kau tak usah mencemaskanku. Siapa tahu, setelah kau menikah nanti, aku  bertemu calon suamiku dan akhirnya bersanding di pelaminan pula,” ujar Aini.

“Terima kasih, Kak. Aku lega mengetahui Kak Aini ikhlas membiarkanku menikah lebih dulu,” sahut Nurman. Mereka berdua pun berpelukan diwarnai air mata keharuan.

Kakak beradik yang begitu karib tersebut larut kembali dalam beragam perasaan yang tak terkatakan, tepatnya sehabis Nurman resmi menikahi Laura, kekasih yang baru dipacarinya dua bulan. Aini tulus mendoakan adiknya agar dapat bersukacita dalam berumah tangga, kendati ia tahu Nurman sempat ragu sebelum mempersunting Laura. Sang kakaklah yang berusaha meyakinkan adiknya agar mantap dengan niatnya.

“Jika kau sungguh mencintainya, apa pun kekurangannya pasti bisa kau terima. Mestinya begitu pula dirinya terhadap dirimu, Nurman. Kalian pasti mampu saling memberi maupun menerima apa adanya.” 

”Semoga harapan Kak Aini bukanlah angan belaka. Memang aku harus yakin supaya sanggup menjalaninya,” kata Nurman memotivasi dirinya.


***

Namun, kebahagiaan yang didamba Nurman setelah menikah ternyata tak sesuai bayangannya. Beberapa sikap istrinya tidak bisa dengan mudah diterima Nurman, terkadang rasanya terlalu berlebihan. Ia tak nyaman tetap berada di rumah mertuanya dan memilih pulang ke rumah orangtuanya. Sang kakak senantiasa menjadi tempat mencurahkan hati paling ideal bagi Nurman.

”Aku tak bisa menyarankan banyak hal karena aku belum punya pengalaman berumah tangga, tapi kau bisa belajar dari apa yang dilakukan orangtua kita, kan?”

”Ah, tapi sepertinya Bapak dan Ibu tak pernah terlihat punya masalah besar. Apa yang terjadi padaku jelas berbeda dengan mereka, Kak.”

”Hei, setiap pasangan pasti punya masalah. Orangtua kita juga demikian. Tapi, lihatlah bagaimana mereka merampungkan setiap masalah dengan elegan. Hal itulah yang membuat mereka masih bisa bersama, hingga sudah tiga puluh tahun lebih saat ini. Aku yakin, mereka sangat bertoleransi satu sama lain.”

”Iya, Kak. Maafkan aku yang terlalu sensitif kini. Apakah mungkin aku terlalu cepat mengambil keputusan menikahi Laura, ya?”

”Sudahlah, jangan sesali keputusanmu sendiri. Yang penting, cobalah perbaiki sikap kalian dan beradaptasilah sebaik-baiknya. Tapi. kalian mesti seia sekata melakukannya, jangan salah satu pihak belaka.” 

Sebelum melepas masa lajangnya, Nurman pernah tujuh tahun berpacaran dengan gadis yang sangat dicintainya. Namun, kisah asmaranya kandas karena sang kekasih merasa jenuh dengan hubungan mereka. Sempat terluka hati Nurman cukup parah, lantaran sesungguhnya ia telah berencana mengajak kekasihnya menikah. Maka begitu ia jatuh cinta pada Laura, perempuan itu mengaku mencintainya pula, Nurman tak mau lama berpacaran lagi. Ia segera melamar Laura, kendati ia belum memahami benar karakter kandidat istrinya. Nurman enggan kembali menunggu agar selekasnya dapat merasakan kenikmatan ibadah yang belum pernah dilakukannya. Aini mengerti betapa besar kekecewaan adiknya dalam menjalani awal hari-harinya berdua bersama Laura.

***
Usia pernikahan Nurman dan Laura sudah melewati tiga kali purnama. Masalah yang terjadi di antara mereka selalu berusaha dicarikan solusinya oleh orang-orang terdekat mereka. Nurman sesekali masih tidur di rumah orangtuanya lagi, tapi ia selalu bersedia pulang ke rumah mertuanya, tempat tinggalnya bersama Laura. Ia tak rela bahtera rumah tangganya karam begitu saja didera badai gelombang problema yang ukurannya tak seberapa. Namun, sebuah kejutan besar kemudian terjadi. Ketika sedang berada di rumah orangtuanya, Nurman sekonyong-konyong mengeluh sekujur tubuhnya kepanasan. Ia bahkan memutuskan mandi dengan air dingin, padahal waktu telah larut malam. Tampaknya lelaki tersebut memiliki firasat tersendiri tentang apa yang akan terjadi pada dirinya.

  ”Pak, mungkin lebih baik aku berangkat ke rumah sakit sekarang juga. Tubuhku rasanya sungguh tak karuan begini,” ujar Nurman dengan sangat gelisah. 

Maka tanpa banyak waktu, Nurman diantarkan ke rumah sakit oleh kedua orangtua dan kakak tercintanya. Ternyata begitu sampai di rumah sakit, kondisi tubuh satu-satunya adik Aini itu semakin melemah. Berdasarkan pemeriksaan dokter, telah terjadi komplikasi berbagai macam penyakit pada tubuh Nurman yang posturnya sangat gemuk itu. Sekitar jam tujuh pagi hari berikutnya, malaikat maut melaksanakan kewajibannya. Berpisahlah sudah jiwa dan raga seorang manusia. Serangan jantung menjadi alasan medis tutup usianya Nurman. Begitu pedih hati Aini mesti melepas kepergian adiknya untuk kedua kalinya dalam waktu yang tak lama. Mungkin hanyalah ia dan ibunya perempuan yang paling berduka, sementara dilihatnya Laura malah tampak tak terlampau sedih kehilangan suami yang baru tiga bulan menikahinya.


***

Dua pekan seusai kepergian Nurman, ada sesuatu tak terduga yang terjadi lagi. Tante Pur, saudara sepupu ibu Aini yang tinggal di luar kota dan lama tak ada kabarnya, tiba-tiba menelepon ke rumah untuk menceritakan sesuatu yang mencengangkan. Ia mengaku didatangi Nurman dalam mimpi serta telah menyanggupi menjadi perantara terjadinya komunikasi antara almarhum dengan keluarga terdekatnya melalui telepon. Tante Pur berjanji akan menghubungi Aini, jika Nurman sudah siap untuk bercakap-cakap.

Laksana mimpi belaka pada awalnya. Tentu Aini tak bisa percaya begitu saja bahwa pemilik suara yang berada di ujung telepon memang adiknya. Ia tahu, Tante Pur yang tadi berbicara dengannya, tapi suara itu serta-merta terdengar berbeda gaya bicaranya.

“Apakah benar, kau memang Nurman?” tanya Aini dengan nada ragu.

“Iya, Kak. Inilah adikmu.”

”Bisakah kau membuktikan diri sebagai adikku?”

”Bisa, Kak. Terakhir kali, kita makan bersama di sebuah rumah makan Thailand yang baru buka, kan? Semua menu yang kita pesan serbapedas. Aku jelas saja kepedasan, tapi Kak Aini senang sekali waktu itu.”

”Oh, ya ampun. Iya, itu terjadi empat hari sebelum Nurman, eh... kamu meninggal...” sahut Aini yang tiba-tiba dadanya sesak dan air matanya menetes sendiri. Kendati yang didengarnya adalah suara perempuan, tapi Aini jadi yakin memang adik kesayangannya yang tengah berbincang dengannya.

”Bagaimana kabarmu sekarang?” ujar Aini setelah mampu menenangkan hatinya.

”Aku baik-baik saja... Kak Aini, mohon maafkan segala kesalahanku, ya.” 

”Ah, Nurman. Kaulah adikku satu-satunya yang terbaik di dunia. Mana pernah tidak kumaafkan kesalahanmu?”

”Terima kasih, Kak. Aku lega sudah dimaafkan Kak Aini.”

”Hei, rasanya seperti mimpi saja, aku bisa bicara lagi denganmu sekarang.”

”Iya, Kak. Oh ya, aku mau minta tolong. Bisa kan, Kak?”

”Kau mau minta apa, kami semua pasti akan berusaha memenuhinya.”

  ”Sebenarnya aku tidak sepenuhnya baik-baik saja. Di sini aku kerap tersesat. Jalan di depanku tiba-tiba gelap. Oleh karena itu, aku ingin minta maaf kepada semua orang yang kukenal, terutama istriku, mertuaku, dan teman-teman terdekatku. Itulah sesuatu yang belum sempat kulakukan di akhir hidupku. Dan tolong, hal itu mesti disampaikan secara khusus di depan mereka. Aku yakin, kalau Bapak, Ibu, dan Kak Aini pasti sudah memaafkanku tanpa kuminta. Oh ya, jangan lupa untuk menyedekahkan sebagian harta peninggalanku, Kak. Siapa tahu, hal itu bisa membuat terang jalanku di sini.”

”Baiklah, permintaanmu akan kami turuti. Semoga kondisimu di sana jadi lebih baik.”

Maka pada peringatan empat puluh hari wafatnya Nurman, permintaan maaf itu disampaikan di depan istri, mertua, maupun teman-teman almarhum. Sebagian harta peninggalannya juga telah disedekahkan kepada masjid dan panti asuhan terdekat. Nurman sempat sekali lagi menemui kakak perempuan serta bapak ibunya lewat perantaraan Tante Pur. Ia mengatakan bahwa jalan yang dilewatinya kini sudah  terang dan perasaannya kian tenang. Setelah itu, Nurman tak pernah menghubungi kembali orang-orang tercintanya. Mengenang sejuta kisah yang pernah dijalaninya bersama sang adik semata wayang, Aini hanya mampu meneteskan air mata seraya menahan sesak di dada. Tak pernah ia lupa berdoa sepanjang masa agar Nurman hidup nyaman di alam sana, walaupun entah bersama sesiapa. Semoga selalu dalam berkah kasih sayang-Nya.

TAMAT


Tentang Penulis

Luhur Satya Pambudi lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di Tribun Jabar, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Bali Post, basabasi.co, dan sejumlah media lainnya. Kumpulan cerpen perdananya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika). 






No comments