HEADLINE

PENGAMPU TINGGI _Puisi Puput Amiranti

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU:  EDISI 13

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak ( minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam.
Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorium, pada edisi ini tidak ada konten video puisi sebab redaksi tengah mempersiapkan penerbitan buku antologi Simalaba)




PENGAMPU TINGGI 
; Blitar

dalam rejal kesunyian waktu, matamu batu
sementara siang tetap melanjutan kisaran
kisarannya tentang kasidah yang tak perlu,
tak layak pecemburu, untuk melompat ke akar 
sungsang—jalan jalan yang tesusun dari cumbu 
masa lalu terhadap pikiranmu,
nostalgia nostalgia usang, selalu mengulurkan tangan
tangannya kesiangan dan kurus dalam perubahan
perubahan lapar—dan engkau saksikan usiaku
mampu berdiri di situ untuk menghenyakkanmu
membaharui bunyi bunyi tidurmu, 
akan keniscayaan keniscayaan matahari baru  yang kau
tak perlu tahu

Blitar, 2017


BOLA-BOLA KARMA

; Abad yang berlari, berlarilah..
tapi tak akan mampu engkau, meneruskan pada 
takdirmu, sebelum tuntas sagala tunas kan
kau alami sendiri

laki laki meminjamkan rembulan
yang turun dari matanya, dari daun daun tumbuh—kuusap
dahi yang muncul cahaya, langit seolah berpendar
melayangkan ruhku pergi, menuju impian-impian
nenek moyang, kiranya doaku tentang tubuh beku dan harapan 
harapan pulih kembali— adakah ketakutan ketakutan itu seperti
penyihir yang lewat, masa silam, atau ia yang lihai menipu
di dini hari, fajar cemburu melintas di akar akar rumahku— merapal
gerbang yang melengkung ke angkasa, suara-suara naga, 
dan dada segala dusta, tebah
menyingkap kutuk pada akhirnya
untuk segala tahun-tahun cahaya

Juli-Desember 2017


SIMBOLIS

sore gelisah aku mengingat perkara dapur,
sekian kosong karna hati pikiranku lama terisi oleh
galau pacarku
bawang habis, lengkuas habis, jahe habis,
sereh habis
aku pergi melanglang membeli semua itu
kulihat dalam was-was—pedagang renta mewadahi
sereh yang kecoklatan—kiranya sudah matikah itu
bisa dimasakkah itu, sembari membayarnya
dan membawa bungkusan penuh bumbu 
pulang

sesampai rumah, seonggok bungkus bumbu aku letakkan 
begitu saja 
sambil lalu kutetap memikirkan pacarku
hingga malam renta, begadangku menjelma mimpi
pacarku menguliti batang sereh—“Kok masih muda dan segar?”
tanyaku. “Ya, kan dalamnya belum diteliti”, ucapnya.

Pagi menjelang, kuingat perkara dapurku.
masih saja kumalas memasak, kulihat batang sereh itu
daunnya kecoklatan layu, jelas tak bisa dipakai, sia-sia,
ujar batinku

2017


KELINCI DUNGU 1

Pagi berlapis
ku bayangkan kemanakah autobots pergi
dalam rawa rawa candi dan lusinan ingatanmu
yang terbangun rubuh akan berat bebal, isak,
dan kesepian
tatkala kau menungguiku
jaring jaring hidupku selalu, di langit sekian
sunyian—kusimpan berleret leret tentang 
kenanganku
kau hinggap dan terbang

Udara Dieng, Juli 2017


KELINCI DUNGU 2

Siapakah kamu,
anak kecil
yang mengedak edak, menunggui
membuntuti setiap kerdipan
langkah khayalku—saat hidup tak bergeming
dalam menara menara lanting, engkau lipat
bibirku, dalam hasta hasta kemayaan
engkau bawakan seutas ranting, seseok
rembulan yang gelap pipinya—mulai bercerita
tentang kemalangan kemalangan lagunya
yang dihujami air

siapakah dia, membututiku selalu
ke dalam akar akar pakis, waktu ikan ikan
berenang berlari—mengitari matamu
dalam serpih dan binar binar gua, sudut yang gulita
waktu pertumbuhanku—meringsek ke dalam
akar akar dadaku

pada rawa rawa hutan, isak bergantian
kita bertukar baju, matahari tak selalu biru
namun erat mar mar menunjuk warna yang lekat
dalam lurus pebukitan, menyimpan
genggaman genggaman getah beku
senyum kutukmu

Arus Dieng, Juli, 2017


KEONG MATAHARI 
; usai upacara

tatap membawa kilat
dan airmata yang tercuri, 
engkau tahu, tak ada tahun tahun 
dalam alam alam mimpi dan keterusterangan
jalan-jalan matahari itu kukuh membangun pandir—pasir
yang berputar putar, dalam genggamannya, menara menara rahasia
koda koda burung lampus— langit bersyak
kata kata tersembunyi, lagu wahai kau matahari, 
leher terikat pasir
ke kedalaman akar rumput, maut, bersikukuh ia,  
ratap ratap kuda, benteng benteng serigala
kastil yang geming sendiri—menarikan satu tarikan
senyum yang terbangun ngun ngun lamunan matahari, tatkala kata
telah getah
dan bara yang lihai memuslihatkan diri

2017


ETALASE KACA

nafas yang memburu
lebih sulit saat menerima keputusan keputusan
raja raja besar mengutuki daerah
daerah kanon jajahannya—mereka harus bertahan
tentang kata dan krucil dan segala kegilaan
menggali segala dupa mitos, pun persenyawaan
  lelang karun seribu tahun
anak cucu, perahu perahu Nuh syak disangkal, 
ditenggelamkan,
amur, buta dan buta
lebih sulit lagi, saat berhadap dengan
gurat segaris dalam—bahasa tatap alismu
memburu sendirian

2017


KUCING
;jika kau peka

meringkuklah dengan segala abad abad kenyamanan di sini
tanpa kausentuh, tanpa merasakan sentuhan
pandanganmu, dan jalan persepsi yang membutakan
ingatanku

karna aku makhluk, kecil yang tak ingin kaukenang
matipun kupilih sendirian
siksa ku tak tangisi di depan pohon pohon dan lumut lumut,
rumput berjelaga, 
memajang hikayat angka-angka kelahiranku dan tempat
andai berkhianat
susah sedih kutanggung sendiri
meski dalam diamnya kemanjaan kemanjaan yang kaukenal—
kau tak akan mengenal
sampai akhir hikayat

ia akan meneruskan ringkuk
perjalanan pergi sendirian

dengan ingatan dalam, 
catatan catatan kepekaanmu
menuju haribaan surga yang dalam

2017


DIONYSIAN 1

pada langit yang hidup 
kedipan mata—lagu
mengurungmu dalam ngun ngun
dan hikayat sepi
menumbuhkan waktunya yang bercecabang
ke dalam akar tangsimu,
tangis yang tak kau dermakan
saat lihai melihat mawar, yang engkau pegang
namun runtuh dalam daunan ombak
kelopak, sesaat tak menyentuhmu akan keniscayaan
kau kembali padanya

hantu hantu laut
matahari padi, singgah dalam kedalaman
penghayatanmu

sebuah kursi terbang, tempat didudukan
segala kemayaan, yang membuat saljumu turun
dan tangan tangan kembali bebal
menggerakkan badai
dalam naungan liar, ia hadir dalam sebalik mimpimu
untuk meluluh lantakkan bangunan
padi yang tersusun rapi dalam lautmu

penuh mawar, dan hujan

2017

LUNGKRAH TATAP

yang menyentuh kupu, lagu laut
maut pun melarung dalam pekat
mimpimu hitam, penghayatanmu kelam
benam segala sunyi, tenggelam dalam segala kalam keniscayaan

matahari-matahari mimpi, yang memancar dari dadamu
masihkah; kau miliki laut untukku

dalam hikayatnya yang memencarkan kesunyian
kehilangan anak kupu, menyentuh magis
wajahmu, sekali lagi
dalam terumbu perahu—karam dan hilang

sesat dan kesenyapan

2017



Tentang Penulis

Puput Amiranti Nugrahaningrum lahir di Jember, 24 April1982. Lebih banyak menghabiskan waktunya di pedalaman Kabupaten Blitar dengan menjadi guru dan pembina teater di sebuah sekolah di sana.

Ia alumnus Sastra Inggris Unair ini, karya-karya puisinya dimuat media cetak, online, dan radio, yakni: Surabaya News, Surabaya Post, Surya, Jawa Pos, Media Indonesia, Suara Merdeka, Aksara, Lampung Post, Pikiran Rakyat, Jurnal Perempuan, Majalah Bende (Taman Budaya Jawa Timur), Kidung, Jurnal Sajak Edisi 3, Harian Rakyat Sultra, Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post, Suara NTB, Basa Basi.co.id, WartaLambar, Baca.co.id, Nusantaranews.co. Puput juga menulis geguritan (puisi berbahasa Jawa) dimuat majalah Jayabaya dan antologi Pasewakan (Konggres Sastra Jawa III, 2011). Media online Indonesia-Australia, AIAA News dan dibacakan di radio Indonesia-Jerman, Deutsche-Welle (Januari, 2004). 

Karya-karya puisinya dimuat antologi puisi, seperti: Permohonan Hijau (FSS 2003), Antologi Penyair Jawa Timur (FSS 2004), Dian Sastro For President #2 Reloaded (On Off, 2004), Pesona Gemilang Musim (Himpunan Perempuan Seni Budaya Pekanbaru, 2004), Impian Bunuh Diri (stensilan, 2004), Malsasa (2005), Khianat Waktu (Dewan Kesenian Lamongan, 2006), 142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok Studi Sastra Banjarmasin Kalsel, 2006), Surabaya 714-Malsasa (2007), dan Kepada Mereka yang Katanya Dekat dengan Tuhan-Antologi Penyair Mutakhir Jawa Timur (Lanskap Indonesia, 2007), Pelayaran Bunga (TBJT 2007), Malsasa (2009), Tadarus Puisi (2010), Festival Bulan Purnama Majapahit (2010), Rakyat dan Tuhan-Antologi 4 Penyair Blitar (Elmatera Jogja, 2011), RA Kartini-Antologi Penyair Perempuan se-Indonesia (2012), Cinta Gugat (Sastra Reboan, 2012), Puisi Menolak Korupsi (Forum Sastra Surakarta, 2013), Buku Memo Untuk Presiden (Forum Sastra Surakarta, 2014), Senandung Tulang Rusuk (Dewan Kesenian Mojokerto, 2016), Sebumi#3: Teruskan Jalan Itu, Teruskan Pikiranmu (Lestra, 2017), Festival Bangkalan 2 (Himpunan Masyarakat Lumpur Bangkalan, 2017),  Antologi Wanita Memandang Indonesia (2017), Antologi Bersyiar dengan Syair (2017),  Antologi Puisi Bogor (2017),  Antologi Langit Senja JatiGedhe (2017), Antologi Balai Bahasa Jawa Tengah (2017), dll

No comments