BUJANG DALAM KATA PULANG_Puisi Puisi Redovan Jamil (Semarak Sastra Malam Minggu)
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 17
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam.
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)
BUJANG DALAM KATA PULANG
orang-orang sudah tahu jikalau aku sudah sekian kali tak berpulang
berpulang ke tempat yang kusebut kanal-kanal pemandian
telah ribuan hektar padang yang telah kusemai menjadi kebun
bertanam rindu dan payah
sekian detik ini, aku tetap sajak menetap
belum sanggup bersahabat dengan dua belas purnama yang jatuh satu-satu
dengan tuju sebuah pelayaran pulang
gerimis di luar terus saja dingin
menjatuhkan segala hal yang ada di jantung puisi ini
tiba-tiba tilam yang saban waktu tempatku melempar kesah terasa berduri
menusuk-nusuk setiap helaan napasku yang gegas
gegasnya yang merujuk pada seonggok senyum pada gadis itu
kala itu, usiaku belum tuntas pubertas
otakku belum sejatinya waras
mengharapkan biduan dusun yang saban hari dikedip
oleh bujang seusiaku
aku tetap saja mengaguminya seumpama batu yang dilempar ke kali di samping rumah
tenggelam dan hanya menyisakan beriak seketika
lalu kembali tenang membawa cerita
yang sampai detik ini masih kusimpan erat
kapal-kapal telah lama bersandar di dermaga
menunggu penumpang penuh
akankah aku pulang
menemui cintaku yang tengelam
dan meninggalkan beriak saja.
Bandaraya, 2017
NELAYAN DAN MUSIM CABAR
musim ikan telah tiba
para nelayan telah kembali ke tepian
bujang melempar kumbang ke badan sampan
diikuti dengan jaring berdepa-depa orang dewasa
sepersekian waktu bujang menatap gagah laut yang teduh
otot tangannya terus mengayuh ke tujuan yang dimaksud
melintasi setiap ambingan pelik pemasang jerat kehidupan
kumbang, jaring dan beberapa perangkap ikan usai dipasang
setiap jengkal punggung bujang tertulis
mantra-mantra nenek moyang terbiasa melaut
sudah puluhan tahun ia mewarisi petuah itu
namun, kini ia tak lagi cabar
ikan sepi menepi, udang-udang banyak yang pemalu
tahun berganti, nelayan modern berdatangan
para pelesir membawa pukat
tuba-tuba ganas dan panas
nelayan tetap saja sebagai nelayan
laut tentu saja asin
seasin kehidupan bujang yang temaram.
Selat Malaka, 2017
BERBURU DALAM GERIMIS
di luar tetap saja gerimis
awan menggumpal gelap
dan terdengar batuk petir sesekali
sudah beberapa kali fajar dan petang
melintang di langit semenanjung himalaya
tiada lagi terlihat kumbang di pasang
oleh nelayan di tepian itu
tidak ada lagi terdengar musim berburu
tentunya dapur luput dengan pengapian
hanya gigil yang menemani saban waktu
semenjak hujan terus mengguyur tiada jeda
ikan-ikan lengang menepi terkail pemancing
ikan belukang, sembilang yang telah jarang
sekarang pumpun pun sulit digagahi di lumpur yang basah
pumpun santapan lezat sembilang kala air pasang mendera pantai
nyaris kini tak ada lagi petanda beriaknya gelombang datang
tentu ikan-ikan air tawar enggan menepi
terus memagut sepi yang telah jadi
di tubuh pelaut yang terombang asinnya kehidupan.
Bandaraya, 2017
HANG TUAH ANAK RANAH SERIBU PARIT
aku berdiri di geladak kapal
menikmati deru angin dan melawan segala laju ombak
yang menerjang dinding lengkung yang terbuat dari kayu meranti
sembari melipat pandang pada satu tuju
ialah dua pondok tersapu perih derai ombak
yang menjilat-jilat laju waktu bersama lebur lelah
konon, pada masa silam
tubuh bangunan yang tercabik-cabik tersapu waktu itu
ialah bukti ada kegaduhan sejarah perjuangan di ranah seribu parit ini
hang tuah adalah titah pahlawan yang jasanya
tersemat dalam jantung indonesia
di meranti ini, di kota dipenuhi lampu lampion-lampion ratapan
tiada yang lebih berjasa dibandingkan juangnya
bisa kita temui puing-puing meriam di ujung semenanjung
tempat di mana pahlawan-pahlawan di tanam semena-mena
ia terlahir di kota ini
kota seribu cerita di selat malaka suku melayu.
Selatpanjang, 2017
TUKAK LELE
dipilih satu kayu terbaik perorang
kayu yang sepanjang satu depa
dijaga selalu sebagai pengganti diri
dan juga disediakan kayu satu jengkal orang dewasa
untuk dipukuli sejauh mata menatap
sesiapa yang lentingan kayunya terjauh
dihitung dengan kayu sedepa seberapa banyak
sesiapa yang terbanyak hitungannya
ialah yang menjadi jawara kanca desa
permainan akan dimulai
anggota satu lobang hanya diindahkan maksimal lima orang
bertarung untuk hitungan yang terjauh dan terbanyak
bermain secara estapet
bergilir dari pemukul pertama sampai kembali lagi ke semula
kini, terlihat bujang bersiaga melapalkan sekelembat mantra
lalu memukul kayu sejengkal dengan atraksi hanya dua kali pukul
yang pertama dipukul untuk melontarkan kayunya mengudara
selanjutnya memukul kayunya yang mengambang di udara sekencangnya
melayang bebaslah sejauh mata sanggup bertatap
kegaduhan terlihat di padang itu
sorak-sarai mengiang langit
akhirnya, bujang tualanglah menjadi jawara
dalam taruhan dan kegaduhan tukak lele.
Bandaraya, 2017
DONGENG LELAKI MINANG
berdarah lagi tubuh lelaki itu
terus ia mencicipi luka yang ia tanggung usai ditinggal istri
yang mengisi relung hatinya
darah menetes sepanjang jalan di kampung itu
tak ada yang sudi membasuhnya
hanya ada percikan asam cuka
yang terus dihadiahi oleh setiap orang yang ditemuinya
di pasar ikan, pantai yang ramai namun kosong di dadanya
laut-laut yang keruh di matanya
jus-jus yang asin pada lidahnya
tak ada lagi secuil merekah senyum di bibirnya
yang ditemukan hanya mendung saban hari
tangis berkepanjangan pada dini hari yang mulai merebah pada fajar
sampai merenggah nyawa, begitulah dongeng perantau minang itu.
Bandaraya, 2017
DALAM RASIAN MASA SILAM
akhir waktu ini
aku sering menerima surat melalui
pasang surut air laut dan terdampar di tepian mandi
aku lapal surat itu dalam sirat
di jambat yang sedia hari aku tetap menemui selembar kenang
kala kamu melapaskan dengan kata-kata ganjil
“aku harap setiap bulannya aku mendapati sajakmu
dari tukang pos yang selalu lewat depan rumahku”
melontar dari mulutmu
kekata itu adalah sebuah lecutan
pulang dalam juang panjangku
kini, sungguh aku dalam keadaan teruk
ranum buah tembatu tidak lagi manis
kelatnya buah ridan tiada lagi terasa
suaramu terngiang-ngiang di dinding kamar
saat waktu berpeluk dini hari
tak dapat kupungkiri
setakat juga mengetuk pintu rohku – mimpi
membawaku berlayar ke pulau
yang pernah kita tulis sebagai kenang
julang gunung yang pernah didaki
tentang angan-angan dalam rasian
itulah aku sekarang
diburu wajah gadis dalam elok paras
yang pernah hinggap di ranting hatiku
sampai matahari menyingkap menuju lembar baru
aku selalu begitu – termangu.
Bandaraya, 2017
BERBURU RAMA-RAMA
telah lama janji aku urungkan kepada emak angkat
kali ini terbayar sudah segala harapan
berkemaslah dengan ketiding dari pandan hutan
tidak lupa jua secawan nasi dan lauk
ditangan telah terpasang sarung penangkal goresan ranting kayu
beranjaklah segerombolan tualang merapal takdir
pada kanal-kanal di belantara pokok rumbia
berawal dari sayu-sayu suara serangga hutan
menyuarakan khas pedalaman
terus menyibak lekuknya kanal-kanal yang lecah
menerka sebuah kemungkinan pada lobang-lobang yang dalam
lobang sebagai rumah oleh rama-rama seukuran lengan orang dewasa
digenangi air seberapa saja
lihatlah, kaki akan menerka hulu lubang itu dengan satu tijakan yang pasti
membuncahkan seisi lubang keluar permukaan
begitu juga dengan rama-rama
mati kalut dengan hantaman yang ganas
tergelepar di atas lumpur becat
terjebak dalam tualang seorang petualang.
Bandaraya, 2017
HULU DAN MUARA PISAH
berat kaki dilangkahkan
lunglai sudah jasat ini
seumpama tiada lagi belulang
hanya seonggok daging yang luka
di dusun ini
telah dua belas purnama tanggal di atap rumah
pelipur lara menganak kanal-kanal di sepanjang jalan
luput sudah tanda tanya
usai sudah kepelikan perjuangan
aku akan kembali kepelukan tanah pesukuan
air mata jatuh satu-satu
menandakan ribuan kenang telah terukir
wajah emak bapak angkat lekat dalam pandang
anak-anak suku akit, kepala suku
dan segala hamparan hijau pokok rumbia
sebagai saksi bisu atas tualang dan juang
bakti dan bukti melebur pada satu tuju
“aku lelaki itu, seduh sedannya pertemuan dan perpisahan
aku lelaki itu, sapa dalam perpisahan”.
Bandaraya, 2017
MUSIM GAGAL
bayam di belakang rumah telah tumbuh
berburu julang dengan rumput dan ilalang
segala yang hidup terlihat berkejaran
dengan aliran palung waktu
berjuang perihal kesah yang mengigaukan surgawi
angis terus saja menyapa
disetiap helaian pucuk-pucuk yang rindang
hatiku tetap saja melintang
di antara desiran nyanyian burung tekukur
tentang nestapa daun bayam digerogoti segerombolan ulat
panen kugagal, seganjil perantauan yang malang.
Bandaraya, 2017
Catatan:
kumbang : sejenis alat penangkap ikan
tukak lele : nama permainan tradisional di pedalaman Riau yang menggunakan kayu
jambat : pelabuhan
Tentang Penulis
Redovan Jamil, lahir Padang Benai pada 24 tahun yang lalu. Ia adalah salah satu penggiat literasi pedalaman juga pendiri dan pengelola TBM Tunas Rumbia (Bandaraya). TBM pertama dan satu-satunya di Kabupaten Kepulauan Meranti. juga tergabung di Komunitas Daun Ranting. Antologi puisinya juga pernah tergabung dalam Puisi Penyair Nusantara 6,5 Luka Pidie Jaya: 2016, Sajak Hujanku: 2016, Antologi Sajak-sajak Anak Negeri: Sajak Angin: 2017, Kumpulan Puisi 36 Penyair Nusantara: Kaulah Pahlawanku: 2017, dan Antologi Kita Hanya Sepasang Bocah: 2017 . Buku Kumpulan Puisi tunggalnya akan segera terbit dengan judul Abun-abun yang Abrak. Suka menulis cerpen, puisi, artikel, opini, dan esai. Karya dan tulisannya tersebar di media nasional dan lokal serta media online seperti Riau Pos, Media Haluan, Harian Singgalang, Rakyat Sumbar, Palembang Ekspres dan lainnya. sekarang tinggal di Kota Pekanbaru, Riau.
No comments