SENJA DI BOJONGSOANG_Puisi Puisi D.Hardi (Semarak Sastra Malam Minggu )
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 18
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam.
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU.
SENJA DI BOJONGSOANG
lihatlah jalan ini mengular!
punggung trotoar membungkuk tergilas wajah
para tamu yang merunut panjangnya karpet merah
pada senja yang kalah
waktu pula mengular
enigma arahnya pulang
atau pergi
yang bakal terkenang sunyi
seperti sembilu dedaun kiara penuh daki
di cikoneng sudah awan hitam bergelayut risau
menumpahkan bercak demi bercak
di kandungan ari-ari citarum
warisan kenangan yang terbeli
sampai tahta almarhum
tiada kikis dada berbatu
tak lekang anyir menabur umbu
jangan sesekali tertabur biji di rahim bumi
bercagak berisi mantra-mantra kepemilikan
sampai tahta almarhum
menyintas sisa hawa kemurnian
lihatlah!
sekawanan burung membelah tambak, pematang, sembunyi
di batangan padi
sampai ufuk melebur di antara keringat
kaum bercaping yang sabar menjala
anganan
kulit jingga menua sisakan jejak
dentang lonceng kepergian
dari fana piatu
segenggam harta hari ini
bawa pulang hangatnya di sakumu untuk kita baca
nanti kapan ia meluntur ke barat,
menjemput gelap
April,2018
kau adalah avontur
pelayan tidur yang tak layak
disebut tidur
untuk sekadar bermimpi yang bukan
sebuah impian
menjadi penghuni gelap relung rahasia
bagi ribuan malam penggenap usia
senja yang tak seperti senja kebanyakan
hasil reka pengarang
yang ekstase di dua kutub warna
tersembunyi di sudut-sudut partisi
impuls kepala
dimana akal dan ingatan,
yang terlalu gelap disebut sebagai kenangan,
menguar remang cahaya
penghantar imaji kerumitan
hidup yang tak selayaknya hidup
kebanyakan manusia-manusia masa depan
kamar digital planet tua
bagi segala tubuh yang bercinta
meski tak sepenuhnya berasal dari cinta
kitab belukar para penyintas ilmu
dari kabut buta
agar epos tumbal laknat jadi adab
laksana rinai abu api menuai benih
kelahiran kembali
memutar cincin waktu
lamunmu: kapan bermula akhir waktu?
Cinunuk, 3
Mei 2018
BERKEMBANG BIAK
pada
kerontang yang anginnya terpapar dari epos nyala
kelambai
dan
sulur akar megap merawat diksi-diksi keramat di keriput
tanah
leluhur
mendepai
kelir bianglala yang tak lagi tabah melipur jendela mata
berbilur
waktunya
kita mengolah jelaga menjadi tandur pada hitungan detak
berjalan
mundur
karena
guntingan suara hanya berlaku saat kita berpesta tuak,
menjadi
gema dalam kotak-kotak jelata
dikliping
dalam warta berita manifesto rencana-rencana,
arena
tempur wacana,
tempat
orang kota berwisata
karena
buah laku dan cara berkembang biak bakal disadur permainan kitab
undang-undang
hukum cendana
jadi
marilah jemari kita meneroka
mengukur
bumi
menghitung
sejumlah musim yang belum
sempat
menginap
menyimak
gerimis paling hening saat dinginnya meracau
di
danau khovsgol
kata-kata
menjadi kita yang membungkus kado kecil
padang
langit biru
bersabda
lugu di bukit mongolia
dari
jebatnya malam nanar gemintang bersahutan
saling
melempar suluh
menjulai
tudung bagi jiwa-jiwa kelana
yang
hendak berteduh
menapaki
pusara gobi
mengingat
nabi
mata
kaki yang mengasuh sejak dini
menjadi
mata kompas yang menusuk kabut tebal di relung
paling
sendiri
pijaran
api yang kau telan
pada
gelapnya liang hanya akan menjadi tukak
dan
kibasan beliung yang kau hela akan mengisi larung
kecuali
padam pada manisnya madu
saat
kau embuni
dari
sinilah sajak paling tandus sekalipun akan menyesap
jembaran
humus sisa-sisa digdaya trah penakluk baghdad yang menghunus
menggores
huruf-huruf kecil
tak
harus membusung kapital pada puncak titik
endapkan
bunyi paling sepi
dari
lelehan senja yang pernah ingin kau petik
Bojongsoang,
2018
NOMOR RACHMANINOFF
padanya rimbunan
tuts
menggelepar takzim
meninggalkan
oktober yang lamat dan lirih
di kelahiran
sejak liturgi
meleleh
pada beku
diantara sunyi
yang membius
genta abadi:
sungai volkhov
repertoar terakhir
menjelma harmoni
bersama kenangan
rahasia
yang meluber basah
di stasiun kereta
bawah tanah
detaknya rambat
menyusupi
ruam dinding suci
bagai detik
pelarian trah borjuis
yang berdarah
ada yang takluk
pada popor simfoni
ada ode yang
meluntur dalam noktah
2017
DI SANA
kau ada di keagungan langit
biru dan jauh
semburat sunyi
aku meratap debur runtuhan
gerimis
rintik merantuk
di beranda alpa
kau ada di kepingan senja
rancak terburu-buru
memuntal romansa
aku teroka
larik yang tragis
remuk terancam
kenangan di lubuk
kau ada di belakang waktu
menyintas aku
jejak mengabu
Bojongsoang,
2018
TUAH LIDAH
di sebuah senja
yang kuning
kau menyesap
secangkir filosofi
yang mengering:
kesengsaraan
bukanlah
ihwal
diri tak dicintai
tapi
keengganan hati
untuk
mencintai
mungkin para
penyair itu
sejenis filsuf
yang merana
pandai menggubah
riwayat senja
bagi serigala yang
menggila
“secarik kertas
dan goresan luka
akan
menyelamatkanmu
dari nostalgia
kota yang gawat,”
katamu berpledoi
keramat
menabuh hegemoni
jadi revolusi
merupa desir
landai jadi beliung
melipur toksin
jadi benalu
menjentik keruh
bagai angkara
“ada banyak
kebijakan
yang berpinak dari
julai raga
jika jerih dadamu
mampu membacanya,”
beringsut telunjuk
sirap merapalkan
tapi kau dan aku
mengerti
betapa domba-domba
tak sudi lagi
bercukur dan meratapi bulunya
untuk upeti para
serigala
karena lewat
parade bala syair,
domba-domba adalah
seekor singa,
letup luka jadi
sentosa
BILA SANG PENYAIR ADALAH PRESIDEN
adalah ia perintis rasa,
bahasa dan kata sekadar maklumat dan regulasi
yang menuntun pembaca ke muara arti
selaiknya kanun kredo syair
pengisi larik demi larik
epigram, antologi, dan kelahiran pagi yang meraih
kemenangan dini gulita
ia adalah endemis kecap pemberi mantra
nagari muda sehabis kerontang penuh kalut
bisikan siput, hama, dan ilalang
yang kecut mengeang di balik oyotan padi,
pemohon gerimis dan bianglala
di langit biru,
menandur senja untuk kelak kita tuliskan
prosa bagi anak-anak pecinta
adalah ia panglima kesepian,
tertumpas huruf-huruf kapital
yang hidup mati pada banal
protokol resmi malam-malam
pemuntal rihat makar hati yang darurat
simak!
pujian suci mengalun derai titik-titik langit
menirukan alur kepedihan roman
di sana, rakyat bersorak mengibarkan
sang sajak bagai tragedi perayaan
ihwal kekasih yang genap kehilangan
seutuhnya kenangan
mengadu ingar di dinding ratapan
lembaran demi lembaran mata bab
membaca takdir
kurang lebih akan pupusnya seorang martir,
yang terkubur sepi dari peperangan
tanpa tanda baca di kurusetra
tata aksara
Cinunuk, 3
Mei 2018
DIA YANG BERTAMU PAGI PAGI SEKALI
dia yang bertamu dan memesan kidung
: sepotong langit bandung yang cerah
dan kehangatannya
di secangkir nostalgia
di punggung meja tergolek manuskrip
berita-berita dini
dan ampas kemarin
seperti kisah tua
lekang penuhi semua lini
pertemuan-pertemuan rencana
mengulang kekosongan kata
relung dan sapa hening
sesap dingin mata embun
yang mengering
sebuah masa berlari-lari kecil
memagut embusan biru
di bibir hortensia
bagai moksa
kau dan aku
melahirkan jeda
kapan-kapan kutraktir kamu lagi
di kafe biasa
bila waktu memesan kita
kelak sebagai menu
senja
Bojongsoang,
Mei 2018
Tentang Penulis
D. Hardi, lelaki kelahiran bandung ini menulis puisi, cerpen, dan esai, alumnus HI Universitas Pasundan, menetap di Bandung.
Tulisan tersebar di: Nyonthong.com, Kompasiana, Qureta, Geotimes, Litera.co.id, dan Poetry Prairie.
No comments