Opini Muhammad Sarjuli_KRITIKUS INSAF
Dari Redaksi:
Kirim Puisi, Esai, Cerpen, Cersing (Cerita Singkat) untuk kami Siarkan setiap hari ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com beri subjek_LEMBAR KARYA HARIAN MAJALAH SIMALABA
KRITIKUS INSAF
Oleh: Muhammad Sarjuli
Dalam banyak hal, kerja penulis (pembimbing) itu mudah. Risiko kami kecil, namun kami menikmati posisi mereka yang menyerahkan diri dan karya mereka pada penilaian kami. Kami hidup dengan menulis ulasan negatif, sesuatu yang menyenangkan untuk ditulis dan dibaca.
Namun, kebenaran pahit yang dihadapi oleh seorang pembimbing adalah, pada kenyataannya, sebuah karya sampah barangkali lebih bernilai ketimbang ulasan kami atasnya. Namun ada kalanya pembimbing benar-benar mengambil risiko, yaitu ketika ia menemukan dan membela sesuatu yang baru. Dunia seringkali tak ramah pada bakat baru, pada karya baru. Karena itu orang baru membutuhkan teman.
Kemarin malam aku merasakan sesuatu yang baru, membaca karya yang luar biasa dari sumber yang sungguh tak pernah terduga. Mengatakan bahwa puisi dan penulisnya telah menantang prakonsepsiku tentang menulis yang baik adalah pernyataan yang sangat tidak memadai. Keduanya mengguncangku hingga ke jantungku.
Di masa lalu, bukan rahasia bahwa aku meremehkan moto ayat-ayat sastra: “Tidak ada karya yang tak bagus.” Namun baru sekarang aku sungguh-sungguh menyadari apa yang ia maksud: Tidak semua orang bisa menjadi seniman hebat, namun seniman hebat bisa datang dari mana saja.
Sulit membayangkan sumber yang lebih rendah hati ketimbang si jenius yang sekarang menjadi penulis di tepi kota. Ia, dalam opini kritik ini, tiada lain adalah penulis terbaik di sini. Dan aku ingin segera kembali membaca karyanya dengan rasa yang lebih menghayati.
Pengalaman ini adalah salah satu pecutku untuk menulis setelah sekian lama memelototi ratusan tulisan
Terus terang aku sangat menikmati komentar-komentarku. Sebagai seorang pembimbing juga kritikus, aku ditampilkan dengan sangat baik dan demikian menjengkelkan. Bahkan aku kemudian berpikir dan hampir setengah percaya bahwa kritikus yang baik itu memang selalu menjengkelkan, terutama bagi pengarang-pengarang cerpen dan sastrawan pemula seperti mereka.
Mestinya seorang seniman hebat, tak pernah merasa kerdil oleh kritik. Meski akhirnya ia meninggal setelah kritik tajam padanya dimuat di surat kabar.
Menulis, menurutku, memang tak jauh beda dengan memasak. Diperlukan semacam keberanian dan kepengrajinan yang gila-gilaan untuk bereksperimen dan merambah berbagai kemungkinan yang paling mustahil.
Begini saja, bahwa seorang pengecut takkan pernah menjadi penulis hebat. Untuk menjadi penulis hebat anda harus imajinatif dan berani mencoba sesuatu yang baru. Dan tak seorangpun boleh membatasi anda, sebab batasan anda adalah jiwa anda sendiri.
"Aku kemudian percaya, paling tidak berlaku untuk diriku sendiri, seorang pengecut takkan pernah menjadi penulis hebat. Yang menjengkelkan adalah masalah selalu muncul belakangan. Aku percaya bahwa tak seorangpun boleh membatasi kita dalam menulis, tapi standar tinggi yang telanjur kupercaya ternyata menjadi batas bagiku. Seperti terperangkap di labirinku sendiri."
Seorang seniman harus selalu memiliki perspektif yang jelas, segar, dan sedap. Tanpa itu barangkali ia akan jatuh pada pengulangan-pengulangan yang akhirnya menjadi demikian membosankan.
Setelah menulis berulang ulang kemampuan menulis ternyata tak beranjak terlalu jauh. Masih juga seperti dulu, sering macet di halaman pertama, atau mungkin lebih parah, hanya judul dan satu-dua paragraf yang tak selesai.
Namun mari kita berterima kasih pada seorang sahabat, sebab Ia benar belaka ketika mengatakan bahwa kerja kritikus itu mudah. Yang diperlukan hanya sedikit baca, sedikit tahu, dan sedikit angkuh.
Bagaimana dengan keinginan kalian menjadi seorang pengarang, sastrawan atau sesuatu yang akan dikritik? Di situasi seperti inilah anda akan tau peran kritikus (pembimbing) juga sebagai sahabat yang (sebenarnya) memotivasi anda untuk lebih maju. Di dunia yang saya geluti, banyak sekali regenerasi sastrawan sastrawan, hanya saja mental dari embrio embrio ini yang perlu dibenahi.
Setelah membaca juga memahami arti dari kata "membunuh" saya merasa kotor, sudah ratusan regenerasi yang saya "bunuh" dengan kritik yang menyenangkan hati saya. Tanpa disadari, saya adalah salah satu orang yang keji.
Lalu, saya bersama sahabat membangun sebuah "rumah" yang pada akhirnya saya pungut "mayat mayat" itu dan kami hidupkan kembali.
"Seorang pembimbing tidak seharusnya mempunyai jiwa kerdil, dan, mestinya perkatannya harus yang renyah."
Seperti pepatah "Batu pun empuk, jangankan hati manusia." (Tutur kata yang lemah lembut dapat menjadi kunci pembuka hati manusia sehingga hendaknya kita bertutur kata yang lemah lembut).
Tentang Penulis:
Muhammad Sarjuli tinggal di Lampung Barat, Kec. Airhitam, Desa Sinarjaya, Dusun Simpangtiga. Menyukai puisi sejak kecil dan tergabung dalam KOMUNITAS SASTRA SIMALABA sebagai pengurus. Karya-karyanya telah dipublikasikan diberbagia media di antaranya wartalambar.com saibumi.com lampungmediaonline.com Lintasgayo.co (aceh) karyanya dibukukan bersama sastrawan Jawa Timur berjudul BULAN SEMBILAN (2016), serta tiga karyanya lolos dalam event kopi penyair dunia yang diberi judul Kumpulan Puisi Kopi 1550 MDPL (Tha Gayo Institute, Ruang Sastra (RS) dan Aceh Culture Center (ACC)(2016), yang terbaru sejumlah karyanya dibukukan dalam antologi berjudul EMBUN DI LERENG PESAGI (2017), MAJALAH SIMALABA (SIMALABA AWARD 2017).(2017)
Dapat dihubungi di : Sarjuli46@gmail.com dan +62856-6874-6199, [SY]
No comments