PUISI PUISI RIDUAN HAMSYAH
Dari Redaksi:
Kirim Puisi, Esai, Cerpen, Cersing (Cerita Singkat) untuk kami Siarkan setiap hari ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com beri subjek_LEMBAR KARYA HARIAN MAJALAH SIMALABA
PUISI PUISI RIDUAN HAMSYAH
MENJADI SUNGAI
Saya merasa tenang
setelah melepaskan kalimat
itu kepadamu, Kam.
seperti mata pedang
berkilat
menancap kuat kuat.
Saya memang telah
menjadi
seperti ini. Sedingin air
tetapi hati hati
dengan diamku
sebab ia bisa saja berbalik arah
menghujam
dengan begitu tajam.
*****
Rahim kecemasan
telah
melahirkan kita, satu darah
satu jiwa
sama sama berbaring pada
satu titik bertumpu
setelah lelah saling mengejar
saling pula melepaskan.
Cuma (mungkin) dirimu
belum sepenuhnya dapat
menerima
prinsif yang selalu aneh
berenang di kedalaman lautku.
Maka bila engkau jenuh
membungkus
teka teki yang sebenarnya
sudah kujawab ini, istirahatlah
biarkan aku tergenang
menjadi sungai, berjalan perlahan
ke muara.
Banten, 23 Juli 2017
KADO MANIS
Selesai kukirim
maka
kado manis buatmu itu
kulupakan, sebab aku tak ingin
menyimpan beban
apalagi mimpi buruk
yang telah menguasai kita
sejak lama.
Sesekali mengintib
nasib terselib
mungkin saja abai
dari penglihatan orang orang.
Tetapi sejak berubah
jadi ringkas
aku tuntas menganggap ini
permainan kalah menang
siasat mencari bentuk
dari naif hingga terkutuk
sebab
aku tak ingin lagi rumit menyampaikan
perasaan cinta ini kepadamu
(sementara) engkau tak begitu menunggu.
*****
Maka pada tahun
kesekian
langit menjelma pelangi
orang orang
mengangkat wajah ke atas
dengan pandangan menghujam,
tidakkah zaman sudah
terbelah
jadi banyak kepingan
mengajari kita bertahan
lebih lama
dalam menyekutukan hati
dan hasrat terbang
mengikuti jejak burung-
burung bersayap putih
yang menguas udara dengan
warna abu abu.
Dan, pelangi itu
melebur
dalam darah kita. Jadi bayangan
kekasih juga selaksa kekata.
*****
Selesai kurapikan
hari ini
maka kado semanis cinta itu
kukirimkan juga padamu
berulang ulang, sebelum
kulupakan
hingga engkau
gusar menampungnya
sebab kehabisan kata kata.
Serang, 2 Juli 2017
MENUJU HULU
Jika aku pulang
maka
apa yang akan kau suguhkan
padaku?
Selain talam air
dan sepasang cangkir
di atasnya,
sementara kopi
yang kau seduh itu
batangnya teraniaya (di kampung kita)
: daun yang menguning, tanah
yang mengering
ditusuk pula oleh ranting.
Hingga kini aku
belum jadi apa apa
seperti yang pernah kita
rencanakan
selain bayangan ketakutan
yang mulai ngajak berdamai
tetapi
cahya ini membakarku
hingga kuyup
hingga tak begitu banyak kata kata.
Jika aku datang
masihkah dirimu akan menyoal
kesilaman
yang batal kita tuliskan nama nama
pada nisannya,
jalanan meliuk kaku
menuju hulu
kabut
di celah bukit
juga angin yang menyapu
kenangan jadi dingin di tempatnya
kerinduan pada pintu
tempatmu
mengatup diri di baliknya
dan menyimpan
banyak hal yang belum sepenuhnya
kita lupakan.
*****
Ada rasa ngilu
bersemayam di dada ini,
rasa kehilangan yang besar
dan gambar luka
belum begitu mengering
Tetapi silsilah kita
berangkat
dari sebuah tebing
dari sebuah ingatan
dan kisah kisah purba
sementara
jeratan ini jadi belenggu
membatasi nafasku
memukul jantung pelan-
pelan,
dan begitu pelan
*****
Sebenarnya, kita sama sama
merindukan
sebuah pertemuan
yang sederhana saja
mengelilingi meja
berbuat seakan antara kita
tak pernah terjadi apa apa.
Berawal dari itu,
kita mulai bisa saling
menjelajah diri
masing masing. Setiap inchinya
disesaki beribu tanda tanya.
Mengapa kita di sini?
Dan belum saling melupakan
sementara
aku pernah ditelan
tiang-tiang pelabuhan
engkau
memandang dari kejauhan
dengan raut yang belum sempat
aku terjemahkan-
maka jika aku pulang
engkau akan menyuguhkan apa?
Selain hikayat
sebuah talang
yang ditinggalkan sejumlah orang
mencari catatan di tempat lain.
Ada angin dahulu bertiup
membisikan kemelaratan pada kita
udara dingin di siang hari
dan kabut, kita begitu memahaminya.
Hidup sulit
dari zaman ke zaman
dari mimpi ke mimpi
selanjutnya
kusiasati dengan pergi
meninggalkanmu
agar lebih nikmat meresapi kehilangan.
Banten, 29 Juni 2017
KETEMU WANA
kita, tentu bukan
sedang mimpi
bila percakapan kembali
kau sudutkan, pelan pelan-
sedangkan aku
dengan rasa bersalah
yang hinggap.
Wana, jangan sebut aku
hilang berjejak
sementara kita
menginginkan itu, berjalan
belasan tahun belakangan.
Ketika tubuh
mesti ditukar dengan
bayangan laut di pelabuhan
sebab dengan
mengikhlaskan segala yang luput
aku menemukan
sudut-sudut hidup, menemukanmu
di tempat-tempat lain jagad ini
di kota-kota yang sesak
di jalan ke bandara
di rumah kontrakan
bahkan di punggung tol yang
mengharamkan jalanan menikung.
*****
Dan, maafkan, kita tak
dapat berkata
lebih banyak, tentang hal
yang disebut prinsif,
ada aroma tubuh lain tergenang
di liuk matamu itu, tentunya
berkelindan memagari tubuh kita.
Semoga ruh-ruh ini
diampuni
atas kesalahan memilih
kata-kata itu, dulu
di sebuah rumah panggung
kita benar benar linglung.
Bandar Lampung-Banten, 2017
ANAK LALAT
Kotor benar
anak lalat, dari sayap hingga
sekujur tubuhnya,
kami temukan waktu
pulang kerja
di samping trotoar, dalam bak sampah
menunggu truk busuk
dinas kebersihan sebuah kota
mengangkutnya.
*****
Ia bergumam
menirukan
tarian bangkai
metamorfosis belatung
bersayap dan bisa
terbang
meski tak jauh keliling lingkaran bau
merupa hantu
belenggu hidup adalah
mengais tulang-tulang basi.
*****
Ia meloncat
ke jagat pucat
memaki tak karuan
hingga
berderai cibiran dunia
berderai pula
rasa jijik melihatnya-
berenang ke genangan
kotoran. Sungguh, aib benar,
si anak lalat yang
baru berangkat dari belatung
kemudian
melahirkan juga banyak belatung.
Baros, Serang-Banten, 12 April 2017
BUNYI KAMPRET
Pernahkah engkau
mendengar
bunyi kampret?
Pergilah ke gunung, dekat
pohon berbuah lebat
yang bila muda berasa pahit
setelah matang cuma hambar.
*****
Kampret menerkam
pucuk malam
meraba raba dahan
air liurnya bercucuran-
meramal muasal
madu
menyiapkan taring lugu
suaranya berdecik
pura pura merdu, tetapi
semua binatang malam telah
mengenalinya.
*****
Ia, pura-
pura santun. Seramah embun
tetapi bila sedikit saja tergores
perasaannya bereaksi
jadi api
berceloteh pada dahan sambil
membuang kotoran
menebarkan apek bau sayapnya, kuman kuman merayap
di sekujur mulut, jadi sungut, tetapi ia sendiri tersudut.
Hai, dasar dirimu, kampret
menyesal
aku mendengar suaramu
apalagi mengenal tingkah tengilmu.
Baros, Serang-Banten, 12 April 2017
KETIKA SEORANG GURU
MARAH PADA MURIDNYA
Ku-kutuk, engkau
jadi tinja
jadi riwayat keringat sia sia
seperti ibu
menyapih bayinya
membiarkannya
kelaparan, lemas, dan mati.
Sebab bila mati, engkau
kukutuk lagi
jadi kotoran cacing
agar peta jalan ke syurga itu
kelimpungan
engkau dikepung selaksa tikungan.
*****
Aku juga pernah
merasakan jadi murid
yang disakiti guruku. Dulu.
Dan, telah pula
mengutuknya jadi tambun
jadi beruban, menua di kejauhan
*****
tetapi sebenarnya aku
bukan juru kutuk
mengutuk ke atas
mengutuk ke bawah
cuma jagad yang
merasa tersakiti saja
selebihnya
menjawab dengan diam
meski retak di kedalaman.
Kemudian setelah itu
kukutuk engkau, jadi manusia lagi
meski tak sesempurna dulu
sebab telah hilang seleraku padamu.
Baros, Serang-Banten, 12 April 2017
Tentang Penulis:
RIDUAN HAMSYAH, Lahir di Lampung 10 Oktober 1981. Alumni SMAN Sumberjaya-Lambar tahun 2000, menyelesaikan pendidikan di Poltekkes Lampung 2003 kemudian bekreja sebagai PNS sejak tahun 2005 hingga kini di Banten. Puisi puisi Riduan Hamsyah telah publikasikan di sejumlah media cetak dan online serta tergabung dalam puluhan buku antologi bersama dan tunggal, terbaru ada dalam buku MEMBACA KARTINI (Q Publisher dan Komunitas Jobawi 2016); CIMANUK, KINI BURUNG BURUNG TELAH PERGI (Sail Cimanuk 2016, Dewan Kesenian Indramayu); NEGERI AWAN (Dari Negeri Poci 7, 2017); LEBIH BAIK PUTIH TULANG DARI PADA PUTIH MATA (Pestival Puisi Bangakalan 2, 2017); SEPASANG PUSI (Antologi Pribadi, Perahu Litera 2016); EMBUN PAGI LERENG PESAGI DAN SEBUAH PANDUAN MENULIS PUISI (Perahu Litera 2017); IJE JELA (Tifa Nusantara 3 2016);dll.
No comments