Edisi Sabtu, 23 September 2017_ PUISI PUISI THATY BALASTENG (Ternate, Maluku Utara)
Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE MAJALAH SIMALABA
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)
(ilustrasi, pixabay)
PUISI PUISI THATY BALASTENG
AKU DATANG KEPADAMU
Tuhan, air mata telah jatuh membasahi lantai
hati ini hancur karena ego
aku lelah mengemasi hidup dengan derita yang tak elok
aku letih meringkas kesalahan yang tak terelakan
sungguh aku lelah Tuhan.
Aku datang kepada-Mu
jauhkan aku dari jalan yang sulit kutemukan diri-Mu.
angkatlah tanganku untuk selalu memanjakan kebaikan di atas durasi waktu
dan perlihatlah aku tentang doa doa yang naik ke langit.
Tuhan--
aku ingin berhenti bicara tentang gelisah dan ketakukan ketika aku sakit
sebab aku tidak ingin lagi mencintai kesalahan
yang setiap mata melirik waktu, ia memekik
memagari cahaya, hingga gelap menusuk qalbu.
Duhai Tuhanku-
izinkan aku keluar dari lubang penuh durjana
dan dari panasnya api dan gelapnya bumi
agar kulitku berganti suci
memutih bagai sutra yang ditenun
dengan Asma-Mu.
Ternate, 2017.
GADIS PERINDU IBU
Ibu, apa kabar hari ini?
saat langit sedang mendung, gelisah pindah ke hatiku
saat hujan mulai tumpah, letih berpaling ke jiwaku
bahkan ketika terik membakar, api menyala di tubuhku
sebab ikhlasmu, pohon keluh tak pernah kutemui di tiap cuaca.
Ibu, berkali-kali rindu menghantam sebab lama kita tak bersua
terasa tanah rantau ini gersang
ketika orang-orang tak lagi meghiraukanku
kakiku ingin bergerliya ke Halmahera
jemari ingin memegang pundakmu
sebab di dekatmu adalah ketenangan.
Ibu, kueja aksara di sebuah kamar kecil
bersama air mengalir di tengah rinai hujan
dingin sontak menyusuri tubuh menembus tulang
aku meringkik
sebab mengingatmu menghangatkan suasana.
Duh Ibu
seperti biasa, engkau tak dapat kubandingkan
maka setiap sujudku
biar langit selalu mendengarkan doaku.
Ternate, 2017.
TERASING
Ketika kau terasing
aku sendiri
pada burung, aku sematkan suara agar ia menerbangkan jeritan piluku
aku hanya menunduk ketika kau berpaling dari mata ini
di sana, kulihat engkau sibuk mengemasi percakapan
dengan beberapa anak kata yang sebenarnya bukan kataku.
Seperti apa aku mengenalmu?
seperti mengikuti jejak-jejak di kesunyian malam
menelisik huruf, menggantungkan mata di gelap bisu
seperti apa menjelma dirimu?
seperti lewati laut dengan gemercik ombaknya
duhai sungguh mencekang.
Berakrab denganmu tak semuda mengenal mawar di taman bunga
ketika mendangar namamu, aku terasing dari hadapanmu
maka yang kulakukan
hanyalah, menjejaki langkahmu
menyusul detik landasan cakrwalamu
dan menenum waktu ditinggal pergi.
Dari keterasingan, kau memanggil ingin mendekat
sebab ada kala, tak kubiarkan jarak memisah di anatar bola mata
biarlah aku menjadi asing saat ini
karena nanti aku akan menjelma dirimu dari jalan ini.
Ternate, 2017.
SELAMAT PAGI TOGEME
Dan bangunku mengantarkan pada syukur yang dalam
langit yang biru memberi nikmat akan desa yang permai ini
matahari yang bangun tak mengelak, setia menjaga dan mencitai alam.
Aku sadari bahwa tiada yang aku lakukan di sini melainkan apa yg menjadi kesanggupan
maka pagi ini, aku siap keluar
aku siap belajar menjadi orang Togeme.
aku siap menjadi teman yang baik pada siapa yang dekat denganku.
pagi ini,
sebelum langkah menuju pintu kamar
sebelum jemari melenggokkan jalan
sekedar deretkan aksara
agar kelak, senyumku terpampang sekembali bacaan ini meliang telinga
lalu kenangan hadir menyerupai nyata.
Selamat pagi Togeme
terasa, aku menjadimu.
Togeme, 2017.
Catatan:
Togeme adalah sebuah kampung yang berada di kecamatan Oba Tengah , Kabupatan Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utra.
SEPERTI SEORANG LELAKI YANG LERAI
Di sebuah dermaga dan ombak yang memukul tepian
seorang perempuan duduk menjuntai kakinya
menyaksikan kepergianmu
seperti menunggu kedatanganmu.
Di kala ia sedang bermain ombak
menyaksikan burung bertebangan di udara
dan pepohonan melambaikan dau-daun
hanya itu yang ia punya.
Entah berapa lama kepulanganmu
menghitung detik
menghitung kelender
dan menyaksikan setiap perahu berlabu
secepat itukah, sejauh itukah?
kepergianmu melahirkan kesedihan, menguji kesetiaan.
Namun ia masih duduk dengan wajah pasi
masih menuliskan kalimat kegelisahan
kemudian ia hanyut bersama perahu kertas
ke arah mana akan dibawa kata itu
harapannya adalah kepadamu lelaki di seberang ingatan.
Di sini, ia habiskan waktu dalam kesendirian
sehingga ia menyebutmu lelaki yang lerai.
Ternate, 2017.
Tentang Penulis:
Thaty Balasteng, lahir di Halmahera 03-05-1997. Ia adalah mahasiswa Unkhair Ternate dan tergabung di salah satu organisasi Gerakan Mahasiswa Pemerhati sosial, (Gamhas-MU), Lingkar Pena Institut, Gopena Unkhair dan Komunitas Penulis Tepi.
No comments