Edisi Sabtu, 23 September 2017_ Cerpen S Kamaludin (Lampung Barat)_PERTEMUAN TERAKHIR
Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE MAJALAH SIMALABA
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)
(ilustrasi: pixabay)
Cerpen S Kamaludin
PERTEMUAN TERAKHIR
Merah merunai senja sore itu, penghias alam penjemput malam. Itulah sebagian kecil karunia penghulu alam, sepasir nikmat yang jarang disyukuri insani sebab terlalu sibuk mengejar duniawi. Menyinari bukit-bukit gersang penuh dengan alang-alang, sementara tanah tandus kering lekang karena kemarau panjang. Pada jalan berdebu tampak sosok tampan memindai kakinya yang lincah agar tak terjebak kelobang jalan yang retak. Jaka, nama penyair yang sudah tak asing untuk bentang Asia dan Eropa, kecuali daerah Bogor.
Kedai Saras, tak pernah lengang pengunjung sebab pelayanan sangat memanjakan pelanggan yang datang. Saras, sesosok bunga manis terawat rapi di taman istana para ratu. Sebab kemanisannya yang bagai kopi kurang gula itu pula, Awang dan Mozane enggan tuk beranjak dari tempat duduknya.
Nikmat sekali, menyeruput secangkir kopi di pojok ruang dalam kesendirian. Rinai mata teduh menghiasi wajah tampan yang sedikit tersembunyi di balik rambut gondrong hitam lebat. Tatapannya menikam jauh kedalam cangkir kopi yang semakin mengendap, mencari sekelebat bayang yang menyapanya seraya membenam di dasar cangkir itu sendiri. Tak sempat ia kabarkan, kepahitan ampas kopi nan dalam menyekat kerinduan tak bertepi, lalu menghisap rokok yang dari tadi terapit dikedua jarinya. Kemudian dihembuskan ke dalam cangkir itu kembali, asap rokok pun menggulung, seirama bentuk cangkir berpadu dengan sisa kopi yang tinggal seperempat, berharap seulas wajah yang tadi muncul kembali. Jaka sama sekali tak berminat menanggapi sajak sajak indah yang termuntahkan dari lidah dara-dara kesepian yang menggodanya sejak ia masuk ke kedai Saras dan duduk di pojok ruang itu. Jaka lebih asik menikmati gulugan kelam yang terpampang di mading kalbunya.
"Hai manis, boleh kenalan?" Suara berat Mozane menggoda pengantar hidangan.
"Karyawan baru, ya?" timpal Awang sambil mengedipkan mata di balik kaca mata hitamnya.
Sang jelita pun tersenyum kecut "dasar mata keranjang! "minum segelas dari siang sampai malam," gerutunya.
"Waaaaa, kok gak bilang-bilang Wang?" Mata Mozane memandang wajah Awang sambil tertawa.
"Apanya?" Awang balik bertanya.
"Matamu benar sekeranjang Wang?
Hahahaha," mereka berdua tertawa senang, mendapat gerutuan karyawan baru itu.
Sementara Saras cuma geleng-geleng kepala melihat ulah kedua pemuda langganannya itu. Ya, harus bagaimana lagi sebagai pemilik kedai, Saras harus siap dengan segala risiko.
Ada kalanya meredam kepanasan hati untuk belajar mengerti tentang sejuta bentuk dan karakter orang-orang yang datang, bak seekor kunang-kunang yang menyelinap di sela dedaunan berayun-ayun tertiup angin, lalu tanpa di nyana tiba-tiba kunang-kunang yang lain membawa temannya. Mereka sama bercahaya walau entah untuk apa, yang jelas sebatang pohon telah menyala hijau di malam itu bagai kerlip ruang diskotik.
"Berapa mbak?"
"lima belas ribu saja," jawab Saras, sibuk mencatat beberapa nota.
"ini ..." menyodorkan uang lembaran lima puluh ribu.
Saras mengambil uang tersebut, tangan lincahnya menyelinap ke laci meja mencari uang kembalian yang berhamburan seperti anak-anak piatu di tinggal mati ibunya, lalu melanglang buana tak tentu arah kehidupan. Sedang ayah terlalu sibuk mencari bunga-bunga yang bertebaran di sepanjang jalan kenangan, menangisi sang penyejuk hati. Hilang tenggelam di lembah kahyangan, menemui sang pencipta untuk damai di dalam peluk-NYA.
"Jaka ....!?, Benarkah kamu Jaka?" Ada gembira menyeruak relung dada, sebab pria idaman di masa lampau kini hadir di depan mata. Jaka adalah temannya masa duduk di bangku Aliah, kumbang tanjung impian setaman bunga. Jangan menanti ia hinggap di putik sari. Mendengar denging sayapnya saja bunga-bunga telah bermimpi menapakkan kaki di awan, keindahan yang sangat sulit untuk terkikis oleh waktu. Tetapi bayak pula yang diam-diam terluka, sebab sikumbang tanjung menitipkan cintanya pada setangkai kamboja, perimadona sekolah yang sangat ternama itu, walau menuai luka tanpa sebab di penghujung semester. Saras, pindah ke kota pada saat sikumbang tanjung berlibur kerumah pamannya di Jakarta, dan mereka tak lagi pernah berjumpa. ternyata ini yang membuat Saras enggan membuka hatinya pada siapapun. Mungkin tidak ingin menambah rasa bersalah yang kesekian kalinya. Lalu memutuskan untuk menanti keajaiban, bahwa sikumbang tanjung akan kembali pulang.
"Maaf, mbk nanya siapa ya?" Jaka menjawab dingin, tak terasa ada rindu bersemi di taman hati, tetapi di pangkasnya cepat, sebab luka itu masih menganak darah mengaliri serambi jiwanya. Sakit sekali rasanya mengenang masa itu.
"Maafkan saya Jaka, bukan niat menyasap cinta kita, tetapi waktu itu kepindahanku benar-benar mendadak, jangan untuk menulis surat bertitip pesanpun aku sudah tak sempat." ucap Saras berharap Jaka mengerti.
"Maaf mbak, salah orang" timpal Jaka pelan, " mungkin Jaka yang mbak cari sudah membusuk di tong sampah" tambah Jaka nyaris tak terdengar.
Tetes air mengalir di meja kasir tertumpah kelantai, entah mungkin menuju sungai. Sementara kedai sudah tutup, tersisah dua kisah yang terkantup, mengenang riwayat usang, tentang asmara lama terbuang walau menyisahkan benih-benih kerinduan yang menggumpal di antara bebatuan dan luntur oleh waktu yang tak berhenti berotasi.
Sementara Saras bertualang jauh bersama imajinasi, menelusuri lembah keheningan lampau. Jaka, telah pergi dari kedainya tersebut.
Pekat, di malam itu telah menumbuhkan tunas luka rindu baru. Jaka, terus berjalan menerobos kegelapan, hatinya buncah oleh segenap rasa yang melebur menjadi satu. "Sudahlah, biar kubawa tenggelam jauh namamu Ras, yang usang biarlah usang ta'kan pernah kudaur ulang. Sebab aku adalah daun yang gugur di sebatang pohon membusuk dan menjadi tanah." Air linang menggenang tak terseka dalam kegelapan malam itu. Air mata kerinduan panjang dalam pencarian biduk cinta yang lama berkelana. Dayang keperihan hati jauh lebih tinggi dari pada cinta yang tersisa.
Tamu berdatangan di malam itu, dalam suatu pesta meria. Tampak pelaminan biru berhias pernak pernik mewah, janur kuning melengkung manja.
tampak ratu dan raja sehari, duduk anggun, terpancar binar kebahagian yang tak mungkin mampu diejawantakan tentang suatu kemungkinan.
Saras, yang akhirnya meretas kelajangan. Mempersembakan sisah cintanya yang lama terbengkalai kepada kekasih mayanya. Sebab penatian yang cukup panjang terhadap kumbang tanjung harus kandas sebelum berlabuh.
Sudah pukul sebelas lewat lima puluh sembilan menit dua puluh tiga sekon.
musik syahdu masih terus mengalun. Kedua mempelai sudah mulai nampak penat, kepalanya sesekali tanpa sengaja beradu. Terjaga, kemudian saling membalas senyum. Rasanya sudah tak sabar menyelesaikan pesta ini, sebab biduk tepian samudera telah lama menanti, untuk berdayung membelah pulau kemesraan dan merapat di dermaga titian.
"Selamat mbk, semoga bahagia, dan maaf terlambat". Satu suara mengagetkan Saras, "Ja, Jaka". Suara Saras tetahan, matanya menatap lekat pada wajah yang sudah jauh berubah, sebagai mana terakhir kali ia bertemu di kedai beberapa bulan lalu. Rambutnya yang gondrong tampak aut autan, mukanya pucat pasih, bibirnya membiru, tatapan matanya pun kosong. Saras melihat jiwa yang ketakutan jauh di dalam sana. "Jaka, kenapa tinggalkan aku waktu itu?" Tanya saras dalam sesal. Tetapi sekarang semua sudah berubah, sudah tak mungkin saras memeluk jaka seperti di Aliah dulu. Sekarang Saras sudah milik orang lain, entah mengapa masih ada kengiluan menyelinap di lubuk hati, setiap mendengar nama kumbang tanjung itu. Tanpa terasa air mata mengalir, tiada sengaja nama itu terucap dalam setiap rindu mengetuk relung kalbu. Mengapa kau tak memelukku di kedai itu Jaka, mengapa!? Hati Saras menjerit pilu.
"Sudahlah mbak, jangan ingat lagi tentang kita, biarlah masa lalu itu mengendap seperti secangkir kopi yang pernah ku nikmati di kedaimu itu. mengendap sebab terminum olehku sendiri. Yang pada akhirnya tersisah ampasnya, dan ampaspun hilang terhanyut oleh air cucian lalu raib tertelan bumi" ujar Jaka bergetar.
"Tapi Jaka mengapa kau seperti ini?" Tanya Saras di selah isaknya. Jaka diam tak menjawab. Jaka, sekilas menatap mempelai peria suaminya Saras yang sudah tertidur kelelehan.
Di atas panggung tembang kenangan mendayu-dayu. menghepnotis panitia yang tersisah. "MARIA" Siapa siapa yang tidak kenal lagu yang satu ini. Tak seorangpun peduli kedatangan Jaka di malam itu, atau mereka terlalu sibuk hingga tak mengetahuinya.
"Mbak" suara jaka memecah lamunan Saras yang entah kemana.
"Boleh, saya duduk di dekat mbak untuk yang terakhir kalinya?" tambah jaka. "Bo,boleh silahkan" jawab Saras terbata-bata. Jaka duduk di samping Saras.
Saras, inilah kau melihatku yang terakhir, selalipun dalam bayangan, setelah ini ta'kan pernah lagi. Sebab aku telah jauh pergi ke pulau yang lain. Menata hidupku yang baru di wilayah yang baru pula. Tak seorangpun di mayapada ini tahu tempat itu. Namun, cinta kita tetap akan kubawa bersama luka yang kau gariskan di hati ini. Selamat Saras, semoga kau bahagia bersama belahan jiwamu yang baru. Di pelayaranku, aku menunggumu sebagai Saras yang baru, dan aku menjelma kumbang tanjung yang baru pula. Pekik hati Jaka dalam relung lara.
"Ada yag kelakaan, teriak seorang warga, " siapa?" tanya warga yang lain. "entahlah sepertinya bukan orang sini" semua tamu yang tersisah berhaburan kejalan raya. Saras tak mau ketinggalan ikut berlari ke TKP, yang kebetulan tidak jauh dari gedung pesta. "Sepetinya udah meninggal" celoteh warga. "Ya korban tabrak lari ini" Saras tampak mengamti sosok kaku yang berlumuran darah. Peria mengenakan kemeja putih berlengan panjang serta celana jins warna biru tua. Rambutnya hitam lebat dan gondrong. Saras, sontak menoleh kepelaminan, dimana tadi jaka duduk di sampingnya. Jaka, tersenyum dalam bayangan yang kian samar. "Jakaa ..!!" saras terpekik.
TAMAT
Tentang penulis,
Suratman Kamaludin adalah seorang petani. Ia belajar menulis di sebuah komunitas sasatra dunia maya(KOMSAS SIMALABA) Yang diasuh crew majalah simalaba. Puisi puisinya kerap diikut sertakan dalam semarak puisi puisi majalah simalaba. Ini adalah cerpennya yang pertama.
No comments