HEADLINE

PUISI-PUISI VITO PRASETYO (Dimuat Majalah Simalaba Versi Cetak, 30 September 2017)




PUISI-PUISI VITO PRASETYO 


BAIT EMBUN

pagi ini, embun datang mengendap
rerumputan dingin tanpa baju
seakan menerangkan sebuah isyarat alam
tentang perjalanan mimpinya
angin pun bergesek di ruang hampa
meniriskan sisa-sisa malam
yang tak pernah tidur di sisi matahari
dan selalu memulai hidup baru di bagian bumi lain

sementara di kejauhan pandang
belalang menindih ilalang
melepaskan segala birahi
mungkin berkali-kali menyetubuhi rumput ilalang
hingga matahari tersipu malu
enggan untuk menampakkan sinarnya

saat embun berlalu
pergumulan alam pudar diterpa musim
berjuta barel beban masih menumpuk
geringsing waktu seakan ingin menjawabnya
pada tanah ditulisnya sajak
pada angin dibisikkannya bait
pada malam digantungkannya rembulan dan bintang gemintang
dan pada dermaga ditambatkannya biduk-biduk asmara

Malang – 2017


BAGAI LILIN

Kutelusuri jalan yang telah kuhapus
tak ada denyut napas
tapi jiwaku melekat disitu
berbicara lewat sajak

Saat negeri berkubang duka
kunyalakan lilin
bagai pijar aksara
hidupnya hanya seberkas sinar
jasadnya pun tak pernah bernapas

: jiwa pun terus mengembara seperti nyala lilin

(2017)


BATU KARANG

ombak menggulungku seratus tahun
saat aku mulai belajar berbicara
saat aku mulai belajar berdiri
dan saat aku mulai belajar mendengar
kini tubuhku tinggal puing-puing
karam dalam sajak ombak

(2017)


BAIT-BAIT KEMATIAN

Aku terjebak dalam bait kematian
sesungguhnya kucoba menguraikan makna
sekian waktu telah terbuang
keinginan agar hidup menerangkan arti
terbentang lewat tidur malam
tetapi pikiran tetap buntu
: dan syair kematian seakan terus melekat

Saat aku mulai menghitung
benang takdir tetap kusut
Satu sisi yang belum kumengerti
apakah aku sanggup menyulam
bait-bait itu dengan benang kusut
sementara dedaunan cinta
terus tumbuh menghembuskan aroma hidup

Mungkinkah Tuhan mau mendengar
dengan segala keputusan
ketika nalar lumpuh mengingat-Nya
saat jiwa begitu lelah
mengarungi semua ruang waktu
menghabiskan malam tanpa ujung
– dan bait-bait itu tetap menanti

Terbaring sudah jasad
pada pembaringannya
tak tertahan gemuruh mimpi membisik
Lapak-lapak aksara tetap hidup
walau telah menyesatkan mata
terus melintasi benang kusut

Di dalam diam masih ada makna tersisa
– dan kematian tetap melantunkan bait-bait
karena surga tempat syair keindahan

Malang – 2017


BUNGA MALAM

kutanam bunga pada sajakmu
menanti semi, biar kupetik
engkau tetap diam, aksaramu bisu
aku mencoba menyibak malam
kulihat bulan hadir telanjang, tanpa busana
langit telah meniriskan sebuah isyarat
bunga itu tersipu malu
hingga sajakmu habis kubaca
tak pernah tumbuh kuncup bunga
dan engkau telah tidur pada pembaringan abadi

(2017)


CATATAN BOCAH UNTUK IBUNYA

Tangis bocah mengering sudah….
dia belum tahu tentang makna hidup
saat jasad ibunya terbaring tanpa napas
hanya naluri bathin mengalir di dadanya
tentang seberapa dalam
kasih sayang yang dibutuhkannya
– dan telah terkubur di antara seonggok tanah
Betapa catatan itu begitu cepat berlalu
hanya Tuhanlah yang memilikinya

Andai aksara di batu nisan
bisa dieja dalam bahasa hati
akan dihapusnya, agar tangis terhenti
memohon pada Tuhan
‘tuk menyempurnakan pelukan kasih sayang ibu
– yang belum sempat didapatkannya
serta meniti hari esok
dalam guratan senyum penuh makna

Kini, semua jalan setapak telah dilalui
mengarungi lorong dunia dengan jejak kaki
membelah samudera dengan biduk lapuk
melewati tidur tanpa mimpi
Tapi, sedikit demi sedikit
mulai terurai makna hidup
walau dalam catatan penuh duka
Mungkin,
menjadi tangis bahagia ibunya di dunianya yang lain….
menjadi catatan putih untuk ibunya

Apakah masih ada tempat tersisa
ketika garis-garis hidup
belum memejamkan matanya,
berlindung dari kerasnya tatapan dunia
selain sebuah harapan
untuk mengukir keindahan nama ibunya
– dan dipeluknya saat ia tidur!?

Malang – 2017


CATATAN DI PANTAI BARAT

Kau temaramku, kata sajakku
layar pun berkembang menyapu mimpi kita
Kau menyapa langit, kata puisiku
ketika melintasi laut tanpa ombak
dan kita duduk pada biduk, di pantai barat
menyibak bening cakrawala
disitu, serpihan air menelanjangi busana kita
seakan menerangkan makna keindahan
membiarkan semua mata menjadi bodoh
merekatkan pikiran kotor mereka
sementara kita mengayuh menghindar batu karang
dan kita bicara bukan tentang asmara

2017


DUA MASA

// Jose Marti, 18 Mei 1895

Kau tulis api dalam sekam
disini kutulis napasmu
kita belum menang
masih banyak catatan tertidur
masa silam berlalu seperti kemarin
esok, jurang masih menganga lebar
kupinjam apimu, untuk membakar batu cadas
jika perlu, kita jaring matahari

(2017)


TELAGA BENING

Malam seakan terusik dan terjaga
saat aku duduk di tepian telaga bening
pergumulan lenguhan napas panjang
di antara angin dalam kehidupan alam
di antara batas maya ruang waktu
menatap air telaga diam
begitu misteri semua bayang
sesaat kurenungi alam dan menggurat mimpi
hadir bersama bait-bait alam penuh isyarat
tersirat tanpa makna dalam kebeningan air telaga
penat malam menghampiri pandanganku
di ujung mata, dedaunan pohon telah tertidur
mungkin terbuai angin
mengalir bersama deru napasku

Kucoba menguraikan serpihan detik waktu
bersama perjalanan sisa malam
memandang gelap gulita langit tanpa cakrawala
telaga itu tetap bisu
diam dalam keheningannya
Dan, pada batas-batas tertentu
kadang bintang-gemintang berkedip
pikiranku pun mencoba menembus senyap malam
putaran detik itu
terus saja bergerak menyusuri rimba pekat
di bawah dudukku, -- di telapak kaki –
air telaga tetap diam
menatap tajam ke sudut mataku
seolah (dia) berkata
// berkacalah pada dirimu
Bukan ke tubuh(ku)
– aku diam, terpaku bisu –

Singosari – 2017


SUNYI

Sungai mengalir dalam dekap mata
melintang senja pada riak air
dikala sepi bergejolak meninggalkan sinar
napas pun mendesah pilu
membakar rindu  akar-akar bergelantungan
hanya geliat dedaunan bergesek angin
menusuk dan mengalir ke dalam kalbu

Apakah ini sebuah penantian
di antara perjalanan waktu
ketika malam lewat telah ditinggalkan
pada puing-puing mimpi yang belum terwujud
atau membiarkan diri dalam sesatnya nalar
dan membiarkannya karam pada aliran sungai
hingga napas baru menghidupkan gelora hidup
lewat isyarat alam tertidur pada rerumputan di sampingnya

Ingin kubaca hatiku
dengan nalarku yang masih sempit
mungkin dalam sajak-sajak yang kutulis
meski tak pernah hadir dalam mimpi-mimpiku
lalu kutanggalkan beban tersisa
menggantungkannya pada rembulan bisu
tetap saja perasaanku terkucil
hanyut dalam aliran sungai
napasku pun mendesah sekali lagi, begitu panjang
sepi dan sunyi telah memaku hatiku

(2017)
 




Tentang Penulis

VITO PRASETYO, dilahirkan di Makassar(Ujung Pandang), 24 Februari 1964. Ia tinggal di Malang – Pernah kuliah di IKIP Makassar. Vito bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat Budaya
Karya-karya Sastra (cerpen – puisi – esai) pernah dimuat media cetak lokal dan nasional, antara lain: Harian Media Indonesia (Jakarta) - Harian Pikiran Rakyat (Bandung) - Harian Republika (Jakarta) - Harian Suara Merdeka (Semarang) - Harian Pedoman Rakyat (Makassar) - Harian Suara Karya (Jakarta) – Harian Radar Malang (Malang) – Harian Radar Surabaya (Surabaya) - Harian Solopos (Surakarta) - Harian Sumut Pos (Medan) – Harian Lombok Post (Mataram) - Harian Duta Masyarakat (Surabaya) - Harian Malang Post (Malang) - Harian Digital Nusantaranews.co - Harian Buanakata.Com – Majalah Puisi – Harian Digital LiniKini (Jakarta) – Harian Waktu (Cianjur) – Harian Haluan (Padang) - Harian Rakyat Sultra (Kendari) – Harian Fajar (Makassar) – Mingguan Utusan Malaysia (Kualalumpur)
Buku Antologi Puisi “Jejak Kenangan” terbitan Rose Book (2015)),“Tinta Langit” terbitan Rose Book (2015) -“2 September” terbitan Rose Book (2015), “Jurnal SM II” (2015) diterbitkan Sembilan Mutiara Publishing 2016

Kini Sedang mempersiapkan Buku Kumpulan Puisinya  “Biarkanlah Langit Berbicara”  (2016 – 2017)  & Buku Kumpulan Puisi “Sajak Kematian” (2017)

No comments