HEADLINE

Cerpen Maesyuroh _KUANGGAP ANGIN LALU

Redaksi menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)




   "Aku benci ibu, aku benci semuanya!"
   Gerutuku kesal, benar-benar kesal.
   Kehidupanku dulu dan sekarang benar-benar berbeda. Sekarang, semua yang aku lakukan, semuanya dilarang. Ingin rasanya pergi dari rumah dan tidak kembali. Aku benci, kedua orang tuaku selalu melarangku.
   "kenapa sih mereka selalu melarangku!" ujarku kesal, mengerucutkan bibirku dan menendang bebatuan kecil yang berserakan di jalanan.
   Aku tidak suka dengan cara mereka, ibuku selalu saja bepergian untuk acara agama. Kadang, sampai berhari-hari beliau tidak pulang.
   "Nak, besok ibu mau pergi untuk berziarah, selama satu minggu kedepan, kamu di rumah ya dengan ayahmu," begitu kata ibuku. Aku enggan menoleh, untuk sekedar mendengarkan- pun rasanya bosan, bosan sekali. 
   "Gimana sih, katanya ga punya duit, tapi sering pergi ke acara begituan, apa asiknya coba" gerutuku lagi, semakin kesal. Langkahku terhenti ketika melihat dua anak perempuan, rambutnya yang hitam legam terurai begitu rapi, bersama kedua orang tuanya sedang makan di sebuah restoran. Andai aku yang ada disana, ujarku.
   Senjaku, aku putuskan untuk pergi ke sebuah pantai, tidak begitu jauh dengan rumah ku. Hiruk pikuk angin sepoi-sepoi menyergap siapa saja yang melintasi jalanan ini, bebatuan di setiap jalanan di rapikan sedemikian rupa, di samping pantai terdapat sebuah jembatan yang biasa menjadi objek untuk melihat sunset, beberapa tanaman hijau di samping jembatan tersebut menambah kesejukan dan pemandangan netra, lampu-lampu putih di setiap sudut menambah panorama tersendiri bagi mereka yang menghabiskan waktu senja di tempat ini, pantai ini tidak begitu besar, tidak juga kecil. Deru ombak siap menyapa, indah.
   Seharusnya aku bisa tenang duduk di tempat seperti ini. Ingin rasanya aku pergi dengan Anna, Eli, dan teman bar ku yang lain malam ini. Tapi, hari ini tidak ada uang sama sekali, menyebalkan bukan?
***
   Aku adalah anak tunggal, semenjak ayahku bangkrut dan sekarang hidup serba pas-pasan, aku frustasi. Benar-benar frustasi, aku harus putus sekolah, aku harus merelakan barang-barang mewahku untuk melunasi utang perusahaan ayahku, sekarang ayahku bekerja serabutan, ibuku mengajar mengaji di madrasah, kadang ibuku tidak minta untuk digaji, hal itu membuat aku semakin kesal dengan ibu. 
   Aku lebih menyukai ibu dan ayahku sibuk, dulu. Dengan begitu, aku bisa bebas akan pulang jam berapa, tapi sekarang? Hanya kebiasaanku pergi ke Bar yang mungkin membuatku nyaman, dan duduk di bangku ini, menyendiri.
   Tempat ini di penuhi muda-mudi, sesekali mereka bercengkrama, mengambil gambar dan berfoto ria, sesekali gelak tawa memenuhi beberapa muda-mudi yang sedang bergerombol. Ah, bahkan aku tidak sebahagia mereka sekarang.
   "Boleh aku duduk?"
   Suara yang entah dari siapa, aku menoleh dengan enggan. Seorang cowok dengan penampilan religius, sepertinya ia seorang santri. Di tempat ini bukan hanya ada muda-mudi pada umumnya, satu dua juga ada para santriwan santriwati. Memangnya mereka tidak ada kegiatan apa, gerutuku sebal.
   Aku hanya menatapnya sinis, tidak seperti orang lain, mungkin mereka akan ramah, memberikan senyum atau apalah itu. Berbeda denganku, aku justru semakin muak dengan munculnya makhluk yang berdiri di samping bangku.
   Aku kembali memalingkan muka, dan memilih menatap ke objek lain. Ia terus berdiri, tidak bicara, justru menatap ke arahku. Aku bingung, tingkahnya justru membuat aku geram.
   "Hei, kau kenapa masih berdiri" celetukku kesal. Berdiri menatap ke arahnya, ia hanya tersenyum.
   "Maaf, aku akan duduk jika ukhti mengizinkan aku untuk duduk" katanya
   "Asal kamu tau, namaku rena bukan ukhti!"
   "Hehe, Ukhti itu panggilan untuk wanita sholehah, ya ukhti" tambahnya lagi, sembari tersenyum kecil. Aku hanya menatapnya sinis. "Bagaimana? Boleh aku duduk?"
   Cowok ini benar-benar membuatku geram, aku kembali duduk yang semula berdiri karena kesal bukan main. 
   Ia duduk di sampingku. Jarak kami mungkin sekitar 8 centi.
   "Kamu sendiri, ya ukhti?" ia mulai bertanya. Lagi dan lagi dengan sebutan ukhti. 
   "Panggil saja aku Rena, jangan ukhti!" 
   Aku semakin ngotot tidak mau di panggil dengan sebutan itu, risih sekali di telingaku.
   "Ucapan adalah doa, otomatis aku memanggilmu dengan sebutan seperti itu semoga kamu bisa menjadi wanita sholehah" tuturnya.
   "Apa maksudmu! kau menganggapku cewek ga bener!" Emosiku bertumpah ruah di buatnya. Senyumannya justru membuat aku muak, soreku bersama orang aneh.
   "Ngga kok, maaf bukan bermaksud membuat kamu marah ataupun mengganggumu, sedari tadi aku tidak sengaja melihat ukhti sendiri dan sepertinya keliatan sedang kesal, mungkin aku bisa membantumu" ia tersenyum, mengekor ke arahku, "tapi, ya sudahlah jika kedatanganku justru membuat ukhti kesal, permisi ..." Tambahnya, dengan raut wajah penuh keramahan, ia melangkah untuk pergi. 
   Aku tidak tahu, kadang hidup begitu misterius. Kenapa aku harus bertemu dengan orang sebaik dirinya, bahkan tidak seharusnya aku bersikap sinis dengannya, tidak pantas juga kan, kalau aku harus berteman dengan cowok sebaik dirinya.
   Ah, kenapa sekarang aku menjadi memikirkan ia, orang aneh yang baru saja melangkah pergi, kenapa aku jadi merasa bersalah? Biasanya aku tidak peduli, tapi kenapa ini berbeda? Entahlah.

***

   "Pak, ibu berangkat dulu ya, kalau harus menunggu Rena pulang, takut nanti ibu malah ditinggal rombongan," kata ibuku, berpamitan dengan ayahku.
   "Iya bu, tidak usah menunggu anak itu. Ia memang sudah seharusnya di kasih pelajaran, tidak seharusnya ia malah pergi, padahal sudah tau kan, ibunya akan pergi untuk satu minggu ke depan" timpal ayahku, kesal.
   "Jangan kasar sama Rena, pak. Mungkin ia sedang butuh waktu sendiri, ibu permisi dulu ya, pak."
   "Iya bu, bapak akan mengantarkan ibu ke tempat rombongan jamaah yang lain" ajak ayahku.
   Ayahku mengantarkan ibu ke tempat bus yang akan mengantarkan para jamaah berziarah selama satu minggu, dengan membawa satu ransel yang cukup besar, kiranya semua kebutuhan ibuku dapat terpenuhi untuk jangka waktu seminggu.
   Ayahku menatap bus itu ketika mulai melaju, berdiri bersama orang-orang yang mengantar sanak saudaranya ikut berziarah.
   "Bu, maafkan bapak belum bisa mendidik anakmu dengan baik" ujar ayahku, ada rintikan air mata di pelupuk matanya.
   Aku sebenarnya sedari tadi hanya melihat ke arah rombongan itu, tapi tidak sampai bus melaju pergi. Tidak lama, hanya lima belas menit, itu pun aku enggan. Segera aku kembali ke rumah.
   Malam ini, aku ingin ke Bar. Mana duit ga ada lagi! Gerutu ku kesal sembari mengacak-acak lemari ibuku berharap ada uang di sana.

***

   Dua hari berlalu,
   Tiga hari berlalu.
   Sudah empat hari ini ibu pergi, lumayan senang, aku tidak mendengar wanita itu menasehati ini itu, ah bikin pusing saja.
   Ayahku sudah pergi bekerja menjelang pagi buta, aku menyalakan music box ku dengan keras, pemberian dari Andre, temanku. Ia selalu baik denganku, bahkan ia rela membelikan apapun untukku. 
   Beberapa tetangga yang melewati rumahku, menatap ke arah rumahku sembari berkolat, aku melihatnya tak peduli. Mungkin karena kebisingan suara lagu ini, lagu yang biasa di play DJ di Bar. 
   Melihat tingkah tetangga yang terus berdiri di depan rumah, sembar terus berkolat, membuatku kesal. Aku mematikan lagu, dan keluar.
   "Heh, ibu-ibu. Dasar! Ga ada kerjaan apa, pagi-pagi sudah ngomongin orang!" kataku dengan nada tinggi.
   "Masya Allah, Rena. Kamu itu beda yah dengan ibu kamu, dia guru mengaji, tapi anaknya seperti ini. Aneh yaa ibu-ibu" kata salah seorang ibu.
   "Alah, brisik!"
   Aku menutup pintu rumah keras, menguntit di balik tirai jendela rumahku, sebenarnya tidak pantas disebut tirai, hanya kain bekas yang menutupi jendela lusuh yang sudah di gerogoti puluhan rayap.

***

   Satu minggu berlalu.
   Di hari-hari itu aku sibukkan pergi ke Bar, hura-hura dengan Anna, Eli, dan teman Bar ku yang lain. Di hari itu pula, sebenarnya Andre yang mengajakku, ia yang membayar semua minumanku.
   Ayahku, ia sudah seminggu ini mondar-mandir dan gelisah. Sudah satu minggu tidak terdengar kabar tentang rombongan jamaah itu. Bahkan, ayahku menjadi tidak peduli denganku, biasanya ia akan marah besar kalau tahu aku pergi minum-minum dengan teman-temanku, tapi ini tidak.  Keberuntungan untukku.
   "Tok..tok...tok..."
   Suara ketukan pintu itu, seketika menambah gelisah ayahku. Aku yang sedari tadi sibuk mencoba baju-baju baruku yang di belikan Andre, seketika berhenti bercermin, melihat betapa cantiknya parasku di depan cermin dengan baju-baju tersebut.
   Ayahku membuka pintu yang sudah reyot itu.
   "Iya pak, ada apa?" tanya ayahku.
   Terlihat disana, seorang laki-laki sepantaran dengan ayahku. Berbincang-bincang serius, aku mencoba menguping. Tapi, rasa kantuk tiba-tiba menyapaku, aku memilih untuk tidur, baju-baju itu masih belum ku rapikan dan ku masukan ke dalam lemari. Ah, bahkan aku tidak pernah memasukannya ke dalam lemari, hanya ku gantung sana-sini di beberapa paku yang ada di kamarku.

***

   "Rena... bangun, Nak"
    Kata ayahku, sembari menggoyangkan tubuhku, mengisyaratkan untuk segera bangun.
   "Ada apa sih yah," jawabku masih terpejam. Menarik guling dan mendekapnya.
   "Para jamaah kecelakaan, Nak. Ibu kamu, a-ayah tidak tau keadaannya sekarang"
   Ayahku terbata, aku masih terpejam, suaranya terdengar parau. Aku tidak merespon, isak tangis kecil menyergap ayahku. Aku bahkan tidak peduli, aku sudah benci dengan ibu. Ibu selalu melarangku bergaul dengan Andre. Sekarang, aku sudah mulai senang ibu tidak ada di rumah, aku bisa pergi dengan siapapun. 
   "Rena, kamu sama sekali tidak peduli dengan ibumu, Nak?" kata ayahku lagi.
   Aku masih tidak merespon.
   Ayahku pergi dari kamarku, menutup pintu kamarku. Beberapa menit, ia kembali membukanya.
   "Para jamaah nanti sore akan kembali, doakan ibumu dan yang lain dalam keadaan sehat"
   Begitu kata ayahku, dan kembali menutup pintu.

***

   Satu, dua dan beberapa orang mulai keluar menunggu para jamaah datang. Rasa khawatir, cemas dan haru berbaur menjadi satu. Semua menerbangkan dedoa, berharap tuhan masih memberikan keselamatan untuk mereka.
   Dengar-dengar, keadaan bus sudah tidak layak di tumpangi, kaca depan bus sudah pecah dan bolong, sopir yang membawa bus tersebut sekarang entah seperti apa keadannya. Sang sopir dihantam batu besar yang mengenai mata sebelah kanan, keadaan serius itu membuat sopir tersebut di larikan ke rumah sakit.
   Ada segerombolan preman yang sengaja menghantam menggunakan beberapa bebatuan besar ke arah bus yang jamaah tumpangi. Keadaan masih pagi buta, pukul 01:14, kiranya. 
   Segera para jamaah keluar, mencari tempat berlindung. Jamaah laki-laki segera menolong sopir tersebut dan segera menelepon Ambulance.
   Sehari sesaat beranjak kembali ke rumah, para jamaah terlantar. Berada disebuah jalanan dekat hutan, untuk sekedar mencari makan -- pun sulit, semua jamaah lebih banyak membeli baju-baju islami untuk oleh-oleh keluarganya di rumah, hanya beberapa yang masih ada persediaan makanan, itu pun makanan ringan.
   Seperti biasa, senjaku aku habiskan di pantai, menyendiri.
   Tidak ada rasa khawatir dalam benakku tentang jamaah itu, aku tidak peduli. Bahkan sama sekali tidak peduli.
   Sore ini, pantai ini tidak begitu ramai. Aku memutuskan untuk pulang, malas sekali rasanya disini. Udara tidak begitu sejuk seperti biasanya, malah menambah rasa kesal ku saja.

***

   Aku melihat semua berhamburan keluar, ada 2 bus disana. Pertanda para jamaah sudah kembali pulang.
   Aku memutuskan untuk pergi saja ke rumah, tidur. Sampai pukul 8 malam, aku membuka mata dan mendengar ibuku dan ayahku berbincang-bincang tentang kejadian tersebut.
   Aku memilih untuk kembali tidur dan tidak mendengarnya.

***

   Suara gema adzan pertanda sholat subuh mengusik tidurku.
   "Rena.."
   Ibuku memanggilku, lirih. Aku mendengarnya, tidak menoleh.
   "Rena..."
   Suara itu semakin dekat saja di telingaku, aku masih terbaring.
   Ibuku tiba-tiba saja memelukku erat, ia terisak. Semua air matanya bertumpah ruah, ia mendekapku semakin erat.
   "Maafkan ibu, Nak. Hikss, ibu melakukan ini demi kebaikan kamu, melarangmu untuk tidak bergaul dengan laki-laki untuk kebaikanmu" suara ibuku bertambah lirih, semakin terisak sendu, sesekali mencium rambutku, aku masih terbaring "ibu tidak tau kalau ibu tidak bisa melihatmu lagi karena kejadian ini, hikss" ibuku semakin terisak, keras.
   Dinginnya tangan ibu, dan gemetar tangannya, seketika aku rasakan. Suara isak tangis itu semakin jelas terdengar di telingaku. Aku, aku, apa yang telah aku lakukan?
   Aku bahkan selalu membenci ibu, berbicara dengan ibu--pun rasanya bosan.
   Aku ikut terisak, benar-benar terisak. Aku segera melepas dekapan hangat ibuku, bergegas pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahku.
   Aku kembali ke kamar, ibuku masih berada di kamarku, baru sampai pintu kamar,
   ibuku lagi-lagi mendekapku
   "Nak, hikss, ibu benar-benar tidak tau kalau ibu sudah tidak ada, ibu sayang rena hikss" 
   Isak sendu ibuku membuat aku terenyuh, aku sudah durhaka dengan orang tuaku sendiri. Semua yang ibu larang, ternyata itu semua demi kebaikanku.
   Oh Allah, apa yang sudah aku lakukan.
   Aku membalas dekapan ibu, hangat.
   Terisak sendu, aku benar-benar hanyut dalam pelukannya.
   Lama sekali aku di dekapnya.
   Beberapa kali, ibuku mencium keningku.
   "Bu, rena minta maaf hiks, rena menyesal. Rena janji akan berubah, rena sayang ibu, hiks"
   Suara tangis itu, bersama suara gema adzan subuh berbaur, haru.
   Aku begitu bodoh, bodoh. Aku menyesal, sangat menyesal.
   Aku berjanji untuk berubah, aku berjanji.
   Semua nasehat ibu yang mengusik di telingaku, yang aku anggap hanya angin lalu, aku bersumpah akan mendengarnya.
   Aku tidak tahu, jika tidak ada ibu. 
   Ibuku segalanya. 
   Ibu, maafkan Rena.




Tentang Penulis

Maesyuroh, tinggal di Desa Pedagung RT 04/02, kecamatan Bantarbolang, kabupaten Pemalang, Jawa Tengah

No comments