Puisi Aan Hidayat _MENUNGGUMU DI TAMAN
Redaksi menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)
MENUNGGUMU DI TAMAN
Melihat sore ini, langit murung tak berdaya
sebab awan mengurungnya hingga mencipta gelap
bahkan udara menjadi dingin menusuk nurani.
Aku masih di bangku ini sejak pagi tadi
berteman sepotong roti dan secangkir kopi
yang kupesan dari pedagang di bawah tenda.
Di mana engkau ...
aku masih menantimu, tuk mengeja hari kemarin.
Tentang janji yang kita sepakati
tentang sajak-sajak rindu yang pernah kita perbincangkan.
Aku masih di sini, di bangku taman yang semakin kusam
tempat kita dulu mengamati jalanan dan orang-orang di depan sana
namun hadirmu seolah kutukan.
lalu aku terpaku di bangku ini menjadi patung bisu
hingga pagi demi pagi bermendung.
Bahkan matahari lupakan cahayanya.
Lampung Barat, 2 Desember 2017
SEBAGIAN TUBUHKU YANG LAIN
Kabarnya hari ini kau datang, membawa gugusan rindu
yang telah bertahun, hingga ia hidup dan mengakar
di tanah seberang.
Namun aku tak dapat menjumpai hadirmu yang tualang.
Tahukah engkau?
Di sini, jarum jam sedang menusuk kaki
sehingganya tubuh terkulai
dan sebagian tubuh yang lain
menahan rasa sakit yang tak kau dengarkan.
Kabarnya hari ini kau datang, meski hanya sekejap.
Dan aku tak dapat menjumpai raut dan senyummu
atau sekadar mencecap secangkir kopi hangat
yang sering kita bicarakan lewat telepon.
Tahukah engkau?
Di sini, aku sedang mencabut pecahan kaca dan butiran timah
yang menancap pada banyak bagian tubuh dari tubuhku yang lain.
Tubuh kami penuh luka
ia berdarah bahkan mulai bernanah
dan aku tak ingin mengemis obat padamu.
Cukuplah kau tau, aku dan banyak bagian tubuhku yang lain sedang menderita.
Sedari tahun kemarin, bahkan tahun kemarinnya lagi
aku dan sebagian tubuh yang lain telah mengerang bahkan banyak yang meregang
hingga tahun demi tahun kami lalui.
Namun kau hanya memandangku dari kejauhan
dan hingga saat ini, tak dapat kurasakan hadirmu dalam hidupku.
Aku tau.
Kau enggan menapaki bumiku yang berbau anyir, berdebu, gersang dan penuh kematian.
Tolong kabarkan pada mereka di sana
bahwa kami sedang lapar, terkapar
kami juga terluka dan tersiksa
dan katakan juga, bahwa kita masih di bawah langit yang sama.
Lampung Barat, 20 Desember 2017
MENDUNG DINI HARI
Hari masihlah dini, namun langit begitu berkabung
dan di antara desah basah nafasku
sesekali kusebut namaMu dengan kelu bibir merapalkan mantra mantra
yang pernah Kau ajarkan padaku.
Entahlah.
Kaki ini gemetar, dada pun tergoncang
namun hati dalam kebimbangan menjejaki
setapak takdir yang buram.
Perjalanan ini sudah jauh, bahkan sangat jauh
untuk mencari cahaya yang sebenarnya
namun peta yang pernah Kau gambarkan
kini pudar, atau mungkin mataku yang tertutup dosa-dosa hingga rabun.
Dan pagi ini, aku masih menyebut namaMu
entah sebagai kekasih atau apalah.
Karena mendung pagi ini benar-benar menutup penglihatan
sehingga tak jelas lagi setapak jalan yang harus kulalui.
Lampung Barat, 3 Januari 2018
MENCARI CAHAYA
Matahari telah meninggalkan dhuha
namun kaki ini masih saja dalam gelap
dan langkah ini kian jauh tanpa petunjuk.
Kucoba mencari jejak, di antara gundukan batu atau pasir yang kutemui
dan ternyata belantara hidup ini cukup menyesatkan.
Rumah-rumah tertutup, hanya rerimbun semak dan belukar tempat yang dapat kusinggahi.
Entahlah.
Tak dapat lagi kubedakan
air mata ataukah keringat yang kuminum
karena hidup yang kurasakan saat ini, hanya rasa pahit dan asin.
Lampung Barat, 2 Desember 2017.
KALAU ENGKAU PULANG
Kalau engkau pulang, kau akan melihat
Sekarang pohon rindang dan bunga di jalan-jalan itu telah berkurang.
Pohon dan rupa-rupa kembang itu kini telah tumbang
di tempat dulu, kita dengan rasa lugu
memandang orang-orang yang lalu lalang hingga malam menjelang.
Pejalan kaki tersenyum
menyapa leleki tua di trotoar
serta warung kopi yang ramah
menjamu setiap sesiapa yang datang
mereka kini telah pergi.
Dulu di sini, ada gang-gang berdebu
tempat anak-anak bermain, para petani berjalan dengan tersenyum
dan segerombolan muda mudi bertemu kasih.
Kalau engkau pulang, kau akan melihat segalanya telah berubah
patung-patung bertebaran
di tepian jalan hingga ke taman kota
bahkan di halaman Masjid agung.
Sobat, matahari masih sama di sini
teriknya menyengat mimpi-mimpi kami
namun terlalu banyak wajah yang tak akan kau kenali bahasa dan tubuhnya.
Lampung Barat, 3 Desember 2017
SELIMUT KUMAL
Selimut ini sudah kumal sekali
entah berapa tahun tak pernah dicuci
aduhai aromanya sangat laknat
memabukkan juga menyengat.
Dan hari ini, sudah sebulan lamanya hujan turun tanpa ragu
genangi kamar dan ruang tamu
sehingga tak ada lagi tempat untukmu.
Entah apa yang harus kulakukan
tuk dapatkan kembali rasa hangat dalam kehidupan
karena mimpi bersamamu aku tak mau
membuat peredaran darahku kian beku.
Dan tak mungkin kujamah kembali, selimut kumal dan berbau itu
karena hidungku tak cukup mampu
untuk bertahan hidup bersamamu.
Lampung Barat, 1 Desember 2017.
USIA YANG BERKELIARAN
tahun demi tahun telah lepas terhempas
terinjak di tengah jalanan
bahkan lebih panjang dan penuh tikungan
balon balon pecah di udara, bagai penari liar
dan para pejalan menatap langit yang kian samar.
Di jalanan, di tempat kita berpapasan
saling berkenalan, dan membuat praduga
entah kapan akan berakhir
atau hanya menggelinding, menggelincirkan kenangan demi kenangan.
Tahun demi tahun akan selalu lepas
terhempas ke belakang
dan kita hanya melihatnya sebentar
seolah terlupa dan sia-sia, seperti lalat
yang terperangkap di jendela
mencoba menggapai cahaya di luar rumah
ingin menjejaki jalan yang mengarah kepada entah.
Dan kita tak pernah peduli
kapan kiranya napas terhenti
dan tak sanggup lagi menapaki
tahun yang ada di wajah jalanan
yang semakin banyak tikungan.
Lampung Barat, 24 Desember 2017.
Tentang penulis
Aan Hidayat, seorang wiraswasta mebel di pekon Gunung Sugih, kecamatan Balik Bukit Liwa Lampung Barat, di sela kesibukannya ia juga menuangkan kegelisahan hatinnya melalui puisi. Karya karyanya diterbitkan wartalambar.com, simalaba.com dan sejumlah Antologi puisi di tanah air
No comments