HEADLINE

Cerpen Anton Hastono _LUKA LUKA DALAM DADA

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU:  EDISI 07
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)
Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)


Kami duduk berdampingan di tepian springbed seharga sepuluh juta yang aku beli tepat saat demo besar-besaran seminggu menjelang hari pernikahanku. Aku dan istriku. Sudah setengah jam kami di sini, namun tak sepatah kata pun keluar dari masing-masing mulut kami. Berat, aku tak tahu harus memulai dari mana lagi. Ia hanya menatap kosong ke depan. Barangkali banyak hal yang ia bisa saksikan dari apa yang ditatapnya itu.

“Ehm..” aku berdehem. Sebuah usaha memecah keheningan yang kian menyiksa.
Istriku masih bergeming. Ia seperti tak merasakan kehadiranku.
Aku cegukan. Aku rasa ia mendengar ludah yang memaksa masuk ke kerongkonganku.

“Mel!” sapaku berat.
Dia masih diam saja. Dingin. Beku. Sendiri. Dan sepi.
Aku menghela napas. Kuembuskan dengan keras, rasa-rasanya isi hatiku terkumpul di ujung lidah. Aku tak pernah menemukan alasan mengapa begitu sulit mengeluarkannya.

“Sampai kapan kamu begini?” Kini kuucapkan dengan bebas. Aku tak tahan lagi.
Dia tetap diam saja.

“Emm, sampai kapan kita begini?” Aku membenahi perkataanku.

Sepasang bola mata berwarna hazel itu menatapku nanar. Aku rasakan hatiku menyala. Meski hanya menatapku, setidaknya ia menghargai keberadaanku.

Kemudian aku mengangguk dan mengangkat kedua alisku, mengisyaratkan permohonan jawaban. Dia kembali menatap ke depan. Aku lemas.

“Kau sudah empat bulan diam begini. Aku tak bisa diam lagi, Mel.” Kali ini ucapanku berbau ancaman. Aku merasa berhak mengatakan ini, aku lelaki, aku suaminya.

Dia masih membisu.

“Apa maumu?” tanyaku. Kembali aku lembutkan suaraku. Segala metode aku lakukan.

Ia menggeleng. Haru di wajahnya itu memiliki seribu arti. Sayang, tak satu pun arti itu ia bagi padaku.

“Kalau kamu menyesal atas pernikahan kita, rasanya itu terlambat.” Ucapku. “Dahulu kamu tidak begini.” Andai ia tahu mata senduku ketika mengatakan ini.

“Mel!” panggilku, sekarang lebih keras dari pertama aku menyapanya di awal tadi. Ada intonasi memaksa.

Ia bangkit dari duduknya, berlalu begitu saja keluar kamar.

Amelia, istriku yang cantik. Gadis yang kunikahi setahun yang lalu. Aku masih ingat bagaimana senyumnya mengembang sesaat setelah ijab qobul disyahkan. Senyum yang tulus, bukan karena paksaan dari siapa pun, termasuk dari ayahnya. Aku tahu jika ia dijodohkan olehku karena ayahnya, tapi sungguh itu tak menjadi masalah baginya. Aku rasakan itu di malam pertama. Hari-hari kulalui bagai di surga. Kami umpama pasangan paling romantis sedunia, meski usiaku terpaut 18 tahun lebih tua dengannya.

Jika karena kondisi keuangan kami, itu lebih mustahil. Aku memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, aku selalu melebihkan uang belanjaan kepadanya. Aku paham sekali ia sangat hobi merawat wajahnya. Wajah serupa batu pualam itu tak pernah bisa membuatku berpaling dari dirinya. Oh Tuhan, aku rindu dia yang dulu. Setiap malam aku mendaraskan doa, sepertiga malam seperti teman setiaku. Sebagai lelaki, pantang bagiku menangisi wanita, tapi tidak untuk istriku.

Sudah empat bulan aku makan di luar. Kami tak terbiasa menggunakan jasa ART. Jika aku mengambil ART, itu akan menyakitkan baginya. Aku seolah mengiyakan diamnya, mengiyakan ketidakberadaannya. Aku rindu masakannnya yang cenderung manis. Juga manis senyumnya saat menyajikan sepiring salat yang kita makan berdua.

***

“Ayolah…!” Aku menarik-narik lengannya. Persis seprti bocah ingusan yang baru mengenal cinta.

“Kau saja dulu!” Amelia malu-malu.

“Di sana indah. Kita belum mendatangi Turki yang sebenarnya kalau belum ke sana.” Ucapku lalu melempar pandangan ketempat di mana kemegahan Bosporus berada.

Amelia terkekeh, simpul senyumnya begitu serasi dengan keindahan tempat ini.

Tak lama, merah tembaga menghujani perairan. Cahayanya berkilat-kilat di dekat dasar kapal yang melintas.

“Gimana, enak kan?” Aku membuka obrolan tak lama setelah pelayan menyuguhkan teh hijau di meja kami.

“Seleramu masih sama.” Amelia meneguk untuk kedua kalinya.

“Hah…!” Sengaja aku mengembuskan napasku, aku ingin merasakan dramanya musim dingin. Uap dari napasku akan mengepul lalu terlihat romantis. Seperti di film-film.

“KLUNG…!!!”

Dering pendek dari ponsel Amelia segera ia raih. Awalnya ia membacanya serampangan kemudian memerhatikannya lamat-lamat. Dahinya berkerut-kerut seirama dengan alisnya yang tipis. Amelia menyeruput sebentar teh hangat di depannya, sekadar untuk memberi tenaga atas emosinya yang terseret.

“Mel. Kenapa?” tanyaku penuh selidik.

Ia hanya menggeleng kemudian melanjutkan membaca pesan itu baris demi baris. Ia scroll ke bawah lalu scroll lagi. Begitu seterusnya hingga aku melihat kecemasan berbalut kesedihan itu tergambar jelas dari air mukanya.

“Ada apa? Cerita!” Aku mendekatkan kepalaku di depannya.

Amelia menatapku, tapi aku tak merasa ia sedang ingin berbicara denganku. Ia menatap apa saja, seperti tak tahu harus meluapkannya pada siapa.

“Kamu kenapa? Siapa itu?” Telunjukku mengarah ke ponsel Amelia.

***

Amelia sama persis denganku, tak pernah memandang dengan siapa ia jatuh cinta. Dia begitu mengagungkan cinta. Buktinya, pria tua sepertiku masih mau ia jadikan suami. Aku pikir, barangkali jika dulu ada pria belia yang mampu menarik hatinya, ia pun akan jatuh dalam pelukannya. Ia sungguh memuja cinta.

Ada hal lain darinya yang sama persis denganku. Aku dan dia percaya kutukan. Siapa pun yang berkhianat, maka kutukan akan menghantui sepanjang hidupnya. Kutukan itu bisa menjelma apa saja; burung menyeramkan, kemelaratan, penyakit, juga luka. Luka-luka dalam dada.

Aku berjalan menemuinya saat cahaya matahari yang kemerahan serupa tembaga runtuh di teras belakang rumahku. Di mejanya masih ada segelas teh hijau yang setengah terisi. Kulihat luka-luka itu tak sanggup beranjak dari bola matanya. Sebingkai foto ia dekap.

“Boleh aku lihat? Berbulan-bulan kamu menyembunyikannya dariku. Foto siapa itu?”

Tak seperti biasa, kali ini menyerahkan dengan pasrah. Justru karena ia bersikap biasa, aku menjadi tak biasa. Sesuatu yang rahasia seharusnya tak secepat ini ia bongkar. Ah tapi sudahlah, akhir sebuah rahasia terkadang tak selalu dramatis.

Bingkai keemasan itu aku usap sebentar. Sekejap kemudian aku tatap Amelia, istriku. Ia yang ada dalam foto ini, yang tersenyum simpul, ialah anak kandungku sendiri. Ia membawa kabur gadis teman kuliahnya dan menikah diam-diam beberapa bulan lalu saat aku dan Amelia berlibur ke Turki.
Seketika aku melihat Amelia, juga kutukan dalam dadanya.


Tentang Penulis

Anton Hastono, pria berdarah Jawa yang lahir dan besar di Lampung. Ia penyuka musik. Bekerja sebagai editor di Perahu Litera Group. Saat ini tengah menantikan kelahiran novel perdananya berjudul “Rindu di Bawah Langit Marakesh”. Anton tinggal di Tulang Bawang Barat, Lampung.


No comments