HEADLINE

Cerpen Anggi Nugraha _ENIGMA



SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU:  EDISI 09
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak ( minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam.
Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)


Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)




Dan kisah tentang laki-laki berambut cepak itu, sesungguhnya telah bermula pada dua puluh dua tahun yang silam. Di satu malam yang pernah ada, seorang bayi laki-laki lahir dari rahim perempuan yang baru saja menginjak usia limabelas. Saat diketahui bayinya laki-laki, perempuan itu pun gelisah. Diiring suara tangis si jabang bayi, perempuan belia itu terasa hancur batinnya. 


Ia bernapas dari apa yang mereka embuskan. 

Ia hidup dari darah yang mereka alirkan. 

”Datanglah, Nak!” ujar sosok itu, setiap kali wajah itu bertandang dalam mimpi En.

”Nak”, siapa dia? Adakah orang lain yang begitu mesra memanggilnya dengan sebutan seperti itu? 

Tapi, bukankah hari-hari En adalah sebuah bangunan besar bernama ”pertanyaan”? Seharusnya, tak perlu ia terkejut. Bukankah begitu banyak pria tampan yang mengencaninya pergi begitu saja selama ini? Iya. Laki-laki selalu datang begitu cepat, lalu pergi sekejap mata. Itulah hal yang sangat En benci dari menjadi laki-laki.

”Mau pesan apa, Neng?” tanya pemilik warung nasi itu, tiba-tiba memecah lamunan En.

”Teh manis hangat aja, Bu!” 

Sementara di luar angin berembus sedikit kencang. Menghantam berupa-rupa barang dagangan yang digantung di bagian depan gerobak dagang di seberang sana. Beberapa jenis kerupuk pun hampir saja tandas ditelan air got bilamana seorang lelaki tak segera mengambilnya dengan lekas. Sedangkan angin makin berembus, lelaki berambut cepak dan pirang itu disibukkan oleh seorang anak kecil yang hendak membeli mainan dari gerobak dagangnya.

”Om, buruan! Beli mobil-mobilan yang ini!” pintanya, seraya menunjuk-nunjuk barang yang ia inginkan.

”Dua rebu!”

”Yah, duitnya kurang. Cuman serebu” tukas anak laki-laki itu.

”Ya udah. Yang serebu lagi dibayar pake ini aja!” sembari tangan kirinya memberikan mobil-mobilan itu pada si anak, tangan kanannya meremas kemaluan anak laki-laki itu hingga terkikik ia dibuatnya.

”Ampun Om, ampun Om” pintanya, sembari tertawa kegelian dan tak lama si anak kecil berlalu dengan senang karena segera bermain mobil-mobilan barunya. 

”Kayak gitu tuh, Neng!” ucap ibu pemilik warung nasi itu pada En yang juga ternyata memperhatikan kejadian tersebut. 

En pun tersenyum pada si ibu, dan segera ibu itu pun menambahkan kata-katanya.

”Udah berapa kali aja dia dimarahin orang, gara-gara suka ngeremes anunya bocah-bocah. Tapi, ya tetep, dasar emang jiwanya udah aneh.”

”Nggak sampe diusir kan, Bu?” 

”Nggak, Neng. Lha, kesian juga kalau sampe diusir.”

Dan kisah tentang laki-laki berambut cepak itu, sesungguhnya telah bermula pada dua puluh dua tahun yang silam. Di satu malam yang pernah ada, seorang bayi laki-laki lahir dari rahim perempuan yang baru saja menginjak usia limabelas. Saat diketahui bayinya laki-laki, perempuan itu pun gelisah. Diiring suara tangis si jabang bayi, perempuan belia itu terasa hancur batinnya. 

”Aku benci bayi itu!” ucapnya, pada si peraji.

Tak lama, sang suami, yang baru saja pulang bekerja merasa bahagia melihatnya. Dikecupnya kening sang jabang bayi itu, hingga merah lipstik-nya tertinggal di kulit si bayi.

”Aku yang akan mengurusnya!” ucap lelaki itu, begitu bersemangat.

”Silahkan, tapi pergilah jauh dari hidupku! Bawa jauh-jauh anak itu!” ucap perempuan muda itu dengan ganarnya.

Keesokan, benarlah jika tak lagi ada suara tangis bayi membuncah dari rumah kontrakan itu. Sang ayah membawanya serta ke tempat yang baru. Di tempat itu, berkumpullah belasan laki-laki yang bila malam hari berdandan seperti perempuan. Dan singkat kata, si bayi pun diberinama ”Enigma”.

Enigma perlahan tumbuh besar. Ia pun disukai oleh para waria di tempat itu. Hidungnya yang bangir, mata yang jernih terasa begitu menggemaskan. Ia menjadi pelipur lara tak hanya bagi ayahnya sendiri, namun juga untuk semua teman-teman ayahnya di tempat itu.

Dan waktu ialah untaian takdir tak berujung, Enigma pun sudah berusia enam tahun. Usia di mana ia bisa melihat lebih dalam, merasakan lebih peka, dan berpikir sedikit kritis. Saat ia diajak keluar dari tempat itu, ia sering mendapati bagaimana orang-orang hidup dengan berbeda. Di sebuah taman, di satu senja yang pernah ada, ia mendapati sepasang kekasih bercumbu mesra. Saat malam harinya, ia mulai bertanya tentang gerangan kenapa ayahandanya berprilaku seperti wanita. Dan lambat laun, ia pun bertanya tentang siapakah gerangan ibunya? 

”Aku ini Ibumu, Nak!” ucap ayahnya, seraya membelai mesra anak satu-satunya itu.

Dan esok lusa, ia telah melihat teman sebayanya mengucap kata ”Ibu” pada seorang yang benar-benar memiliki payudara. Sejak saat itu, Enigma tak lagi bertanya. Hingga nanti, mungkin di suatu hari.

***

Sekejap angin pun bertambah kencang. Seperti akan turun hujan. En menghirup perlahan minuman yang telah ia pesan. Sembari mencatat beberapa hal penting atas informasi yang telah ia dapat, kembali diperhatikannya laki-laki di depan sana. 

Oh, sungguh wajah itu. Begitu persis dengan wajah perempuan yang selalu datang dalam mimpiku-mimpiku. Gumam En.  Semakin dalam ia lihat wajahnya, semakin ia terhanyut oleh keyakinan bahwa dialah sosok itu. Sosok yang selalu memanggilnya dengan sebutan ”Nak”. 

”Dia aslinya perempuan, Neng!” ucap ibu penjual nasi itu. ”Ada yang bilang dia diguna-guna mantan lakinya. Tapi ada juga yang bilang dia ngerasa bersalah karena ngebuang anak laki-lakinya dulu. Makanya dia pengen jadi laki-laki.” Papar ibu itu dengan begitu meyakinkan.

Kembali En terhanyut pada apa yang terjadi dua minggu yang lalu. Sebelum akhirnya ia meninggalkan rumah. 

”Dikuliahin jauh-jauh ke Amrik. Ini yang kamu dapatkan?” ucap ibu-nya. Begitu menghancurkan hati.

”Apa-apaan ini semua?” tegas ayah-nya, dengan mata seperti hendak keluar.

Dan kini semua itu jelaslah sudah. 

Sebelum sang bayu menghantarkan En untuk memandang perempuan bertubuh laki-laki itu, tahukah kau, bahwa En telah menyambangi sepetak tanah berukuran 2x1. Pada nisan kayu yang rapuh itu ia mengeja namanya, ”Supriyadi”. Sungguh, dialah ayah kandungnya. 

Karenanya, kembali lamunan En membuncah pada masa-masa itu. Sebuah masa di mana akhirnya semua itu haruslah berakhir. Ia yang kala itu berusia enam tahun, berhasil diselamatkan oleh kebaikan sang takdir. Namun tidak dengan ayahnya juga teman-temannya sesama waria kala itu. Mereka harus mati ditelan ganasnya api. Kebakaran besar itu, yang ditengarai sebagai cara mengusir para waria di tempat itu, tak sedikit pun terkikis dari ingatannya. 

Meski demikian ia sangat beruntung ada keluarga yang begitu baik padanya. Keluarga yang hingga kini tak dikaruniai anak itu pun, sesungguhnya masih sangat mencintainya. Lantas kenapa semua itu terjadi? Setelah kehilangannya atas ayah kandungnya begitu terasa menyiksa, kenapa kini mereka harus berbalik arah tak menginginkan En? 

Andai saja semua itu tak terjadi, mungkin kini ia masih bisa bercanda mesra dengan kedua orang tua angkatnya. Berbagi kasih dengan mereka yang telah merawatnya. Menceritakan pada ayah-nya tentang Las Vegas sebagaimana ia mencintai dunia tinju. Juga menceritakan pada ibu-nya tentang New York yang tak pernah ada matinya itu. Tapi, lagi-lagi semua itu telahlah usai. 

”Dasar emang anak banci!” itulah sambutan yang En dapat dari mereka sekembalinya ia ke Indonesia.

***

Hujan tampak mulai membasahi.  Angin pun tak kunjung reda. Pria di depan sana tampak sedang membereskan barang dagangannya. Menutup daun jendela dari gerobak dagangnya, untuk akhirnya masuk kembali ke warung kecil itu, tempat di mana ia selama ini tinggal. Di dalamnya, pria itu telah habiskan banyak waktunya sendiri. Menonton acara televisi lewat TV yang mini, menyeduh kopi, dan tidur berselimutkan dingin udara yang masuk lewat sela-sela dinding gerobak dagang itu. Dan kini, kala hujan dan sengangar tampak begitu mengerikan, beruntung En masih bisa melihatnya.

”Berapa semua, Bu?” tanyanya pada ibu penjual nasi.

”Tiga ribu rupiah, Neng! Lho, lagi hujan gini, emang mau ke mana?”

”Saya harus pergi sekarang, Bu. Terimakasih banyak ya, Bu.”

”Iya, Neng. Sama-sama. Semoga bermanfaat buat penelitiannya, ya!”

Dan segera, En pun keluar meninggalkan warung nasi itu. Ia kuatkan niatnya kini untuk menghampiri gerobak di seberangnya. Hujan semakin deras. 

Sesampainya, sembari mengetuk pintunya, En pun berucap.

”Ibu!” 

Seketika, pintu itu pun terbuka. Tampaklah wajah itu begitu nyata. Dipandanginyalah ia dengan saksama. Seolah bingung dengan apa yang terjadi, perempuan berjiwa laki-laki itu pun entah mengapa tak mampu berkata-kata. Mungkin saja ia terharu, bahwa di hari itu adalah hari pertamanya ia mendengar ada seseorang memanggilnya dengan sebutan ”Ibu”? Namun, entah mengapa, seketika saja seperti ada yang membelokkan langkah En.

”Oh, maaf. Saya hanya butuh kantong plastik” pinta En padanya.

Diberinya segera sebuah kantung plastik hitam pada En. Tatapannya menjadi berubah. Hilang sudah ciri kelaki-lakiannya itu. Dan ia pun menatap En layaknya seorang ibu yang telah lama kehilangan anaknya.

Tapi, En harus lekas berlalu. Ia tinggalkan tempat itu dengan sebuah jawaban atas segala pertanyaan-pertanyaan yang pernah ada. Tentang ayah dan ibu angkatnya yang tak mau menerimanya lagi. Juga tentang para pria, yang selalu berkata, ”Anjing, Loe banci ternyata!”, atau ”Oh, shit! Fuck you! You’re a dick girl!” tak lama, di setiap kali hasrat En bergejolak untuk bercinta.

En pun pergi. Ia meninggalkan sosok ibunya di derasnya hujan seraya menyadari, bahwa ia bernapas dari apa yang mereka embuskan. En hidup dari darah yang mereka alirkan. 

TAMAT

Tentang Penulis

Anggi Nugraha. Lahir di Batumarta 2, Kab. OKU, Sum-Sel. Kini menetap di Bandung. Alumni Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung.  Tulisan-tulisannya dimuat di Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Tribun Sum-Sel, Lampung Post, Malang Post, Padang Ekspres, Palembang Ekspres, Radar Surabaya, Radar Mojokerto, Koran Singgalang, Koran Berita Pagi,  Majalah SUAKA, dll. 
Buku yang akan terbit “Kekasihku ‘Hujan’” kumpulan cerita pendek.

No comments