Puisi Sugik Muhammad Sahar _"RAYUAN PULAU GARAM"
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU: EDISI 10
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak ( minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam.
Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)
Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)
(klik video ini untuk menonton animasi puisi)
RAYUAN PULAU GARAM
Ketika Tuhan menurunkan lanscap sempurna
Musim pancaroba mengisyaratkan tanda
Bagi laki-laki nelayan dan perempuan perkasa
Dimana riuh ikan-ikan menabuh dada
Sementara pada tiang-tiang pagan
Hujan menulis sajak disana
Dengan utuh makna yang paling bisa
Sampan-sampan seakan terus menyebrangi
Melipat degub di lengan kiri
Lantas hilir ombak seperti sibuk meng-amini
Agar jarak selekasnya menepi
Sementara di bibir pantai
Perempuan perkasa memunguti doa yang disisakan cemas
Ditampungnya dalam keranjang harap dan waswas
Agar lelaki nelayan seumpama berbagi usapan
Pada tiap keringat yang dikucurkan
Di celah pulau garam, Tuhan menurunkan lanscap peraduan
Tak perlu menggoda laut agar termakna segala rindu
Sebab di bantal ombak, telah menyemogakan temu
Pamekasan 2017
MADURA BERGANTI NAMA
Di lautmu hujan menjelma seribu anak pulau
Sungai-sungai digenangi lempung plastik
Sepekat limbah cucian sabun dan lipstik
Ikan-ikan menunggu senja tercabik
Dalam hitungan almanac tembok pabrik
Di tanah merah dan peluh madumu
Aku lihat gerhana bulan di pucuk siwalan
Yang dibawa angin dalam mesin telegram
Siapa yang meninggal?
Aku dengar rintihan tangis anak-anak lumpur
Tentang ibu bapaknya yang mati terkubur
Tanpa grasi tanpa pelipur
Lebur dalam wasiat leluhur
Di tubuhmu
Ritus saronen seperti kehilangan mantra
Tak ada sanggul cinta
Tak ada selendang rindu di kepala
Lantaran kolam-kolam bidadari terlampau beku
Seperti Joko Tarub mengutuk tubuhmu
Menjadi tumbal suramadu
Nar Nir Nur
Nar Nir Nur
Jika kelak ada yang bertanya
Madura berganti nama
Pamekasan 2017
MADURA DAN DENYUT YANG HILANG
Ia tak punya denyut-denyut lagi
Tubuh dan degub jantungnya tak sanggup mengenal wajah sendiri
Dalam hentakan musik koplo, atau rempah ganja pil ekstasi
Mengubur kenangan sedalam mabuk yang makin menjadi
Tiba-tiba ia dipanggil dan harus segera diadili
Tubuh dan degub itu kemudian dieksekusi, digerus, diamputasi
Tak boleh ada saksi, tak boleh ditulis atau diceritakan kembali
Tanpa grasi atau jaminan dalam wasiat jual beli
Hanya nyeri yang masih ia miliki: abadi
Ia setia membangun rumah-rumah mimpi disisa usia
Menjadi istana kecil penuh bunga
Ia pasrahkan degub tubuh dan denyutnya
Karena baginya: tak ada catatan sejarah, mengalunkan madah kasih paling indah
Ia pernah juga menyaksikan gagahnya nenek moyang
Dengan tongkat-tongkat sederhana taklukkan gelombang
Tak pernah gentar apalagi menyerah tanpa perlawanan
Berlipat-lipat denyut dalam jumlah bilangan
Mencapai kecup bibir semenanjung lautan
Pamekasan 2017
MADURA DI LINTING TEMBAKAU
Misalnya tak ada linting tembakau hari ini
Tolong ajari satu cangkulan hujan
: hujan yang senantiasa menumbuhkan bulir hisapan
Pada merah tanah, juga humus serat rinduku
Linting tembakau adalah bulir-bulir tabungan
Dari ritus-ritus tani yang mulai pindah tangan
Tanpa tongkat rotan, tanpa tetes hujan
Mengalir bersama kekosongan
Rempah tembakau ajian melumat harap
Dijulurkannya sisa denyut dalam ikat wasiat
Mulai harga yang kehilangan serat
Remuk, di kantong tengkulak keringat
Semata Madura di linting tembakau
Pewaris benih dan daun-daun kesuburan
Kelak akan kuziarahi lumbung-lumbung ingatan
Tentang cangkul dan bulir hujan
Tanpa nama tanpa taburan bunga
Pamekasan 2017
UNTUK MADURA HARI INI, BESOK DAN KAPAN LAGI
Misalnya tak ada hari ini, besok dan kapan lagi
Adakah yang lebih alpa dan nista untuk kudustakan kembali
Seperti linting tembakau tanah sendiri
Hingga bumbu dapur telur mata sapi
Madura yang elok limpahan kecil dari negeri kayangan
Di dalamnya mengalir rawa-rawa kahidupan
Petani, nelayan bahkan kiai
Duduk bertamu, satu tanah kelahiran
Saling sapa, tak ada pisah atau tertinggal langkah
“terimakasih telah kau kibarkan layar-layar pada kami, meski kudapati retakan-retakan di punggung sampan yang nyaris menenggelami, tak terbanyang pantang menyerah kembali lagi. Atas sebaik-baiknya dendam putih pada tulang atau putih pada mata: hutang darah dibayar dengan darah, hutang kematian harus dibayar pula dengan kematian.”
Itulah isyarat kaliterakhir kau kuabadikan
Sebelum jasad wasiat-wasiat luhur benar-benar dikuburkan
Jauh menempuh sulur-sulur impian
Dan kelak, jika batang padimu tunduk di musim kemarau
Maka akan kulayari kau
Melewati lesap Suramadu atau tatap mata serdadu
Dengan maskawin seperangkat sanggul cintaku
Juga sepasang tanduk meski hanya seruncing bambu
Sebab, di atas debur risau pulau-pulau
Telah kuperas madu getah keringat
Merah berarti darah, kalah atau kubur luhur sendiri
Untuk hari ini, besok dan kapan lagi
Pamekasan 2017
Tentang Penulis
Sugik Muhamm ad Sahar, lahir di Pamekasan 69382. Alumnus Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Madura. Menulis puisi menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Madura. Tahun 2017 karya-karyanya pernah dipublikasikan Radar Madura, Sastra Sumbar, Padang Ekspres, Jawa Post, Haluan Padang, Rubrik LiniFiksi, Rubrik Sastra dan Budaya Harian Sultra, Banjarmasin Post, Riau Post, Radar Surabaya. Saat ini aktif di Sivitas Kotheka.
No comments