HEADLINE

MENYOAL PUISI: SUKMAWATI MELANGGAR ETIKA BERSUSASTRA _Oleh: Zham Sastera



Beberapa hari yang lalu ruang publik di hebohkan dengan sebuah puisi yang dibacakan oleh Sukmawati Soekarnoputri dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018 JCC Senayan Jakarta Pusat, Kamis, (29/3/2018). Sukmawati yang katanya adalah seorang Budayawati Indonesia, publik menilai terutama mayoritas umat Islam, bahwasannya Sukmawati telah melakukan penodaan agama dan jelas tercatat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156. Dalam hal ini saya tidak akan membahas lebih jauh tentang bagaimana pandangan hukumnya, namun saya akan sedikit mencoba memberikan gambaran dimana letak pelanggaran Sukmawati Soekarnoputri terlebih dilihat dari sudut pandang kajian susastra.

Dalam menulis karya sastra, baik cerpen, prosa, novel serta karya-karya sastra lain, begitu pun khususnya puisi, juga ada yang namanya etika, salah satunya tidak boleh mengandung sentimen suku, agama dan ras (SARA). Jika melihat konteks Indonesia itu sendiri sejatinya adalah negara yang sangat memperhatikan itu, maka ketika ada sesuatu menyinggung hal tersebut,  atau bisa dikatakan “bermain api”, dengan begitu, sejatinya dia akan terbakar dengan sendirinya

Saya akan mencoba menafsirkan beberapa bait dan baris puisi berjudul “Ibu Indoneisa” yang di tulis oleh Ibu Sukmawati Soekarnoputri, juga kenapa saya katakan adanya pelangaran etika dalam bersusastra. Dalam puisinya dibawah ini: 

IBU INDONESIA

Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

Dalam hal ini, saya melihat pula dengan pendekatan semiotik, Konsep Semiotik menurut Charles Sander Pierce merupakan hubungan antara petanda dan penanda, yang terdiri dari ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara petanda dan penanda. Indeks adalah tanda yang menunjukan hubungan kausualitas (sebab-akibat). Simbol adalah tanda yang menunjukan tidak adanya hubungan alamiyah antara penanda dan petanda (bersifat arbiter) (Sariban, 2009:45-46).

Saya hanya akan mengambil beberapa diksi/kata saja diantaranya ada tiga , yaitu: konde, cadar, dan azan, yang jelas mengandung unsur semiotik. Dalam larik tersebut terdapat tiga diksi yang menggunakan kata yang bermetafor dan bersimbol yakni:

Kata Konde ihwalnya berpengertian yaitu: gelung rambut, sanggul, kundai. Namun   Sukmawati menganggap adanya pengagungan yang besar terhadap konde, dibanding mereka yang tidak berkonde terbukti pada kalimatnya mengatakan sangatlah indah. Kata indah dalam hal ini merupakan manifestasi dirinya dalam menujukan keeksistensian para perempuan yang berkonde, hinga ia pun membandingkanya dengan cadar.

Kata Cadar ihwalnya  berpengertian yaitu: kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan). Namun Sukmawati menganggap cadar hanyalah benda biasa yang manfaatnya tidak begitu penting, sehingga ia bebas membandingkanya dengan sesuatu hal, begitu pun dengan yang dilihatnya yaitu kecantikan wajah ibu-ibu Indonesia dibanding mereka yang menggunakan cadar. 

Kata Azan ihwalnya berpengertian yaitu: seruan untuk mengajak orang melaksanakan shalat. Namun Sukmawati menganggap suara azan juga merupakan suara yang biasa saja, sehingga dengan santainya ia membandingkan dengan suara Ibu Indonesia yang menurutnya lebih elok bahkan menurutnya lebih merdu.

Dalam pengambilan tiga diksi, bukan berarti diksi yang lain tidak mengandung unsur semiotik, atau tidak berhak untuk dikaji, akan tetapi bahwa kata konde, cadar, juga dengan azan merupakan tiga kata kunci atau mewakili, yang menjadikan puisi tersebut dikatakan menjadi sebuah persoalan yang berlanjut menjadi penolakan sangat keras oleh umat Islam juga para penyair/sastrawan Indonesia.

Pada bait pertama, baris pertama sampai tiga, dia menulis: Aku tak tahu Syariat Islam, Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah, Lebih cantik dari cadar dirimu. Pada bait dan baris ini, Sukmawati sudah membukanya dengan kalimat yang ketika seorang membacanya, hal tersebut akan langsung mengarah pada kalimat Aku tak tahu Syariat Islam, sengaja saya buka dengan kalimat itu, karena kalimat pembuka di bait pertama dan langsung mengacu pada satu agama, yang sering menggunakan kata itu, sebut saja agama Islam. 

Sukmawati menulis kalimat itu sekan ketidaktahuanya tentang syariat Islam, namun yang ia lebih tahu hanyalah keindahan kaum perempuan khususnya ibu-ibu Indonesia yang seolah nampak paling sempurna dimatanya, dengan melanjutkannya pada baris kedua dan tiga, Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah, Lebih cantik dari cadar dirimu.

Adanya unsur budaya/tradisi yang dia gunakan, mengutip pernyataan Ahmadun Yosi Herfanda (Penyair Internasional), bawhasannya, Ibu Indoneisa itu multi-kultur. Coba kita simak sejarah dan tradisi para perempuan pejuang Indonesia dari Sabang sampai Marauke? Apakah tampilan pejuang perempuan kita, seperti Tjut Nya Dien, (Aceh), Hj. R Rasuna Said (Jawa), Opu Daeng Risodju (Sulawesi Selatan), dan lain-lain, berkonde? Keseharian Cut Nya Dien dan Opu Rasuna Said. Berkerudung. Apakah mereka bukan ibu Indonesia. Jadi, tampilan perempuan berkonde, atau perempuan yang membiarkan rambutnya terurai, hanyalah tampilan sebagian perempuan Indonesia. Jadi, lagi-lagi, Sukmawati juga perlu belajar tentang realitas Ibu Indonesia yang bhineka itu. Jangan hanya terpesona pada konde, atau rambut yang terurai.

Dengan tegas Ahamdun Yosi Herfanda juga memberikan paparannya terkait perempuan atau Ibu Indonesia yang menurut Sukmawati adalah sebuah keindahan yang nilai seninya melebihi segalanya, namun kata Ahmadun, nyata tidak real jika seorang menilai keindahan perempuan hanya pada sebatas konde yang dipakai.

Kata konde, seolah Sukmawati melihat Indonesia hanyalah sebatas pulau Jawa saja yang lebih kental dalam penggunaannya, tidak melihat pulau-pulau lain yang mana akar budaya/tradisi penggunakan konde tersebut nyaris tidak ada. Berlanjut di baris ketiga dia menggunakan kata cadar. 

Mengutip Wikipedia, cadar adalah kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan). Niqab (Arab: نقاب‎, niqāb‎) adalah istilah syar'i untuk cadar yaitu sejenis kain yang digunakan untuk menutupi wajah. Niqab dikenakan oleh sebagian kaum perempuan Muslimah sebagai kesatuan dengan jilbab (hijab). Niqab banyak dipakai wanita di negara-negara Arab sekitar Teluk Persia seperti Arab Saudi, Yaman, Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman dan Uni Emirat Arab. Ia juga biasa di Pakistan dan beberapa wanita Muslim di Barat. Cadar sendiri termasuk dalam ranah budaya/tradisi kala itu khusunya di dunia Islam yang memang dianjurkan penggunaannya, meski jika melihat dalam pandangan mazhab fikih dalam Islam itu sendiri, bahwasannya adanya perbedaan mengenai hukum penggunaannya bagi kaum wanita.

Jelas bahwa, penggunaan cadar dalam Islam terutama bagi mereka yang menggunakan, melihat puisi Ibu Sukmawati yang lagi-lagi menyingung bahwa Ibu Indonesia lebih cantik dari apa yang di sebut cadar (mereka perempuan yang bercadar) dalam puisinya, mereka tidak menerima atau bahkan menolaknya. 

Berlanjut pada bait ketiga, Sukmawati Soekarnoputri masih menggunakan kalimat Aku tak tahu Syariat Islam di baris kesatunya, dan menyambungnya pada baris kedua dan ketiga Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok, Lebih merdu dari alunan azan mu. Sukmawati berusaha untuk membandingkan antara kidung/lagu atau nyanyian Indonesia dengan alunan suara azan. Bicara kata azan, dalam Islam, kembali adalah sesuatu yang amat diagungkan, karena dalam panggilan azan itu sendiri, adalah sebuah isyarat/tanda seorang untuk melaksanakan peribadatan, khusunya dalam hal shalat lima waktu dan seorang yang Muslim wajib untuk melaksanakan perintah shalat tersebut. 

Nyanyian/kidung yang saya tangkap adalah, Sukmawati sedang menggambarkan keagumannya lagi-lagi para kaum Ibu Indonesia, lalu alam bawah sadarnya langsung memilah kata yaitu kidung/nyanyian, yang hal tersebut seolah menggambarkan rasa kesyahduan pula. Memang, ini bisa dikatakan tidak masalah, namun ketika dia beranjak pada kalimat selanjutnya, Lebih merdu dari alunan azan mu, ini masuk dalam ranah yag bertolak belakang dari kebenaran. Jika    Indonesia dengan segala kesyahduan kaum ibu dalam Bahasa Sukmawati suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok harus dibandingan dengan lantuan suara azan, kembali, hal itu seakan menyudutkan mereka para penganut Islam khusunya di Indoensia, mereka tidak menerima hal tersebut, karena sudah menyalahi mayoritas penganut Islam dalam memahami konsep azan. 

Puisi yang dibawakan Sukmawati termasuk pada jenis puisi kritik perbandingan, dia mencoba mebandingan sesuatu dengan sesuatu yang lain seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tanpa adanya kejelasan, yang ada hanyalah ketidak-wajaran dalam penyampaian.

Dalam menulis puisi seorang dituntut untuk memahami isi secara benar, tujuan puisi yang akan dibuat juga memperhatikan pilihan diksi/kata, sehingga karya tersebut tidak memunculkan atau berbuah polemik hitam yang bisa merugikan diri sendiri, juga orang lain. 

Sebagai penyair, dalam melihat kasus atau kejadian itu, berharap ke depannya tidak terulang hal-hal yang dirasa janggal seperti itu lagi. Bukan hanya menanggung malu, seorang yang dikatakan Budayawan/Budayawati namun tidak jeli memperhatikan karya yang sudah dibuat, hingga akhirnya salah dalam penyampaian, maksudnya adalah untuk kebaikan, malah sebaliknya. Dan itu semua nyata, akan kembali pada diri sendiri.

Allahu’alam.

Ciputat, 03 April 2018


Zham Sastera: Penyair, Pegiat Budaya, Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Ciputat.

No comments