SEBUAH KEAJAIBAN_Cerpen Titin Ulpianti
Redaksi simalaba menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari
(selain malam minggu)
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
( Belum berhonor)
Aku adalah gadis dari keluarga sederhana yang tinggal di pinggiran kota metropolitan yang memiliki tuntutan gaya hidup dan ekonomi yang serba tinggi. Ayahku hanya seorang buruh pabrik yang penghasilannya tidak seberapa sedangkan ibuku hanya seorang tukang cuci baju keliling. Aku mempunyai dua adik yang masih duduk di bangku sekolah dasar, sementara aku masih duduk di sekolah menengah atas sambil bekerja paruh waktu di toko seusai pulang sekolah. Kami terlalu fokus bekerja mencari uang hingga lalai menjalani ibadah. Keluarga kami minim tentang ilmu agama hingga membuatku bebas tanpa tahu dosa apa atas perbuatanku.
Setelah lulus SMA kehidupanku mulai berbeda, pergaulan yang bebas dan ada rasa iri ingin seperti teman-teman, memiliki handphone canggih, baju bermerek dan nongkrong di Cafe. Wajahku yang cantik cukup mampu membuat banyak pria yang memandangku dengan berbagai macam, ada tatapan kagum ada pula tatapan seakan ingin menelan hidup-hidup.
"Diana, besok kamu ada acara tidak?" tanya Amel sahabatku.
"Tidak Mel, ada apa ya?" jawabku bertanya balik.
"Kita jalan ke Mall yuk."
"Tapi aku gak punya uang."
"Tenang, itu bisa diatur asal kau mau saja. Nanti kita nongkrong di Cafe, gimana?"
Aku pun berpikir sejenak dan menimbang tawaran ajakannya. Akhirnya aku mengangguk setuju, Kupikir lumayan juga menyegarkan otak.
"Oke, nanti aku jemput ya."
"Oke." Amel pun melenggang pergi.
Pukul lima sore, Amel menjemputku. Saat masuk mobil ternyata di dalam bukan hanya dia seorang, tapi ada dua pria bersamanya dan belum pernah kulihat sebelumnya.
Amel memperkenalkan kedua pria itu padaku. Yang berambut pirang bernama Dika sedangkan yang pria bule bernama Mike. Kami pun segera pergi meluncur ke Mall setelah sesi perkenalan.
"Dika, kamu dan Mike mau ikut masuk atau menunggu di mobil?" Amel bertanya seraya menoleh ke belakang.
"Kita tunggu di mobil saja, gak lama kan?" Dika yang menjawab seraya meminta persetujuan pada Mike atas jawabannya.
"Kayanya tidak, cuman ingin mengantarkan pesanan ini ke tanteku."
"Oke, jangan lama-lama ya." Amel hanya menjawab dengan acungan jempol.
Kami pun segera masuk Mall, mengantarkan titipan dari Mama Amel untuk tantenya yang kebetulan pemilik salah satu outlet di Mall ini.
"Din, habis ini ke Cafe ya?"
"Tapi aku gak bawa uang Mel, kamu enak dapat uang jajan sedangkan aku," jawabku seraya mengeluh akan nasib pas-pasan.
"Kamu mau dapat uang lebih dari gajimu gak?" ujar Amel tiba-tiba.
Aku pun memandang bingung seraya bertanya caranya.
"Gampang, kita jalan sama om-om dan peras uangnya."
"Gila kamu Mel, kalau si om macam-macam bagaimana? Aku gak mau menjual diriku ke om hidung belang." Aku terbelalak tak percaya dengan ide gila Amel.
"Siapa juga yang menyuruhmu jual harga diri!" Amel pun kesal atas pemikiran pendekku.
"Lalu?"
"Maksudku, kita jalan temani si om, terus kita peras duitnya,"
"Tapi, kalau si om perko.. aku gimana?" tandasku, karena aku tidak mau mengorbankan kehormatanku yang berharga.
“Oh itu, tenang Mel aku punya ini”,sambil menunjukan sebuah botol kecil ke arahku.
“Apa itu Din? “tanyaku penasaran.
“ Ini obat tidur dosis tinggi, kalau di campurkan makanan atau minuman tidak merubah warna dan rasa jadi aman ga akan ketahuan!“
“Maksudnya bagaimana Din?”
“Ya sebelum itu om macam-macam kita kasih obat ini biar dia tidur dan besok paginya dia tidak akan ingat kejadian apa-apa.“
“ Oke deh, aku ikut cara kamu.”
“ Sip. “ kamipun tersenyum bersamaan.
Malam hari Mike menjembutku di kontrakan kemudian kami pergi ke Cafe seperti yang dijanjikan Dinda, disitu awal aku mulai memasuki dunia malam. Mike memperkenalkan aku pada seorang pria paru baya.
“ Malam om”.
“Eh Mike, apa kabar ? Dan siapa bidadari ini?” selidiknya sambil melirik ke arahku dengan tatapan liar, awalnya aku sedikit merasa canggung tapi kucoba menutupinya. Kemudian pria itu mengulurkan tangan kepadaku.
“ Toni”
“ Amel om”
“ Jangan om panggil saja mas Toni “
“ Baik om, eh Mas Toni, maaf ya”
“ Tidak apa-apa, jangan sungkan”
“Bisa temani mas makan sambil ngobrol di sana” sambil menunjuk di pojok ruangan yang agak remang, akupun mengangguk setuju.
Mas Toni mengajak Keluar dari Cafe tersebut ke sebuah Mall dia membelikan berbagai macam pakaian dan perhiasan, aku juga mendapatkan handphone keluaran terbaru, kemudian Mas Toni mengajak ke sebuah motel yang tak jauh dari sana kami menghabiskan malam dengan banyak bercerita sampai akhir mas Toni mengajakku duduk di ranjang, aku mulai merasa sedikit gelisah badanku terasa panas dingin tak karuan, Mas Toni mulai menyentuh tangan dan mulai menyusuri pipi dan leher, aku sudah tak tahan rasa takut mulai menyerang , kemudian aku bangkit dan mengambil air minum sambil kuberi beberapa tetes obat pemberian Dinda tadi siang. Mas Toni terus mendekatiku lalu kuberikan dia minuman tadi awalnya dia menolak dan akhirnya dia mulai meminumnya, Mas Toni terus mendekati dan menarik hingga aku terjatuh si pojok ranjang. Namun, selang beberapa menit dia jatuh dan terlelap di ranjang. Aku kemudian membuka pakaiannya, menyelimuti tubuhnya dan berlalu meninggalkan dia yang tak berdaya di atas ranjang, aku melangkah pulang dengan senyum kepuasan dalam hati aku berpikir ternyata semudah ini mendapatkan uang.
Semakin hari aku semakin menikmati petualangan ini, pindah ke satu pria dengan pria lainnya dan mendapatkan uang yang banyak dengan begitu mudah, sementara agar keluargaku tidak curiga aku memutuskan untuk mengotrak rumah dengan alasan agar lebih dekat dengan tempat kerja, aku hanya pulang dua minggu sekali sebagian uang kuberikan kepada mama untuk merenovasi rumah serta biaya sekolah adik-adiku.
Hingga suatu hari di malam yang mengubah seluruh duniaku dan kehidupanku, aku berjalan di tengah malam seorang diri menuju kontrakan. Tiba-tiba perasaanku tidak enak seakan ada yang mengikuti, kulihat di sekeliling tampak sepi akupun semakin cepat berjalan dengan rasa takut sampai di perempatan gang yang sepi, muncul dua pria yang tidak kukenal, pria itu memaksaku naik ke mobil aku berteriak minta tolong dan berusaha meronta tapi tidak ada satupun yang mendengar hingga aku masuk kesebuah mobil, mulutku diikat dengan sapu tangan kutatap mereka ada dua pria di depanku dan dua pria di sebelahku, salah satu pria di depanku menatap tajam kearahku, sepertinya wajah itu tidak asing aku terus berpikir siapakah pria paruh baya tersebut.
“Malam cantik, masih ingat dengan om?, atau kamu sudah lupa? “ kemudian dia melepaskan ikatan mulutku, aku terus berusaha mengingatnya.
“Om Dimas!”
“Rupanya kamu masih ingat cantik”
“Apa yang om inginkan?”
“Seperti yang seharusnya om dapatkan”
“Maksud om apa? “ aku tak paham apa maksudnya.
“ Jangan berlagak bodoh Dinda, selama ini om sudah bayar mahal tapi kamu tidak pernah mau melayani om, jangan kamu anggap om ini bodoh dan tidak tau dengan perbuatanmu setelah menghabiskan uang om tanpa mencicipi sedikitpun tubuhmu. Dan, sekarang kamu harus rasakan pembalasanku.”
Aku terperanjat dengan perkataan Om Dimas, seketika rasa takut mencekam menghampiriku.
“Mau di bawa kemana aku om”
“ Kita akan menikmati malam ini ke surga” kemudian mulai merabaku sementara lelaki yang berada di samping memegangi tanganku.
“ Jangan om aku mohon lepaskan aku”
“ Tenang cantik jangan takut, kita hanya ingin bersenang-senang “
“Tolong om lepaskan aku, aku mohon biarkan aku pergi “
“Diam! Hari ini aku yang menentukan nasibmu bukan kamu paham. “
Aku berusaha melawan tapi sia-sia,mobil itu melaju sudah terlalu jauh sampai ahirnya berhenti di sebuah perkebunan yang berada di luar kota, aku dihabisi oleh Om Dimas secara paksa, kesucian yang selama ini ku jaga harus hilang ditangan Om Dimas, aku terus menangis dan meronta supaya dia melepaskan dan membiarkan aku pergi tapi semua itu percuma, bukan itu saja ketiga anak buah Om Dimas menggilirku hingga tak sadarkan diri dan melempar tubuhku yang tak berdaya ke dalam jurang.
******
Pelan aku membuka mata, tubuhku terasa amat sakit aku bingung sedang ada dimana dan apa yang terjadi aku benar-benar tidak ingat apapun kepalaku terasa amat sakit, sampai ada suara yang menyapaku.
“ Pagi mbak“
“ Pagi, maaf aku ada dimana? “
“Mbak ada di rumahku, tadi saya menemukan mbak pingsan di jurang dekat perkebunan saya, maaf mbak memang apa yang terjadi sampai mbak ada disana, sepertinya mbak bukan orang sini “
Aku berusaha mengingat kejadian semalam tapi aku tidak ingat apa-apa aku hanya bisa menangis bingung.
“ Oh iya mbak namanya siapa dan dari mana biar aku bisa menghubungi keluarga atau teman mbak”
“ Nama? Namaku siapa? “
“ Lho mbak kok balik tanya, ya sudah kalo mbak belum ingat lebih baik istirahat saja, aku permisi kalo butuh sesuatu ada ibu di belakang.“ aku hanya mengangguk.
Tiga hari telah berlalu aku berada di rumah pria yang kuketahui bernama Ahmad, dia tinggal hanya berdua dengan ibunya menurutnya ayahnya sudah meninggal tiga tahun lalu akibat sakit keras. Mas Ahmad juga seorang guru di sekolah dan guru mengaji di lingkungannya, ia dan ibunya termasuk orang yang disegani di kampung
Dari kejauhan nampak seorang pria setengah baya dengan pakaian rapi datang bertamu ke rumah Mas Ahmad dan aku masih berada dalam kamar, pria itu ternyata RT kampung itu.
“ Assalamualakum “
“Walaikumsalam, silahkan masuk pak RT “ kemudian pak RT masuk dan duduk di ruang tamu bersama Mas Ahmad.
“Ada apa pak, tumben datang kemari, kenapa tidak memanggil saya saja”.
“Ah nak Ahmad cuma mau silaturahmi, dan ada beberapa hal yang hendak saya tanyakan”.
“Silakan pak”
“Maaf ya nak Ahmad bapak Cuma mau tanya kata para warga nak Ahmad menyembunyikan seorang wanita, maaf kalau boleh tau siapa ya ?”
“Benar “
“Siapanya nak Ahmad”
“ Saya juga tidak tahu pak RT.”
“Kok bisa begitu nak”
“ Tiga hari yang lalu ketika saya hendak ke perkebunan saya menemukan seorang wanita pingsan, sepertinya dia habis kena musibah, saya tidak menemukan kartu pengenal dan dia juga tidak ingat dia siapa, jadi saya putuskan untuk merawatnya, kebetulan ibu tidak punya teman di rumah”
“ Oh begitu ceritanya”
“ Iya pak RT.”
Kemudian Mas Ahmad memanggilku dan mengenalkanku pada pak RT
“Nah ini dia orangnya pak“
“Maaf namanya siapa ya mbak?” aku hanya mengelengkan kepala.
“Ya sudah kalau begitu bapak pamit dulu ya.” Aku hanya mengangguk, kemudian Mas Ahmad mengantarkan pak RT kedepan.
“Nak Ahmad, berhubung situasi seperti ini, jika ada warga yang bertanya bapak harus jawab apa? “
“ Bilang aja saudara jauh saya yang tinggal disini”
“Baiklahn kalau itu yang diinginkan nak Ahmad bapak permisi dulu”
“Silakan pak “
“Assalamualakum “
“Walaikum salam, hati-hati di jalan” kemudian Mas Ahmad kembali ke dalam dia duduk di hadapku dan memanggil ibu di dapur, kami pun duduk bertiga di ruang tamu.
“Maaf Bu, apa ibu keberatan ada mbak ini disini? “.
“ Sama sekali tidak, Ibu bahkan sangat senang ada teman dirumah jadi tidak sendirian disaat kamu pergi”
“Trus apa yang mau mbak lakukan, mbak mau pergi apa mau di sini? “
“Aku bingung dan ga tau mau kemana”
“ Apa mbak mau tinggal bersama kami di gubuk ini yang amat sederhana ini?”
“Kalau kalian tidak keberatan aku mau”
“Tentu saja tidak aku malah senang ndok kalau kamu disini”
“ Terus kami harus panggil apa mbak?”
“ Terserah kalian saja”.
“ Gimana kalau ibu beri nama Nuraini, kamu suka tidak”
“ Nuraini ,boleh juga”
“Nah mulai sekarang aku pangil dengan nama Nur ya ndok”
“Iya bu, Mas Ahmad terima kasih. “
Sejak hari itu aku merasa terlahir kembali, mereka mengajariku solat, mengaji bahkan memasak, semakin hari aku dan Mas Ahmad semakin dekat, selain wajah yang lumayan tampan, baik hati penyabar dan penuh perhatian. Semakin aku mengenalnya mulai tumbuh benih-benih cinta di antara kami entah sejak kapan rasa itu mulai tumbuh, terkadang ada rasa cemburu saat salah satu santrinya mulai cari perhatian atau sengaja mendekati Mas Ahmad, terkadang emosiku tidak bisa ditutupi, kecemburuan makin menjadi ketika Wati salah satu dari mereka sering main ke rumah membawakan makanan, atau pura-pura belajar mengaji secara pribadi hatikupun makin kesal, sepertinya ibu selalu memperhatikannya. Aku tahu Mas Ahmad baik terhadap semua orang termasuk padaku aku tidak tahu apakah dia suka atau menganggapku sama seperti mereka, aku selalu terbawa perasaan akan sikap dan perhatiannya membuatku semakin jatuh cinta padanya.
Sudah hampir delapan bulan aku disini. Tidak seperti biasanya Mas Ahmad membangunkanku di pertiga malam,aku merasa heran ketika ia mengajakku solat tahajud bersama. Di malam yang ketiga setelah selesai solat ia mengajaku berbincang seperti ada hal yang amat serius.
“Nur boleh aku bertanya sesuatu?“
“Silahkan mas”.
“ Kamu tidak keberatan? “
“Insyaallah engak, memang ada apa mas? “.
“Maukah kamu jadi pendamping dan ibu dari anak-anakku?“
“ Maksudnya?” aku pura-pura tidak mengerti padahal dalam hati aku merasa bahagia.
“ Maksud mas ,maukah Nur jadi istriku? “
“Apa kamu serius, dan bisa menerima segala kekurangan dalam diri saya, bukankah mas belum tahu siapa saya yang sebenarnya apa mas tidak menyesal memperistri saya? “
“ Insyaallah tidak Nur, niat saya tulus dalam hati dan tidak usah membicarakan masa lalu, kita jalani yang sekarang dan untuk selanjutnya “ .
“ Kalau begitu aku siap mas”
“Alhamdulillah diterima “ dari balik pintu aku mendengar ucapan ibu, ternyata dari tadi ibu mengawasi dari balik pintu kamar, akupun tersipu malu.
Seminggu kemudian kami melangsungkan acara akat nikah di kediaman mas ahmad, walau sangat sederhana tapi penuh hikmah, dan aku merasa sangat bahagia.
Enam bulan telah berlalu aku dan Mas Ahmad sangat bahagia apalagi sekarang aku mulai mengandung anak kami, terasa lengkap kebahagian kami dan ibu mertuaku sangat sayang malah seperti ibu kandungku.
Suatu hari Mas Ahmad mengajak aku berbelanja keperluan bayi kami ke kota, kemudian kami mampir di tempat salah satu sahabatnya yang berada tak jauh dari pusat kota, kebetulan dia mengajak kami makan siang di Cafe miliknya, sepertinya, aku merasa tak asing di tempat ini. Sambil menunggu makanan kulihat suamiku asik berbincang dengang sahabatnya dan aku hanya menatap seluruh penjuru Cafe mencari pertanyaan dan jawaban yang tidak aku ketahui sampai ada sakah satu pria asing menghapiri dan menepuk pundakku.
“ Hai, Dinda apa kabar?, kemana saja kamu menghilang selama ini, udah sukses ya? “.
Aku hanya berdiam diri antara bingung dan penasaran, siapakah pria bule ini, apakah dia memang mengenalku. Banyak sekali pertanyaan yang muncul di benakku.
“Kamu kenal Bun? “aku hanya menggeleng bingung.
“ Maaf anda siapa? Apakah anda mengenal istri saya? “
“What? Istri, kapan kamu menikah Dinda ? “ kata pria itu sambil melirik ke arahku
“Dinda ini aku Mike,apa kamu lupa dengan aku sahabatmu? “
“Maaf apa kamu kenal dengan istri saya”
“Iya dia Dinda sahabatku dan Amel, kalau tidak percaya lihat ini.” Kulihat pria itu mengeluarkan handphone dan memperlihatkan sesuatu pada Mas Ahmad.
“ Maaf perkenalkan saya Ahmad suami Nur,”
“ Nur, oh saya Mike, setahuku dia adalah Dinda.“
“ Apa Dinda punya keluarga? “
“ Ya, dia masih punya keluarga orang tua dan dua adik, anda suaminya tapi kenapa anda bertanya seperti itu “
“Berapa bulan yang lalu aku menemukan Dinda dengan keadaan sangat memprihatinkan, aku menyelamatkan dia tapi sayang dia lupa ingatan”
“ Apa maksud kamu amesia?”
“Ya “
“Maaf aku tidak tahu memang sudah lama kami tak pernah bertemu lagi, aku pikir dia sudah hidup senang dan tidak mau berkumpul bersama kami lagi, soalnya dia tidak bisa dihubungi, ok begini saja” Mike menuliskan alamat dan memberikan pada Mas Ahmad.
“Ini alamat orang tua Dinda”
”Terimakasih Mike”
“Sama-sama, semoga bisa membantu. Aku permisi dulu sudah ada janji”.
“Silahkan sekali lagi terima kasih”. Lalu pria itu pergi meninggalkan aku dan Mas Ahmad.
“Siapa dia mas, apa dia mengenali aku”
“Sepertinya begitu Bun“ lalu Mas Ahmad menunjukkan kertas yang diberikan Mike padaku.
“Ini alamat siapa?”
“Kita akan kemari, kata Mike itu alamat keluarga kamu”
“Jadi aku masih punya keluarga?“ Mas Ahmad menganguk kemudian dia menghampiri sahabatnya dan berpamitan, kemudian mengajak ku ke alamat tersebut .
Sesampainya di sana aku melihat rumah yang sangat sederhana, ada seorang wanita yang sedang melamun ketika dia melihatku dia histeris menjerit sambil menangis dan menghampiriku”
“Dinda ini kamu nak, kemana saja kamu menghilang” ibu itu memeluk sangat erat kemudian menatapku dari ujung kaki sampai kepala, kemudian menatap Mas Ahmad yang ada di sampingku.
“ Penampilan kamu makin cantik aja nak, ayo masuk ke dalam ada bapak disana. Dan ini siapa? “
“Ehh iya bu, ini Mas Ahmad suamiku “
“Kamu sudah menikah ,kapan nak?”
“Ya sudah kita masuk dan ngobrol di dalam”
Di dalam ruangan aku merasa tidak asing dengan suasana dalam rumah ini, tapi perasaan janggung kurasakan, kulihat Mas Ahmad serius bercerita dan ibu hanya menangis saja mendengar cerita Mas Ahmad.karna tak enak hati aku menurut saja ketika mas Ahmad memintaku bermalam di rumah ibu, aku mencoba berbaur dengan mereka dan dua orang wanita yang katanya adalah adik-adikku, aku melihat kebahagiaan terpancar dari mata mereka,setidaknya aku lega karna sudah bisa membuat suamiku senang dan kerinduan keluarga ini akan sosok seorang kakak dapat terobati.
Keesok harinya kami berpamitan pulang, Mas Ahmad memberikan amplop yang ku tahu berisi beberapa uang sebagai pemberian kepada orangtuaku dan alamat si mana aku tinggal sekarang sambil berkata.
“ Ibu kami pamit dulu, kalau ada waktu jenguk kami di kampung ya apalagi sebentar lagi Dinda mau maelahirkan”
“ Insyaallah nak, semoga kamu dan bayimu bisa lahir dengan selamat dan dijauhkan dari bahaya”
“Amin, makasih bu doanya kami pamit dulu.”walaupun aku belum ingat semua, tapi ada rasa damai dalam hati.
Aku dan Mas Ahmad pulang ke kampung, di tengah perjalanan mobil yang kami tumpangi di setop kawanan orang aneh, pria itu berusaha mengambil kunci mobil Mas Ahmad, Mas Ahmad melakukan perlawanan sementara itu ada dua pria menariku kesemak-semak. Tiba -tiba aku teringat kejadian di malam itu ketika aku diper... beramai-ramai aku berteriak histeris dan tak sadarkan diri.
Aku mulai terbangun dan menatap seluruh ruangan, kepalaku masih sedikit sakit pelan-pelan aku mengingat kejadian semalam dan aku mulai mencari Mas Ahmad, dari tadi aku tidak melihatnya. Aku berusaha bangun kemudian pintu terbuka Mas Ahmad buru-buru menghampiri,
“ Bunda jangan bangun dulu kamu masih perlu istirahat “
“ Aku ada di mana mas?”
“ Kamu ada si rumah sakit”
“Mas tidak apa-apa kan? “ kemudian aku menangis sambil mendekati mas Ahmad. Kemudian aku menceritakan semua apa yang terjadi. Aku mulai ingat siapa diriku dari mana dan kenapa aku bisa dibuang di tengah perkebunan itu, aku pasrah apapun yang akan Mas Ahmad katakan seandainya dia meninggalkan aku rela.
“ Mas kamu boleh membenci dan meninggalkan aku, karna aku sudah ternoda dan tidak pantas untuk kamu”
“Jangan bilang gitu bunda, apa yang terjadi kamu tetap istriku, ini semua sudah suratan takdir kita hanya menjalani, jadi buanglah pikiran buruk Bunda. Jangan kamu ingat pengalaman pahit hanya akan menambah luka, ingat kamu sedang hamil anak kita, cukup kita saja yang tahu biarlah ini jadi rahasia kita berdua orang lain tak perlu tahu.”
“Tapi aku kotor”.
“Sudah Bun, jangan diungkit lagi, aku menyayangi setulus hatiku bukan masa lalumu tapi demi masa depan kita dan anak kita” Mas Ahmad memeluk erat diriku, aku merasa sangat tenang berada dalam pelukannya. Terima kasih ya Allah kau telah memberiku suami dan imam yang baik, yang mampu membawaku ke jalan yang benar, menolongku dari jurang kehancuran yang kelam.
Empat bulan kemudian aku melahirkan bayi laki-laki yang kami beri nama Yusuf Al Kadafi, kami hidup bahagia kedua orang tuaku sering berkunjung, dan kami berempat sangat harmonis karna mertua ibu yang luar biasa yang selalu membimbing dan menyemangati hari-hariku.
Tentang penulis Titin Ulpianti, sejumlah karyanya berupa puisi dan cerpen pernah diterbitkan di wartalambar.com dan simalaba.com, juga terdapat dalam buku antologi EMBUN PAGI DI LERENG PESAGI, 2017. Hingga saat ini aktif bergiat di KOMSAS Simalaba Lampung Barat |
No comments