HEADLINE

TENTANG SEBATANG POHON _Oleh: Riduan Hamsyah


Aku paham, adik, bahwa suatu saat engkau akan pergi. Membawa masalalumu yang terjaga kesiangan itu, bahkan nyaris kesorean itu. Membawa segala yang pernah kaubakar di sini, di ruang tamu, bahkan di ruang tubuhku. Membawa segala yang tertukar dengan ketidak-pastian, tetapi tak apa, sebab semua itu sudah kuprediksi sejak jauh hari, bahkan sebelum engkau datang ke sini. Ke tanah ini.  Ke jagad entah ini untuk mencatat riwayat sebatang pohon yang menancap di pangkal langit ini, menyelimuti hidupmu yang gersang usai terbakar hari itu.

Ya, langit siang ini juga terbakar, adik! Tidak seperti biasanya. Debu-debu menjemur punggung, pecah di kulit wajah lelaki yang menjadi hamba bagasi, ada siasat mengering, jalanan diterjang roda-roda kendaraan menghitam jadi dentuman kepergian banyak nama yang bertukar tukar dalam ingatan kita bahkan ada yang tak sempat lagi kita ingat sebab hilang terlalu lama.

Aku telah menduga sejak jauh waktu bahwa engkau akan mengutarakan banyak perasaan pada para pendatang dari pulau lain. Pendatang yang menambatkan tali-tali jangkar di pelabuhan menjemput tanah ini setelah meramalkan keteduhan. Sebuah keteduhan dari hutan yang tertidur dari sungai sungai kecil sembunyi dari kicauan gelatik dari desir angin pengelana dari rimbun sebatang pohon yang telah kita lupakan riwayatnya. Engkau akan menemui jagad yang ditumbuhi banyak semak. Duri duri menancap di seberang pandangan menunggu dengan bahasanya yang lain, yang dingin, bahkan dengan seringai dendam, sebab rasa sakit yang begitu lama mengintai dari balik jubah nasib, (menurutnya) nasiblah yang lebih paham meramal ujung dari sebuah pertaruhan.

Tentang sebatang pohon, yang pernah hinggap dalam pikiran kita. Menghantui kita. Mengalirkan sungai sungai kecil di sepanjang kulit kita, ia, adalah juga seperangkat kekecewaan yang telah kita rubah bentuknya. Merupa pencarian yang retak. Observasi yang kerab gagal tetapi membawa pengaruh yang begitu tajam, meracuni tubuh, urat urat pembuluh, sepasang mata lusuh usai menghapal begitu banyak nama. Banyak peristiwa dan segala bentuk lekuk hingga terkutuk, menguap dan lenyap, sebelum kembali memagari jagad ini dengan selaksa tikungan dengan ruh sebuah pengelanaan.

Tentang sebatang pohon, biarkan ia menghuni jagad ini dengan segala perasaannya yang tertikam dengan akar-akarnya yang tenggelam sebab sangat mustahil kita kembalikan hakikatnya sebagai kembara yang melihat jagad seperti tatapan dahan dahan. Biarkan ia selimuti tubuhnya dengan kulit bumi, ruh tanah, atau sekawanan angin yang tak pernah memiliki rumah. Seperti perjalanan kata kata menuju puisi dengan segala getar yang menyala di sekujur dada berloncatan makna makna ketakutan ini menjadi sepi yang meledak, pecah, menguap bersenyawa dengan segala hasrat ganjil hingga kita terkutuk dan tersesat di rimba raya bentuk. Sebab, aku telah meramal itu, sejak jauh waktu bahwa engkau akan pergi setelah khatam melapalkan kalimat gaib yang begitu meracuni kita dengan segala senyawanya. Menyentuh udara. Melipat lipat kenangan ke dalam kantung ingatan dan debu debu menjemur punggung di terik siang kita memang mengakui bila pernah merasakan sama sama terbakar, adik, sebelum sama sama merasakan banyak kehilangan banyak kepergian yang tak pernah menjanjikan kalimat pulang.

Tentang sebatang pohon yang pernah kita rasakan tumbuh dalam pikiran kita di sekujur daun tercatat pula sejarah langit yang berkeping keping jatuh ke tanah. Luruh seperti selembar daun yang sejak dulu tunduk pada waktu. Pada saat saat ia akan dihentikan oleh sebuah bahasa diam yang selalu sembunyi di balik kalimat sepi. Dan, sebenarnya, sepi ini adalah siasat untuk menunda kita luka lebih dalam lagi, wahai, adik! Maka aku mungkin sudah paham bila dirimu suatu saat akan pergi dari semua yang pernah kita ceritakan menjadi sosok di seberang pulau menancapkan sebatang pohon yang akar akarnya akan merenangi pikiranmu. Menemui banyak nama dalam waktu waktu. Merasakan banyak kehilangan, meski akhirnya berusaha untuk kau sembunyikan.

Banten, 28032018

Tentang Penulis

Riduan Hamsyah, penikmat seni. Ia hobby mancing di laut serta membuat konten video perjalanan.


No comments