TARIAN LAUT _Sajak-sajak Diah Febriani
TARIAN LAUT
Dan, setelah ombak itu pergi
bibir pantai mendung
entah sudah berapa kali
menghitung desiran
yang bermain pasir
tetap saja rindu
menjadi setumpuk penantian.
Ya,
harapan tarian laut itu
muncul lagi
kemudian camar berteriak,
kirimkan rindu
isyaratnya mencumbui senja
erat pecahkan sunyi
hingga pagi menukar lamunan.
Lampung Barat, 08 Februari 2018
PEREMPUAN SUNYI
Perempuan itu hanya terdiam
menghitung rintik sepanjang hujan
ia menumpahkan kuyup
pada tungku di pojok dapur
tangannya terkadang menari
bersama asap dari sebuah tungku tua.
Banyak wajah melintasi matanya
lalu bayangan itu pergi melewati tempayan retak
menuruni anak tangga hingga bibir sungai.
Gelisah!
Ya, hatinya gelisah
sebab gerimis telah menghapus jejak-jejak jenaka yang pernah ia peluk di depan rumah.
Selaksa rasa kian menyeruak hingga sesak
mengganjal setiap hela nafas
dan bibirnya gemetar
merapalkan mantra ganjil kehidupan.
Sebelum api tungku padam perlahan
hingga kesunyian semakin diam
ia kembali menghitung rintik yang kian basahi rambut dan usianya
sebab bau kemewahan hanya di ruang mimpi
Mimpi dari bujukkan amben
yang setiap pagi menambah garis retak,
dimamah usia.
Lampung Barat, 02 Februari 2018
MENGEMASI PAGI
Masih terlalu pagi
untuk kita memetik ranumnya cheri
lantas,
mengapa kita terburu-buru mengemasi resah
kemudian mengusir bayangan
yang sejak kemarin berdiri
enggan menukar kepergian.
Kembalilah!
Di sini ada rindu
kita berlindung di dahan yang sama
walau tak sedikit
ranting berjatuhan
selalu kita selaraskan iramanya.
Kapan lagi kita bersandar pada pohon itu?
berlindap dari tumpah hujan
langit yang kita kagumi
dan kita nikmati
ketika gelas sudah penuh warna bibirku
lantas pudar olehmu.
Ya,
ini masih terlalu pagi
tetapi
cahayaNya menjemputmu
menyandarkan pada nisan kedamaian
sementara aku di sini
bercengkrama dengan dingin
sepinya menusuk gelisah
menguliti sekujur duka
yang tak henti berkelana.
Lampung Barat, 20 Februari 2018
LELAKI MENUNGGU MUSIM
Pagi itu, embun masih bersembunyi di balik dedaunan
kicau burung bersahutan dari ranting ke ranting
narasikan gejolak hati lelaki tua di lereng Pesagi.
Matanya menatap redup pada hamparan rumput dan semak
jarinya menuliskan kegelisahan pada selembar nasib
karena dari balik jendela, biji-biji kalender berjatuhan
membuat secangkir kopi terasa hambar di bibirnya.
Sepasang mata memandangi luka pada sekujur kaki
yang acap kali tergelincir dalam mengitari musim demi musim
ada sesak menyeruak di dadanya
karena angka-angka ganjil selalu usil
penuhi kepala dan hatinya.
Lampung Barat, 28 Maret 2018
LURUH
Karya Diah Febriani
Mengapa tak kau pahami kebungkaman ini
tak baik memaksamu merindu
sebab, sejak kemarin rindu sudah mereda sendiri.
Lampung barat, 01 April 2018
LERENG YANG KUCURANGI
Aku tak pernah mencumbu bunga kopi ketika hujan
apalagi ketika muncul derai yang kutakutkan
sebaik mungkin aku titipkan di sarangnya
ya, di sana,
di kaki bukit barisan,
agar ia berteman dengan damar
yang hampir tak bertuan.
Tiada tersirat di benak ini
mengitari lereng bukit
namun meniti kalimat, rayu, mendayu
adalah keharusan
dari pengabdian yang tak bisa kulerai lagi.
Lampung Barat, 02 April 2018
Tentang penulis
Diah Febriani lahir di Lampung Barat, 7 Februari 1985. Menyukai puisi sejak masih sekolah dasar (SD) bergabung di Komunitas Sasta Silaturahmi Masyarakat Lampung Barat (KOMSAS SIMALABA), saat ini ia tengah mengikuti kelas menulis online Simalaba angkatan 2
No comments