HEADLINE

PUISI PUISI AAN HIDAYAT (Lampung Barat)_Senyumu Yang Pergi

Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)


PUISI PUISI AAN HIDAYAT


GEMURUH PERTIKAIAN 

Kita bertengkar lagi
dan muntahkan gemuruh berkecamuk
namun biarlah, yang terjadi terjadilah.

Aku merasa lebih nyaman hari ini
setelah kulepaskan kalimat itu kepadamu
seperti petir yang menyambar
dan menghancurkan segalanya.

Dan biarkan aku menjadi seperti ini.
Menjadi panas bergolak membinasakan
hingga raut angkuh wajahmu terdiam
mencari kepingan nasibmu sendiri.

Akan kulepaskan kecemasan
yang pernah melahirkan kita
dari rahim yang sejatinya sama.
Dan kita sama sama pernah berbaring pada ranjang yang satu.

Mungkin engkau
belum sepenuhnya dapat
menerima
prinsip yang kau anggap terlalu aneh
pada bumi kehidupanku.

Maka biarkanlah semua teka teki ini
terjawab sendiri
dan biarkan aku menjadi angin ataupun petir
berjalan sendiri memaknai hakikat perjalanan hidupku.

Lampung Barat, 23 November 2017


NOVEMBER YANG TERLUKA 

Aku masih menunggumu
di antara rinai hujan November
meski luka itu kian menganga
bernanah dalam ceruk yang terdalam.

Dan aku tetap setia menunggumu
walau dera itu kutanggung sendiri
tanpa sapa dan hadirmu tuk menyeka lukaku.

Lalu lihatlah lebih dalam, di lubuk mataku
ada resah bersemayam di sana
bermukim hingga musim demi musim berlalu.

Dan aku tetap menantimu
hingga ribuan November berlalu
bahkan sampai wajah ini tak kau kenali
lalu rindu ini tersungkur di bawah Kamboja.

Lampung Barat, 23 November 2017.


RUPA RINDU 

Aku ingin memelukmu sekali lagi
dengan rasa yang masih tertinggal.
Meski telah kau pukul dada ini berkali kali hingga lebam.

Aku ingin menciummu
dengan rupa rindu yang tersisa
sebelum ia padam
dan kita sama sama bisu di tepian senja.

Lampung Barat, 23 November 2017.

SAJAK RESAH

Kita pernah duduk bersama
membicarakan rasa dingin
tentang bait-bait puisi
dan sejumlah seandainya.

Aku, kamu, adalah kita yang temaram.
Sesekali tersenyum dan melirik cahaya lilin
ada rindu yang kian ganjen pada kedua mata
namun enggan mengutarakannya pada sepenggal diam.

Mungkin, kita adalah takdir dari puisi
meski masih malu bertemu pada bait-bait ganjil yang berkeliaran.

Kekasih, kita masih di sini
merindukan rinai hujan yang sama
berbincang tentang sajak, tentang resah
melewati malam yang dingin dengan goresan tinta yang terkadang gila.

Lampung Barat, 22 November 2017

SENYUMMU YANG PERGI 

Pagi itu aku mengenalmu
dengan wajah penuh senyum
lalu kita berjalan menyusuri peta
yang gambarnya terkadang samar.
Demi rasa letihmu kita berhenti di tepian perigi.

Tiada terasa hari-hari berlalu
meninggalkan sebagian senyum antara kita
karena kabut tebal menutupi jalanan setapak.

Masih kuingat jejak kaki kita yang terkadang hitam dan lebam
namun entah mengapa
bayangmu perlahan lindap, meninggalkan pijar bintang.

Kawan ...

Malam ini aku tanpamu
menghitung bintang yang pernah kita lukis wajahnya pada secangkir kopi.

Dan bibirmu tak lagi tersenyum
pergi berkelana entah kemana
menjauhi wajahku yang berawan.

Lampung Barat, 19 November 2017.


Tentang penulis

Aan Hidayat adalah seorang wiraswasta mebel di pekon Gunung Sugih, Kecamatan Balik Bukit Liwa Lampung Barat, dia juga intens mencurahkan kegelisahan hatinya melalui puisi, karya- karyanya diterbitkan di www.wartalambar.com dan sejumlah Antolog


klik juga PUISI PUISI NANANG R (Lampung Barat)_Tunas Dari Tubuh Yang Sama

tonton Film Puisi_SEMBARI MENURUNKAN HUJAN_Karya Ivan Aulia R

PUISI PUISI SUGIHARTONO (Semarang)_Sebutir Padi

No comments