HEADLINE

Puisi Puisi Farhan Al Fuadi _SENJA MERAH DI LANGIT SUROSOWAN

Redaksi menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)



SENJA MERAH DI LANGIT SUROSOWAN
: elegi

(Riwayatmu mengalir sepanjang masa.
Di sini, aku hilang jejak.
Kecuali :Watu Gilang dan Singayaksa)

Kisahmu misteri
diselubung puing-puing sejarah
berserakan di halaman rumahmu yang reruntuhan
dan kau menjadi maya.

Di museum,
kubaca banyak catatan purba
tetinggalmu sebelum jingga
di langit merah saga,
jejakmu semakin tak terbaca
saat malam tiba padaku
mengembunkan
puing-puing kejayaanmu
yangkutafsir warna merah saga itu,
dan kau tinggal bayang-bayang semu
di bawah langit Surosowan yang mengungu.
Lantas aku hilang jejak.

Watu Gilang dan Singayaksa
menandai jejak kakimu
menggarami lautan
yang menaklukan banyak pertempuran,
masih membaca kisahmu
di sudut alun-alun kotamu.
Dan. Aku ingin menghabiskan separuh waktu
mencatat berbagai irama kisahmu
sebagai raja
negeri lautan
yang melabuhkan banyak harapan
dan melautkan seribu mimpi
di atas batu dan karang.

Tapi. Aku hilang jejak
sebelum rampung seluruh kisahmu
kutulis dalam lembaran kertas,
kau tetap misteri
di balik senja merah saga.

Pasir Mucis, 15 Oktober 2017

SUNYARAGI

kita menjadi siang
berjingkat di atas bayang-bayang
menyusuri banyak lorong
di taman yang tumbuh dari karang,
Sunyaragi.*
kita sampai di mulut Goa Peteng*
menuruni banyak anak tangga
mentasrif riwayat Arya Caruban* yang mencari terang
dalam gulita batin. Kita renggang masa lalu
sebelum matahari rebah petang
sunyi merambati jiwa, kita remang;
“perjalanan kita sampai di sini?”
(saat kau lirihkan resah pada dinding buntang kerang,
aku tiba pada hening)
lalu jemarimu lepas genggam tanganku
kau pun menghilang
ke balik karang
menuju laut memungut pasir dan pecahan kerang
kau bawa pulang
bersama gulungan lontar sajak-sajakku mengenang
perjalanan kita ke kota-kota lama
aku bubuhkan cerita itu pada pasasti purba
yang kau dapati di sudut museum
atau altar Langgeng,* di sanalah kuheningkan sajak-sajak.
Suatu ketika mungkin kau kunjungi kembali sisa jejak
terkenang.
Kau dapati aku dalam upacara raja-raja, iring-iringan
permaisuri, arak-arakan dayang ke taman Cendrasengkala*
dan sajak-sajaku dalam lirih tembang Gonjing*
dan Kembang Sungsang,* maka kau pun
menaridengan wajah Gandasari,*
kau temui aku begitu sunyi di dasar danau Jati*
yang mengering.
“Kita sudahi kisah ini di depan arca Perawan Sunti*?”
Kau pun sunyi
Dan aku tiba pada hening
Sebelum menempuh petang.

Serang, 03 September 2017


Catatan:

Sunyaragi : Salah satu objek wisata sejarah di Cirebon berupa taman kota purbakala.
Goa Peteng : Salah satu nama goa di bagian tengah taman tempat para 
Sultan bersemadi
Arya Caruban : Diakui sebagai Raja Cirebon yang mendirikan Sunyaragi di abad 18
Langgeng : Nama salah satu goa di komplek Sunyaragi, GoaKalanggengan, yang 
digunakan tempat semadi mengasah kedigjayaan para sultan. Juga menyimpan mitos dapat melanggengkan perkawinan.
Cendrasengkal : Nama taman hijau di dalam komplek Sunyaragi disebut juga taman 
obahing bumi
Gonjing : Salah satu jenis lagi yang mengiringi tari topeng Cirebon
Kembangsungsang : Jenis lagu lainnya pengiring tari topeng
Gandasari : Dipercaya penari topeng pilihan Sunan Gunung Jati untuk meluluhkan 
penguasa Pakuan sebelum Islam
Perawan Sunti : Patung di depan Goa Peteng, yang menyimpan mitos dapat 
menggugurkan cinta atau jodoh


KITA BERJALAN SEPANJANG PANTAI MATAHARI

mari kita habiskan waktu bersama anak kita
di tepi Pantai Matahari,
pada akar Ketapang yang mulai kering
aku sengaja membiarkanmu
melepas tatap mata ke lautan luas
sementara,kuajak anak kita mengejar ombak
mengenalkan kepadanya luas kehidupan
bergulung-gulung sementara waktu tiba dan pergi
ketepi pantai
‘‘ah, anak kita masih takut kepada ombak laut rupanya.’’
atau belum waktunya memahami lautan hidup
yangamat luas, setidaknya kita sudah kenalkan kepadanya
bau asin dan debur ombak yang menyalami pantai:
mempertemukandaratan.

kita berjalan menyusuri pantai,
sesekali kita saling melempar tawa,
bersejingkat di antara debur ombak yang memutihkan
buliran pasirdi kaki anak kita
memunguti buntang kerang
: menjumlah usia.
‘‘terlalu dini baginya mengerti makna laut’’ katamu
berguntai di lenganku.

pada telapak kaki kita ada garam laut yang bau asin,
biarkan,
mengkarat bersama kulit
meresap sampai ke tulang.

dari asin laut itulah
suatu ketika anak kita akan belajar hidup :
ada kisah cinta yang selalu lepas ke tengah lautan,
mendamaikan perbedaan.

nanti anak kita tumbuh dewasa
mengerti pahitnya garamkehidupan,
dan gamang debur ombaknya yang menyalami usia:
cintalah yang mendamaikan keriuhan.


Serang, 5 Oktober 2017


DI TEPI PANTAI

Pantailah yang mempertemukan ombak dengan pesisir
dan asin laut dengan pasir.
Sebagaimana kita jumpai senja pada punggung laut,
di pantai jualah itu –


Jutaan anak menanti matahari
meranum pada esok pagi,
sebelum embun sisa malam di pucuk-pucuk ilalang
menguapkan mimpi;
menanti ayah menuntunmayang
labuhkan jaring-jaring ikan,
dan mengentalkan garam laut
pada keringat sebening kristal.

Sebagaimana kita jumpai senja di punggung laut
asin garam mengental pada mata anak-anak nelayan
dan mimpi bersarang di jala ayah.
Sebelum tiba di pesisir, pasir pun belum berasa asin
sampai keringat ayah menetes;
di pantai jualah itu.

Di pantai itu pula asin garam menakar nasib
yang tiba di pesisir
sebelum matahari menguapkan embun sisa malam
yangmembekukan mimpi-mimpi
menjadi ikan menjaring senja.

Dan anak-anak menggantikan ayahnya menuntun mayang.
Begitulah nasib di mata nelayan bergulung bersama ombak
menepi dan menjauh dari pasir,
hampir tidak ada lingkaran pelangi di bening garam
kecuali asin keringat
yang tak pernah menguap.
Sore hari ayah melarung mayang,
di pagi hari anak menuntun mayang melabuh mimpi
seasin garam,
sampai senja di punggung laut :
maka lihatlah!


Serang, 16 Oktober 2017


AKHIR DESEMBER

Seperti biasa,
kita tutup almanak
tahun ini
dengan hujan
menari-menari di bibir genting.

Atap rumah kita
genting seng;
kalau hujan
sudah pasti riuh
digenderang telinga:
kadang,
anak kita ketakutan.

Begitu juga rasa takut
orang-orang yang tinggal
di tanah rawan banjir.
Aku memang sering khutbahkan,
sebagaimana kubaca:
hujan itu rahmat
yang harus disyukuri.

Tapi, bagaimana
dengan riuh berita
televisi dan surat kabar?
di sana ada banjir,
di situ ada banjir,
di hampir semua halaman
berita banjir
riuhkan percakapan;
sejenak kalau kau
hidangkan kopi
atau teh manis
agar riuh di kepalaku
reda sejenak,
itu lebih baik.

Sebelum kau beranjak
aku hanya ingin ingatkan,
biasanya pada lorong
menuju dapur,
ada genting bocor
lantainya biasa banjir;
untungnya tidak sampai
ke tempat tidur.

Di tempat tidur itulah
aku bisa lupakan
segala riuh:
soal banjir
yang menjadi politik bandang,
soal bocor
di atap anggaran negara
dilubangi korupsi,
termasuk soal
hukum negeri kita
yang akrab dengan pelicin.

Apalagi ini akhir tahun,
untungnya rumah tangga kita
bukan lembaga negara

yang sibuk habiskan anggaran
dengan berbagai macam acara;
cukup bagiku teh manis hangat
setiap pagi
menandakan
hidup kita normal.

Serang, 17 Desember 2017.


SAYANG KAU TAK DI SANA

sayangnya kau tak di sana,
di tepi pantai Lagundi,
mengiringi anak kita
mengenal debur ombak
“sekarang dia tidak takut ombak lagi!”
menjadi lelaki,
digulung ombak
dan bergelinding
menjadi pasir;
kau pasti histeris
jika di sana
di tepi pantai Lagundi.

sayangnya kau tak di sana,
saat anak kita bertarung dengan ombak,
mencicip asin laut,
dan perih rasa pasir.
“seharusnya kau tidak lepas dia sendiri!”
di sana, kau mencaci semau jadi.
aku hanya ingin dia tahu
laut yang ditemuinya
gambar lelaki.
ada saja gelombang
pasang surut
yang mencuri kakinya,

menjatuhkan
dan membuatnya bergelinding
seperti pasir
mencicip garam hidup
dan pasir nasib.

sayangnya kau tak di sana
saat aku mengenalkan kehidupan yang menjadi laut.

Carita, 29 Desember 2017.


SEPERTI LEBARAN

Benar kata orang, waktu terus berjalan, lain zaman lain budaya, lain budaya lain otak manusianya. Melepas malam akhir tahun, orang dengan suka ria berhambur ke luar rumah, memadati jalan raya, derum mesin menjerit-jerit membangunkan segala sunyi yang menyelinap ke bilik-bilik kamar. “Malam ini kita rayakan tahun baru dengan terompet dan petasan yang menghujani langit.” Kata mereka sambil bersemangat.

Tempat-tempat hiburan ramai dipadati turis, orang kota dan orang desa berwajah sama. Mungkin sebenarnya ini yang disebut kesenjangan budaya. Orang desa tidak kesampaian hidup di kota, meniru orang kota. Orang kota penasaran dengan kepolosan desa, mencari jalan pulang ke desa. Di malam tahun baru ini mereka sama-sama menembak kembang api meniup terompet.

Pergantian tahun ini seperti lebaran bersama. Hilang segala batasan, bias segala perbedaan. Orang tidak lagi ingat mana budaya asing mana budaya sendiri, karena semua sudah menjadi orang asing.

Benar kata orang lain zaman lain otak manusianya. Lain otak manusia, lain budayanya. Lain budayanya lain pula lebarannya. Semua campur aduk seperti es kopyor.

Serang, 31 Desember 2017.

No comments