TENTANG RASA KANGEN PADA SESEORANG _Oleh R. Hamsyah
Bagaimana caramu mengutarakan rasa kangen pada seseorang, Silvy? Saat bulan patah, cahayanya pucat, seperti seorang lelaki susut dari panggung usai jiwanya guncang atas beberapa potongan kalimat ragu yang dipaksa meletup jadi puisi puisi debu.
Bulan. Meski gagal memurnama warnanya memantul di kelam jiwamu. Menguas sebuah bayangan dahan yang mengeras di kegelapan. Tak ada gerak tarian kekunang yang ganjen memeriksa lengang nyangkut di pepucuk ilalang, atau angin tersesat di helai rambut memberi ruh percintaan yang pernah meracuni kita begitu lama. Meracuni seluruh pembuluh dengan denyar pelahan hingga kesumat di hulu tubuh berenang mengitari wajahmu yang merah jambu. Mencekam. Dan, bungkam.
Silvy, kita ini siasat yang siasia! Tugu-tugu lapuk yang disesaki kotoran cicak.
Begitu juga saat selaksa perasaan yang masih saja kusembunyikan berdenyar agar memar ditampar belukar sajak sajak sesak sebab aku senantiasa lupa dimana sempat menaruh cuaca. Bersinergi dengan semua itu semua, Silvy, bagaimanakah semestinya dirimu mengutarakan rasa kangen pada seseorang saat ia tak pernah lagi ada. Bayangannya pecah di kejauhan diangkut berpasang pasang kunang kunang menuju berbagai penjuru bumi yang hambar ini bersenyawa dengan segala elemen waktu kemudian hanyut dalam ingatan kita yang aus pelan pelan. Punggung jagad ini menipis pula menjadi ranah kita untuk saling memahami satu sama lain, atau merenangkan rasa dingin di sungai sungai hangat yang pernah engkau gambar dahulu, di seluruh pelosok tubuhku. Ketika itu aku pecah berantakan, Silvy. Kata kataku mati suri ditiadakan oleh detak jantungmu bagian hulu, mengombak lambung perahu hingga jangkar yang terbuat dari tulang belulang hidup itu terjun ke dasar kedalaman, tersangkut di batu batu.
Malam sakit. Bulan tua terluka.
Tetapi, sebenarnya, seperti apakah dirimu mengutarakan rasa kangen pada seseorang? Setelah jalanan lengang ditinggalkan berpuluh puluh tikungan ke sebuah tempat sembunyi untuk merencanakan kudeta terhadap tatapan ganjen yang membuat aku senantiasa terdesak ke sebuah tempat laknat. Melengkapi pikiran pikiran gimbal sulit diluruskan dalam setiap percakapan kita yang tak kunjung bersuara. Sesekali aku mencuri itu, Silvy. Pandangan ke arah wajahmu yang merah jambu itu. Yang telah selesai menampung ribuan pasang pandangan. Mengelana dalam banyak catatan dan halusinasi seseorang atau berorang orang tentang derasnya terjangan seseuatu di seluruh pembuluh, urat urat tubuh, juga ruh tempat segala tumpuan bertumpu sabil membuncah debu debu.
Malam ngilu, bulan hampir saja layu, Slivy. Aku paham, bila sebenarnya dirimu telah habis. Diangkut pelayaran ke tengah kecipak ombak untuk memeriksa lekuk gelombang, cuaca yang dimuntahkan ke dalam ceruk jiwa pengelana dan aku sangat paham betapa derasnya kemelut menyulut perseteruan antara langit dan segenab penghuninya hingga puncak sebuah gunung rengkah, terbelah ke dalam nuansa perempuanmu, menyimpan begitu banyak peta pelayaran itu. Tetapi ini hanya sebuah hasrat saja, tentunya. Selebihnya adalah guratan nasib yang jumpalitan di sudut masing masing, melesat dalam remang pikiran yang terbakar. Maka, katakanlah, seperti apa dirimu mengirim rasa kangen pada seseorang ketika seorang itu tak lagi dapat menemukan bayangan wajahmu yang merah jambu, itu, Silvy!
No comments