HEADLINE

Edisi Sabtu, 19 Agustus 2017_ PUISI PUISI FARHAN AL FUADI (Serang-Banten)

Dari Redaksi:
Kirim Puisi, Esai, Cerpen, Cersing (Cerita Singkat) untuk kami Siarkan setiap hari ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com beri subjek_LEMBAR KARYA HARIAN MAJALAH SIMALABA





PUISI PUISI FARHAN AL FUADI



DI PUNCAK BUKIT INI KUCIUM KEMATIAN


Di puncak bukit ini, aroma kematian 
bercampur bau bambu. Daun-daun warna tanah, 
dengan santun berpisah dari ranting-rantingnya.
Melayang ditiup angin yang mengalun
“Basah! Basah!” tebing-tebing bercadas
menanti gerimis mengurai musim.

Jalan yang kudaki berkelok-kelok
menuju puncak, di ujung jalan itu
aku berdiri menatap kematian begitu dekat.
Sampai di sana, tak kudapati
beda antara liang lahad dan mihrab masjid.
Seperti juga tak bisa ku pisahkan 
antara irisan air mata dan gerimis.

Seperti musim di bukit ini yang selalu rahasia.
Ada kalanya kemarau ada juga hujan.
Kematian datang selalu tak terduga.
Dan. Tuhan cukup meniupkan angin ke hidungmu.
“Basah! Basah!” ketika musim mengurai gerimis
di bukit ini, kematian aroma bunga tujuh rupa. 
 
Serang, 10 Agustus 2017



SUATU KETIKA DI ALUN-ALUN KOTAMU

Suatu ketika, kita bicara tentang matahari
Setengah senja, dan alun-alun kotamu
Separuh hutan.

Aku selalu berusaha
Membaca cuaca pada bola matamu
Dan maya kesunyian
Rimba di matamu.
Aku pun lupa jalan pulang.

Suatu ketika, kita bicara tentang matahari
Dan suaca di matamu mengiris bunga gerimis.
Aku semakin sulit memahami lika-liku hatimu

Suatu ketika kita bicara tentang matahari
Dan alun-alun kotamu yang rimba 
Penuh liku urat matamu. 
Di ujung senja ini
Aku tersesat di bola matamu

Carita, Juli 2017.




NUSANTARAKU

di puncak keheninganku, doa-doa mengalir menyusuri parit-parit
membasahi sawah dan ladang, menuju sungai 
serupa naga yang melilit kota.
mencatat sejarah dalam museum-museum.
peta-peta robek yang bergantung di dinding.

sampai di muara yang payau, doa-doa menjelma ikan-ikan kecil
mengarungi lautan dan samudra. 
mengejar senja yang santun menutup siang di ufuk paling barat
negeri ini, benggala* yang tumbuh di atas batu-batu. 

tempat kapal-kapal asing bertambat
di kota yang merahimi rumah-rumah karang rupa warna.
bukit-bukit yang hijau, danau, hutan.
tiba-tiba rembulan membawa doa-doaku terbang
menjaga malam, menembus sunyi, membelah langit.

menjemput matahari di pantai lampu satu*
tempat para nelayan menggantungkan segala harapan
pada perahu-perahu yang mereka buat dengan peluh dan tetes keringat.
demi nafas yang mengalir pada ikan-ikan pelangi* 
di teluk argumi kaimana.

di danau biru, doa-doaku merupa cenderawasih
terbang menembus gugusan hutan yang hijau pekat, lautan yang ungu, 
melintasi pulau-pulau yang menyimpan banyak luka.
melarung di lautan yang menjaga mutiara 
dengan mantra-mantra tambaroro.*

sampai di musim semi, bulan-bulan suci yang sepi,
nyale* mengulum bibir perempuan yang dirasuki arwah marapu,*
“da mapa turukungu lii da-da ma paragapangu pekada”* dialah yang dipertuan
di rumah-rumah kudus. di tanah sumba damar wulan mencari kesetiaan para lelaki.

mangkubumi mencari kesetiaan di jantung wirosuto. 
gajah mada memilih tapabarata 
karena cinta pitaloka yang meneguk racun. roro jonggrang yang dikutuki cinta jadi batu, dayang sumbi menjadi bunga. dan. doa-doaku menjadi angker ketika sampai di tanah bubat. di sini kesetiaan dan harga diri pernah diperjuangkan sampai darah habis menetes.

demi masa depan yang ranum untuk anak-anak yang masih merah.
doa-doaku menjelma peta melukis pulau-pulau yang hijau
sumatra, kalimantan, jawa, bali, sumba, pulau-pulau timor, maluku, irian.
terikat dalam satu bangsa : nusantara.

Serang, 11 Agustus 2017.





Catatan :
*Benggala : Pulau paling barat Indonesia di wilayah Sabang-Aceh.
*Lampu satu : Salah satu pantai di Merauke
*Ikan pelangi : Ikan langka yang ditemukan berhabitat di teluk Argumi-
   Kaimana-Papua
*Tambaroro : Upacara adat untuk penghormatan kepada laut di 
   kepulauan Aru-Maluku.
*Nyale : Cacing laut yang biasa muncul antara musim kemarau 
   dan hujan
*Merapu :  Kepercayaan kepada leluhur di kalangan masarakat 
   sumbawa
*“da mapa turukungu lii da-da ma paragapangu pekada” bahasa sumbawa roh leluhur yang dekat dengan Tuhan dan perkataannya didengar Tuhan.


Tentang Penulis: Farhan al Fuadi, pegiat sastra lulusan KMI Ponpes Modern Daar el-Istiqomah, Serang, melanjutkan studi di jurusan Filsafat Agama UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, serang. Sekarang sedang bergiat di Yayasan Bhakti Banten sebagai guru relawan dan asisten peneliti bidang sejarah dan kebudayaan Banten serta sebagai Anggota Komunitas Sastra Gunung Karang Pandeglang. Pernah mengasuh majalah sastra Pena Santri-Pandeglang. Aktif menulis buku-buku sejarah ke-Banten-an, pernah menjadi kontributor untuk Ensiklopedi Tokoh Pemuka Agama Litbang Kemenag RI, 2016, Biografi Ulama Banten (Budpar, 2014), Biografi K.H. Brigjen Sjam’un (Budpar, 2015), Prosofografi Syekh Nawawi al-Bantani (Budpar, 2014). Karya sastranya kerap muncul di Majalah Pena Santri, Majalah Mutiara Banten, dan pernah muncul di Sabili, Tasbih Bulan Purnama dan Upacara Setengah Tiang (2008). Cerpennya berjudul Riwayat Hujan pernah direalis di Majalah Mutiara Banten. Sekarang tengah mempersiapkan antologi puisinya berjudul 1000 Purnama.

No comments