Edisi Rabu, 06 September 2017_ CERMIN ENDANG A (Jakarta)_DI GERBANG KERETA
Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen, Cersing (Cerita Singkat) untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE MAJALAH SIMALABA
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)
Cerita Mini Endang A
DI GERBANG KERETA
Di ujung sisa malam aku menangis, menantikannya adalah kesiasiaan waktu yang melelahkan, pijakan kakiku semakin tiris manakala ribuan tawa tampak oleh mataku di ujung penantian hari tanpa ada napasmu terdeteksi.
Masih kutunggu, sebab matahari belum menampakkan diri. Aku masih berharap pada bibir trotoar, wajahmu datang menghadirkan kisah selanjutnya.
Sampai matahari tinggi dan membakar kulitku, kau masih belum mengisi senyumku. Entahlah mengapa air mata ini segera datang, membuat ribuan mata iba pada nasibku. Lalu aku pulang dengan sayatan hati sehalus debu.
"Mak aku lapar, ada sisa makanan basi gak?" kataku dengan nada melemah.
"Ada apa? Mengapa tampangmu sangat lusuh? Di mana Hadi?" Emak bertanya sambil memberikan aku sepiring nasi."
"Dia sudah mati."
"Maksudmu?"
Kemudian terdengar suara ponsel, mengabarkan bahwa Hadi Surakarta Diningrat sedang melangsungkan pernikahan yang sangat megah di sebuah gedung terelit di kota. Emak jatuh pingsan sedangkan aku menjadi gila untuk sesaat.
Harta telah memisahkan aliran napas cintaku, sekejap jantungku melemah, dokter membawaku ke dalam ruangan yang paling kubenci, sebab di sanalah sarang nyawa-nyawa tumbang.
Entahlah, nadi ini tak mau bergerak sesuai harapan ibu, selalu membuat rasa cemas hadir dan melahirkan gerimis mengisi ruangan.
Emak mencoba menelpon mas Hadi, namun hingga operasi selesai belum juga dia hadir melihat tubuhku.
Lama tubuhku menjadi patung yang bernapas karena janji pada Emak. Sampai suatu hari kehadiran mas Decah membelah sepi di ujung senja yang hampir membuat jiwaku gila, masuk ke dalam catatan Rsj.
Cintanya membawaku melupakan kisah yang terlalu tragis untuk di sebutkan dalam kalimat keindahan, sebab dia penghancurnya sebuah harapan.
Kami sepakat untuk menikah. Semuanya sudah sempurna, hiasan yang indah, panggung yang megah dan tentunya dirimu yang paling terindah di antara jejak langkah yang kupetik.
Ijab qabul sudah selesai, dan buku nikah sudah terpaket, namun tiba-tiba sebuah peluru nyasar ke dalam tubuhmu, darah membuncah dan di pangkuanku kau hembuskan napas terakhirmu.
"Emakkkkkkk ....!"
Tangisku pecah lebih deras dari kemarin, dan lebih memilukan dari penantian hampa dulu.
Ya Allah aku jagi gila, aku gila dalam menata hidup, baru kemarin bahagia itu terbentuk dan kusesap, namun kini aku menjadi janda yang masih gadis.
"Bagaimana sebutanku nanti Emak?"
"Emak tidak tahu rahasia apa yang Allah ciptakan untukmu esok, anakku sayang, bersabarlah!"
Aku hanya melongo bodoh di emperan jalan ibu kota.
"Suamiku sudah terbungkus bumi, Ayah. Di nisanmu aku mengadukan segala rasaku. Air mata ini tak ingin kupersembahkan untuk kehilangan, namun terjatuh tanpa bisa aku mengelak. Ayah, aku masih gadis tetapi dalam surat tertera janda, mereka mengolok-olokku seolah akulah penyebab rutinitas gerimis ini, ayah. Ibu hanya bisa memelukku, walau hanya ibu tiri namun kasihnya tulus, saat ini dia terkapar ayah, bagaimana jika ibu pergi? Sanggupkah aku menjalani kehidupan? Ayah aku tumbang hari ini. Terlalu banyak rute perjalanan tangis ayah. Sekali lagi aku terjatuh."
Sepulang dari kuburan napas Ibu menghilang, kembali aku memasukki perjalanan kesedihan.
Sedangkah anak-anak Ibu masih terlalu kecil untuk berpisah denganmu, Ibu. Sylvia masih berumur sepuluh tahun, Ferdian berumur lima tahun dan Aurora masih dua tahun, lalu aku menjadi orang tua mereka, penuh ikhlas menjalani semua perjalanan ini.
Pada suatu hari, Istri ayah yang lain datang, membawa dua orang anak, mereka di amanahkan untuk kuurus sebab Ibu tiriku yang ini ingin menikah kembali dan membuang masa lalunya yang berupa anak ke dalam pangkuanku. Walau aku tau anak-anak itu bukanlah keturunan Ayah, sebab Ayah menceraikannya setelah mengetahui perselingkuhannya yang menghasilkan dua anak itu.
Aku menerima mereka, sebab anak-anak itu suci masih berusia dini, mereka tidak tau perjalanan kehidupan yang serupa kepahitan. Semua anak masuk dalam kartu keluarga kecilku, sebab kartu itu lama kedinginan tanpa teman.
Ya Ayah, aku gadis yang bersetatus janda ini melangkah membelah langit menggapai mimpi.
Ayah hari ini suatu kebenaran terungkap tentang mas Hendra. Dia hadir mengisi kehidupanku hanya karena pekerjaan, setelah itu dia mencampakkan aku, Ayah. Untuk kesekian kali dalam gerbong kereta aku meneteskan air mata, sebab pil pahit kehidupan tak pernah jera menghantamku bertubi-tubi.
Ayah, mas Hendra tak mau menerimaku karena anak-anak. Dia bahkan berfikir kalau aku adalah manusia penghibur. Ayah, sesak ini menguliti jiwa, namun taakan mungkin aku berkata prihal rahasia adanya mereka sebab janjiku masih ada dalam lipatan bumi.
Dear anak-anakku sayang, aku tidak akan pernah membuang kalian, walau dunia merejam kepalaku prihal adanya kalian, janjiku pada kehidupan telah menyatu dalam hasratku untuk membuat kalian menjadi manusia yang baik di mata Allah.
Usiaku masih terlalu dini untuk melangkah kedepan, sedang sayapku mengepak lemah, namun senyum anak-anak membuatku lebih bersemangat menghadapi dunia ini.
Jakarta, 1 Agustus 2017.
Tentang Penulis
Endang A, lahir 30 April 1995. Ia suka menulis puisi dari tahun 2016, dan sering mengikuti banyak event pada tahun 2017. Tinggal di jln dukuh 5 rt : 01/06, Jakarta.
No comments