HEADLINE

Cerpen Yulyani Farida (Lampung Barat)_BAHAGIA BERSENANDUNG PERIH

Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)


Cerpen Yulyani Farida

BAHAGIA BERSENANDUNG PERIH


Perubahan sikap yang terjadi pada bundaku dimulai ketika adikku yang lucu dan terkadang nyebelin ini hadir dalam rahim bunda. Kala itu usiaku 5 tahun, tahun ke 2 aku di PAUD ( Pendidikan Anak Usia Dini ). Bunda sering kali memarahiku, hanya gara- gara hal yang kecil. Kata orang- orang itu bawaan dari adik kecil, sehabis dimarahi aku hanya bisa mengadu pada ayah. Ayahlah yang jadi pelindungku dari omelan bunda. Ayah adalah sosok pahlawan bagiku, ayah yang sabar dan baik hati. Ayah segalanya bagiku, Bundapun permata berharga untukku. Meski tanpa lelah dia mengomel setiap hari, tapi aku tetap sayang bunda.

Seiring berjalannya waktu, perut bunda semakin membesar. Tendangan dedek utun terkadang aku rasakan, seneng bahagia bisa merasakannya. Semakin sayang dengan dedek utun, perubahan bentuk tubuh bunda pun makin terlihat, makin gendut dan lucu. Ngegemesin..( hi..hi..hi..) tapi tetap aja bunda masih mengomel padaku. Ada saja kesalahanku yang membuat ia marah, lagi..lagi ayah melindungiku. Menenangkan tangisku di pelukannya, kurasakan damai disini. Ku lihat bunda dengan anak mataku, tampak gurat lelah dan ada rasa sedih dan sesal disana sebab telah memarahiku. Berbisik ku di dalam hati " wo udah maafin bunda, wo tau bunda ga bisa kontrol emosi bunda, meski terkadang wo berfikir bahwa bunda ga sayang lagi sama wo gara dede utun. Tapi wo yakin bunda kan selalu sayang dengan wo juga dede utun".

Tanpa terasa sembilan bulan adikku ini di rahim bunda, dengan sabar ayah selalu mendampingi bunda, membantu sedikit pekerjaan bunda. Hingga suatu ketika menjelang magrib sedang ada tamu ayah mengobrol di ruang tamu bersama bunda dan ayah. Mulai terlihat gelisah di wajah bunda, sesekali ia membetulkan posisi duduknya hingga mengelus perutnya yang membuncit secara lembut dan perlahan. Kemudian berdiri menutup pintu samping, sampai tiba- tiba bunda berteriak.

" ayahhhhhh...! Cepetan kesini !" teriakan bunda yang mengagetkan semua termasuk tamu ayah juga. Dengan sedikit berlari aku dan ayah menghampiri bunda, juga om kawan ayah berlari dari arah samping ikut memastikan keadaan bunda. ku lihat ada genangan air di antara kedua kaki bunda, aku merasa sedikit khawatir terhadap keadaan bunda saat ini. Namun kanak- kanakku tak bisa berfikir jauh. " bunda pipis " pertanyaan seorang gadis kecil berumur lima tahun. Yang hanya dijawab gelengan oleh bunda. Lalu ayah menenangkan bunda dan membantunya tuk duduk meskipun sebenarnya khawatir itu jelas sangat terlihat. 

"Bunda tenang ya, bunda kenapa kok bisa gini" ayah bertanya dengan lembut sembari membersihkan genangan air itu yang belakangan ini ternyata air ketuban bunda yang pecah." coba bunda telpon dulu ibu di kampung, kasih tau gimana keadaan bunda ke mereka". Lanjut ayah

" Iya yah, tolong ambilin hp bunda", pinta bunda pada ayah. Aku hanya meperhatikan apa yang dilakukan kedua orang tuaku yang tersayang. Ayah kembali dari kamar menyerahkan hp ke bunda. Bunda meraihnya dan mulai menekan- nekan nomor di keypad, terdengar nada sambung di ujung telpon.

Tuut..tuut..tuut..lalu terdengar sahutan di ujung sana.

" Hallo, kenapa yul?. Itu suara nenekku di ujung telpon.

Owh..iya aku lupa memperkenalkan namaku juga nama kedua orang tuaku, namaku Aulia Mareta di panggil aulia. Bundaku Yulya ayahku Aril, ( namanya mirip vokalis band ternama ya,..he..he.he..itu ayahku).

" Bu ga tau ini kok tiba - tiba banyak keluar air kek pipis tapi aku ga berasa " jelas bunda ke nenek.

" Trus gimana,ada rasa sakit- sakit atau mulas nggak?" tanya nenek lagi.

" Nggak bu, ga mules juga cuma perutku kadang kenceng banget". Lanjut bunda.

" Ya udah ntar lagi, kami ke rumah" kata nenek.

Setiba nenek beserta kakek juga om dan tante di rumah, nenek langsung membantu bunda membersihkan badan dan mengganti pakaian yang basah. Nenek mempersiapkan segala keperluan bunda, dan ternyata itu tanda - tanda bahwa tak lama lagi dedek utun bakal hadir di rumah ini. "yeeeee...wo mau punya adik.." teriakku girang. Tapi semua orang terlihat khawatir itu bisa di lihat dari raut wajah mereka. Setelah sedikit tenang, ayah berinisiatif tuk menelpon bidan tempat biasa bunda cek up. Memilih kontak yang tertera dan mulai berbicara di telpon, dan inti dari pembicaraan mereka bunda di minta tuk cek up ke klinik. Mungkin 20 menit ayah dan bunda disana, dan ketika sudah sampai di rumah. Ayah bunda bercerita tentang hasil mereka cek up.

" Bu,,( ayah memanggil nenek ) kata bidannya ini yuly ketuban dah pecah, tapi belum ada bukaan sedikitpun jadi di kasih bidan waktu sampai 1 sampai 2 jam, bila belum ada perubahan. Mau tidak mau yuly harus di rawat di rumah sakit. Jadi kita tunggu aja perubahannya gimana". Begitu ayah menjelaskan.

" Iya udah kalo seperti itu, kita tunggu aja " ujar nenekku.

Saat itu jam menunjukkan pukul 19.00 wib bunda masih terlihat tenang duduk diam, semua peralatan yang diperlukan sudah disiapkan jika tiba- tiba memang harus dirawat. Tak terasa hampir 2 jam berlalu, ketika jam menunjukkan pukul 20.45 wib. Bu bidan menelpon ayah..

" Piye mas, udah ada perubahan belum?" dengan logat Jawa yang medok bu bidan berbicara kepada ayah.

" belum bu, masih seperti yang tadi ". Ujar ayah.

" Yo wess, kalo kek gitu mbak yuly harus kita bawa ke rumah sakit, biar lebih enak penangannya. Sebentar lagi saya jemput sama bapak dengan mobil ". Kata ibu bidan itu.

Tak cukup 5 menit sebuah mobil Panther tiba di depan rumah, seorang perempuan setengah baya masuk dan kembali memastikan kondisi bunda, dan itulah Bude bidan yang aku maksud. Bidan langganan keluarga kami dari aku di dalam kandungan hingga ke dedek utun yang sebentar lagi hadir disini. Semua keluarga berangkat kerumah sakit tinggal aku dan bibiku yang di rumah, aku tak di perbolehkan untuk ikut.

" Wo, ga usah ikut dulu ya nak, di rumah aja sama cicik. Besok pagi wo boleh ke rumah sakit sama cicik. Doain bunda ya sayang, biar bunda sama adek tetap sehat ". Begitu ujar bunda pamit kepadaku. Yang kujawab hanya dengan anggukan saja, meski sebenarnya di hati ini ingin sekali mendampingi bunda melihat perjuangannya yang sangat luar biasa.

***

Suasana rumah sakit yang begitu sepi, aura yang berbeda ketika berada di rumah. Mobil memasuki pelataran UGD, bunda langsung di papah menuju ranjang yang ada di ruang UGD, semua pemeriksaan dilakukan, pemasangan infus dan segala macam. Selang 2 jam bunda dibawa ke ruang rawat inap di ruang persalinan. 

Setelah beberapa menit, bunda mulai merasakan kontraksi yang semakin lama semakin wah..rasa sakitnya. Yang tak bisa diungkapkan dengan kata- kata hanya seorang wanita kuat yang mampu menahan rasa sakit itu. Semalaman bundaku terjaga, ketika ia mulai terlelap rasa sakit diperutnya makin menjadi- jadi. Begitupun dengan ayah dan nenek, mereka selalu terbangun mendengar rintihan bunda. Menguatkan bunda, dan emmberi dorongan semangat penuh kasih sayang. Andai aku ada di kala itu mungkin pijatan tangan mungil ini bisa memberi sedikit kekuatan buat bunda. 

Terasa lama sekali menunggu pagi, perputaran jam yang sangat lambat. Dan dengan rasa sakit yang makin menjadi. Menjelang subuh ayah menuju ruangan dokter jaga sebab rasa sakit bunda yang makin menjadi, ada rasa khawatir di mata ayah. Mengingat ketika persalinanku dulu yang juga sulit, kontraksi berujung cesar. Ayah takut kejadian 5 tahun lalu terulang kembali.

***

Tok..tok..ayah mengetuk pintu ruang dokter jaga. Seorang perawat perempuan yang ber wajah judes keluar dari ruangan itu.

" Ada apa pak ?" perawat itu bertanya dari pinggiran pintu hanya mengeluarkan sedikit kepalanya, tersirat rasa lelah dan kantuk di matanya.

" suster, itu istri saya sakitnya semakin menjadi - jadi minta di cek lagi sus". Begitu pinta ayah.

" Ya...namanya juga mau melahirkan pak, ya sakitlah". Jawban yang cukup mencengangkan bagi ayah, tak adakah jawaban yang lebih halus lagi dari perkataan itu." nanti pagi baru kita cek lagi" si suster melanjutkan.

" Iya sus". Jawab ayah sambil berlalu dari hadapan perawat itu dengan fikiran yang berkecamuk di kepalanya. Dan kembali ke ruangan bunda dirawat.

" Bund, kata perawat nanti di cek lagi. Bunda yang sabar ya, kalo bunda dah ga kuat nanti pas dokter visit kita minta tindakan OK aja ya". Kata ayah sembari mengelus lembut rambut bunda yang mulai kusut.

" Iya, yah" jawab bunda lemah.

Dari sepertiga malam hingga subuh terasa lama sekali. Entah kenapa tiba- tiba hari ini sang fajar  merangkak secara lamban. Masih berjuang melawan rasa sakit, hingga akhirnya pagi yang di nanti datang juga. Ada sedikit rasa bahagia di raut wajah bunda meski sambil meringis menahan sakit. Cahaya mentari yang sedikit malu- malu menyelinap dari balik gorden, memberi senyuman dan semangat kepada bunda.

" Yah,,! Tolong buka sedikit gordennya, biar udara agak segeran" pinta bunda di sela-sela menahan rasa sakitnya.

" Iya Bund " sembari ayah sembari membuka hordeng.

Jam menunjukkan pukul 06.30 wib, perawat yang sedikit judes semalam masuk keruangan melakukan pemeriksaan.

" Ibu, baru pembukaan ke empat mudah- mudahan bisa normal ya bu". Ujarnya sedikit lembut berbeda dari semalam.

" Jam berapa dokter visit mbak? " tanya bunda.

" Nanti jam setengah delapan ibu " jawab suster itu sambil berlalu.

Seperginya sang perawat, ayah berbicara pada bunda. Karena memang saat itu rasa mulas yang dirasakan bunda semakin intens.

" Bund, nanti kalo dokter visit kita minta secar aja ya bund. Ayah ga tega lihat bunda seperti ini " ujar ayah.

" mana yang terbaiknya aja yah, bunda menurut saja ". Ucap bunda lemah.

***

Tepat jam 07.30 wib dokter visit, di ruangan bunda hanya bunda sendiri ga ada pasien lain sebab kala itu bunda menggunakan salah satu jaminan fasilitas kesehatan kelas II. Jadi jarang pasien yang menggunakan fasilitas kesehatan kelas itu, meski tersedia empat ranjang tapi cuma bunda yang menempati. Dokter masuk dan melakukan beberapa pemeriksaan, ia seorang dokter S.pog yang terkenal di daerahku. Memang termasuk dokter S.pog langganan keluarga kami. Dan tentunya dokter itu sangat mengenali bunda dan juga ayah.

Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, dokter menginstruksikan untuk memindahkan bunda ke ruang bersalin. Semakin bertambahnya jam mulas yang dirasakan bunda semakin intens, ayah masih dengan sabar memberi dukungan dan semangat dengan menggenggam erat tangan bunda yang terus merintih.

" Ayah, bunda ga kuat ayah. Bunda minta secar aja yah " pinta bunda.

Selang setengah jam dokter S.Pog masuk ke ruang bersalin, itulah kowaktu yang paling menegangkan dan sekaligus yang di tunggu oleh bunda khususnya. 

" Pak,,, mau tidak mau  bu yuli harus secar. Mengingat riwayat kehamilan dan kelahiran sebelumnya, dari kontraksi ga da perkembangan yang memadai" begitu ujar dokter kepada ayah sebelum berlalu meninggalkan ayah bunda. Pada saat itu seluruh keluarga besar telah berkumpul di rumah sakit tuk mendampingi bunda, yang semula hanya ayah bunda juga nenek sekarang keluarga besar berkumpul tuk memberi dorongan semangat ke bunda.

" Pak, tolong persiapkan peralatan bayi ya, dan pakaian ibu yuli. Bu yuli harus segera di bawa ke ruang operasi ". Kata seorang perawat wanita ke ayah. Dengan di bantu perawat juga sanak family bunda di bawa dengan ranjang dorong menuju ruang OK. Sesampai di ruang tunggu OK, sembari menunggu dokter dan perawat menyiapkan segala peralatan.

" Bund, semangat ya. Jangan takut, ayah ada disini menunggu bunda di luar "  kata ayah sambil mengecup kening bunda.

" Iya yah, maafin bunda yah kalo bunda ada salah. Minta tolong doain bunda ya. Biar semua sehat selamat " ujar bunda dengan mata berkaca- kaca.

" Iya bund, pasti itu. Ayah selalu mendoakan bunda juga calon anak kita " kata ayah sambil menghapus air mata bunda yang mulai menetes. Dan tak lupa bunda meminta doa sama nenek agar selalu diberi kelancaran dan keselamatan.

***

( Cerita Bunda... )

Dokter jaga pun datang dan membawa bunda ke ruang sterilisasi sebelum masuk ruang bedah. Berbaring seorang diri, tanpa suami, dan juga sanak family. merasakan kontraksi yang hebat seorang diri tanpa kekuatan kecuali doa yang senantiasa di panjatkan agar senantiasa diberi kelancaran dan kemudahan serta keselamatan. Meskipun itu hanya terucap di dalam hati.

Tak berapa lama datang kembali dokter jaga mengganti pakaian bunda dengan pakaian steril khas ruang bedah, dan mendorong bunda keruang bedah. Suasana yang dingin, sedikit senyap meski ada celoteh dokter serta para perawat. Beberapa dokter dan perawat memasang peralatan di bagian tubuh bunda. Seorang dokter menginstruksikan bunda agar duduk sebab dokter itu akan melakukan suntik anastesi, meskipun dalam kontraksi yang hebat bunda memaksakan tuk duduk. Rasa sakit yang tak bisa di ungkapkan, campur aduk antara kontraksi dan suntik anastesi.

Selang beberapa menit, aku ( bunda ) kembali berbaring dan suntikan anastesi mulai bekerja. Kurasakan kebas di ujung kaki menghangat hingga ke bagian paha, kaki terasa sangat berat untuk di gerakkan. Semakin digerakkan semakin lama semakin terasa berat, aku tau obat bius mulai bekerja. Tak kurasakan lagi mulai yang menjadi - jadi, ada rasa sedikit tenang. Tetap berdoa dan pasrah akan apa yang di lakukan para dokter tuk mengeluarkan bayi mungil yang ada dalam rahimku. Sepuluh menit berlalu, dokter S.Pog beserta asistennya mulai bekerja. Aku hanya bisa mendengar suara mereka, merasakan sedikit guncangan yang ada di tubuhku tanpa merasakan sakit sedikitpun. Namun dada terasa sesak, serasa sulit sekali tuk bernafas. Sambil terus berdoa dalam hati dan berusaha untuk tetap terjaga meski mata terasa sangat berat.

" dok...saya merasa sesak nafas " ujarku.

" owh..ibu sesak? Kita pasang oksigen ya bu " kata dokter itu sambil memasangkan selang oksigen di hidungku. Nafasku mulai teratur kembali dan terasa sedikit lega. Tak berapa lama samar kudengar dokter memberi aba- aba pada semua asistennya.

" satu..dua..tiga.." terasa perutku berguncang.

" satu..dua..tiga.." terdengarlah tangis si kecil, akhirnya ia mengirup udara dengan lepas..

" oeeeek..oeeee.." ada senyum bahagia tersungging di ujung bibir, air mata yang mulai menggenang. Aku berjuang sendiri di dalam sini, tapi di luar sana penuh orang2 yang memberi semangat padaku melalui doa.

Sepuluh menit setelah kelahiran bayiku, seorang bidan datang membawa bayiku. Memberikan kepadaku tanpa ku pegang. Aku hanya mampu mencium pipinya yang mungil, sangat mirip seperti ayahnya. Seorang bayi perempuan, yang memberiku ketegaran hingga saat ini. Setelah ku kecup pipi mungilnya, bidan itupun kembali membawa putriku ke ruang anak untuk di observasi.

Dokter dan juga para asistennya, masih saja berkutat menjahit dan membersihkan luka yang ada di rahim dan perutku. Dua puluh menit, akhirnya selesai sudah. Mereka mengganti seluruh pakaianku dengan kain - kain dan memindahkanku ke ranjang yang bersih dan membawaku ke ruang steril sebelum di bawa ke ruang rawat inap. Kurasakan haus yanga sangat mendera, di luar ruangan keluarga menungguku. Ada suami ayah dari kedua putriku, datang dan menghampiriku. 

" Bund..." kata itu yang kudengar dari bibirnya seraya ia mencium keningku, kulihat matanya yang berkaca - kaca. Haru bercampur bahagia tersirat di sana. 

" Bund, anak kita cewek lagi ga apa- apa ya " bisiknya di telingaku. Tak pernah terfikir olehku bahwa ia yang akan menguatkanku. Hanya ku jawab dengan anggukan dan senyuman.

Setelah pindah ke ruang rawat inap, semua family datang menjenguk. Begitu pun putriku yang pertama datang memeluk dan menciumku.

" Bunda..."

" sini sayang " kubalas pelukannya dengan uraian air mataku. Babak baru akan di mulai, perhatianku bakal terbagi antara kakak dan adek.

Setelah beberapa hari aku dirawat, akhirnya kembali pulang ke rumah..

Well come to home my child. Kehidupan baru kita kan di mulai, akan ada kebahagian yang besar atas kehadiranmu. Senyumku mulai mengembang, akan bayang- bayang kebahagian yang terpampang di depan mata. Rutinitasku disibukkan dengan mengurus dua bayi, si adek dan juga kakak yang terkadang meminta perhatian lebih.

***

Sampai suatu hari, rasa gelisah mulai menghantui. Tak tau apa yang ada dalam benakku. Ketika si kecil tertidur, aku merenung sendiri sembari menunggu kakakyang di jemput ayah  pulang sekolah. Kulihat di pelataran depan bayang- bayang anak gadisku dan ayah nampak di balik gorden. Air mata yang sedari tadi ku tahan kini menetes, mengharu biru di dalam kalbu. " Wo maafin bunda, sudah tak begitu memperhatikanmu" batinku pun mulai berbisik.

" Assalamualaikum, bunda...adek..." teriakan anak gadisku di luar, segera bergegas kuhapus air mataku yang sempat menganak sungai.

" Waalaikumsalam, udah pulang sayang? Gimana tadi di sekolah, seronok tak?" Pertanyaanku dengan logat upin ipin yang sering putri sulungku ucapkan.

" Iya bunda, tadi wo belajar menulis, berhitung. Wo maju di suruh Ammah hapalan surat " antusias sekali putriku ini bercerita.

Perlahan ku lepas semua atribut sekolahnya sambil mendengarkan cerita kesehariannya di sekolah. Tetap dg perasaan gelisah, sesekali kucium pipi dan keningnya.

Satu bulan berjalan, penuh dengan suka duka atas kehadiran si kecil, si kakak yang mulai bisa mengerti. Sikap ayah yang semakin sayang dan lebih perhatian dengan keluarga, aku merasa lengkap sudah kebahagiaanku kini. Usaha toko yang semakin berkah, tempat tinggal yang layak dan tak serupa dengan rumah nyamuk. Suami ysng makin sayang istri dan juga 2 putri yang mskin hari tumbuh dengan baik. Tak ada lagi yang ku pinlta selain kebahagiaan keluargaku yang utuh.

Sedikit terabaikan mimpi lalu, flash back..pernah bermimpi saat usia kehamilan menginjak 9 bulan. Mimpi mulai menghias lelapku, ku lihat dua buah pemandian jenazah di kamar mandiku. Satu berukuran besar dan satu berukuran kecil. Setelah bangun hanya istigfar yang ku ucap berulang- ulang. Namun ku sedikit mengabaikan, ini hanya bunga tidur bukan pertanda apa- apa.

Belakangan ini ayah sibuk mengurus perencanaan untuk acara akiqahan putriku yang ke dua. Mencari kambing dan segala keperluannya. Sampai suatu sore hari, saat rintik hujan mulai membasahi bumi, ayah begitu rapi dan pamit untuk membayar mahar kambing tuk aqikahan.

" Bund, ayah pamit mau ke tempat pak de tempat ambil kambing kemaren".

" Tapi masih hujan ini yah, besok- besok aja kenapa yah?"

" Biar cepat selesai bund, jadi ayah ga pusing lagi mikirinnya. Masalah satu selesai". 

" Ya udah klo gitu yah, hati - hati di jalan. Jangan kebut- kebut". Pintaku

Memang beberapa hari ini, jantung terkadang berdebar- debar tanpa alasan yang jelas. Hanya berusaha berfikiran positif saja. Semoga semua baik- baik saja. Hanya 30 menitan ayah pergi dan sudah kembali. 

***

Dua hari belakangan ini ia mengeluh sakit kepala, ketika itu ia baru pulang dari menghadiri pesta pernikahan salah satu karyawan kami. Sepulang pesta suamiku langsung menghampiriku yang tengah berbaring menyusui si kecil sedang si kakak bermain di luar.

" Bund, kepala ayah sakit bener. Tolong pijitin bund.

" Kenapa sakit ayah? Ayah abis hujanan apa?" pertanyaan bodoh yang ku lontarkan. Tapi terus saja memijat kepala suamiku hingga ia tertidur. Dan kutinggalkan tuk beberes rumah yang berantakan, terlalu fokus dengan dua bidadari kecil ini.

Ketika senja mulai beranjak, jingga yang menggelantung di ufuk barat. Mentari yang mulai senyap sembunyi di peraduannya. Malam telah tiba, anak - anak pun sudah tertidur pulas di buai mimpi. Aku dan suamiku masih terjaga, mengobrol di tempat tidur. Saling berbagi cerita, mendengarkan keluh kesah satu sama lain. Malam itu begitu hangat, malam yang sangat kurindukan hingga kini. Merebahkan diri di kasur yang hampir lapuk ini, suamiku tidur sambil memelukku. Kurasakan betapa dekatnya aku dengannya, kurasa betapa ia mencintai dan menyayangiku. Kurasa mataku mulai berkaca- kaca, entah mengapa aku begitu takut kehilangannya. Merasa seolah- olah inilah pelukan terakhir yang aku rasakan.

" Ayah,, bunda ngerasa ayah itu sayang sama bunda kalo dipeluk seperti ini ".

" Memang sayang bund, ayah sayang sama bunda. Sangat banget malah". 

Kurasakan pelukannya semakin menghangat dan kubalas dengan pelukan erat. Seolah tak sedikitpun aku ingin melepasnya. Dengan lembut suamiku mengecup keningku dan membelai rambutku. Bercengkerama tentang indahnya hari esok yang akan kita jalani bersama. Menikmati suksesnya kehidupan rumah tangga kita. Damai yang kurasa, dan terlelap dalam pelukan suamiku hingga mentari pagi menyapa.

Saat itu memang hari libur besar, si kakak pun tidak masuk sekolah. Seperti hari libur yang sudah- sudah, saat itulah hari keluarga bagi kami, ayah hanya di rumah saja. Berleha- leha dengan keluarga, bercanda dengan anak- anak. Tapi tidak pada hari itu, ayah terlihat sangat malas- malasan, tak beranjak dari tempat tidur hingga terik mulai menyapa. Anak- anakpun tak seberapa di sentuhnya, tak sebegitu diperdulikannya. Aku mulai membatin " kenapalah ayah ini, kok beda dari biasanya?" begitu penuh tanda tanya. Namun tak ada sedikitpun firasat yang aku alami atau pun aku hadapi.

Hingga menjelang siang, ayah baru beranjak dari tempat tidur. Menyapa sebentar kepada anak - anak. Menghirup kopi yang mulai dingin, duduk termangu sembari mengisap sebatang rokok dalam - dalam. Siang itu kami kedatangan tamu, sepasang pengantin baru yaitu karyawan yang baru saja kemaren pernikahannya berlangsung. Segala petuah dan nasehat terlontar dari bibir suamiku. Aku hanya diam dan sedikit bertanya- tanya dalam hati, sampai akhirnya mereka pulang.

***

" Bund, ayah mau ke toko dulu, ngecek kerjaan anak- anak"

" Makan dulu yah, ini udah siang. Kapan lagi mau makannya nanti masuk angin pula". 

" Lagi ga pengen bund, nanti aja makannya".

" Ya udahlah, terserah ayah aja kapan mau makan". Entah mengapa aku begitu merasa khawatir. Hingga sore ayah belum juga pulang dari toko, sedangkan sebutir nasipun belum masuk ketenggorokannya. Hanya kopi dan kopi, " ya Allah, ayah kok belum juga pulang sich". Kutekan no telp suamiku..

Tut...tut...tut...nada di ujung, tak lama kemudian.

" Iya bund, kenapa?"

" Yah, pulang dulu, udah jam berapa ini. Pulang makanlah dulu nanti balik lagi ke toko kalo sudah selesai makannya".

" Nanti bund, masih ada kerjaan sedikit "

"  Ya udah kalo gitu, bunda juga mau ngajak anak- anak main tempat ibu, dah lama ga main kesana. Nanti pas pulang jemput kami ya yah!"

" Iya, liat nanti ya bund bisa apa nggaknya ayah jemput". Terasa ada penolakan dari kata-katanya. 

Ya sudahlah, aku pun tak mau berfikir buruk. Kuteruskan niatku tuk mengajak anak- anak mengunjungi ibuku. Aku meminta adik lelakiku tuk menjemput ke rumah sebab suamiku sedang sibuk di toko.

Waktu bergulir begitu cepat, jam sudah menunjukkan pukul 20.30 wib. Mengingat putri kecilku masih bayi akupun bergegas ingin pulang mana cuaca di luar cukup dingin sebab gerimis masih mengguyur malam ini. Kuambil telpon genggam milikku dan menghubungi suamiku. Tak ada firasat burukpun hingga saat ini.

Tuuuut...tuuut...tuuuut....tak berapa lama tanda panggilan di terima.

" hallo ayah, jemput bunda dan anak- anak yah. Sekarang ya yah" pintaku

" iya bund,, ayah ga bisa jemput. Ini mesin ngadat lagi minta anter sama Ali ( adikku yang no 3) aja ya!" pintanya 

" ya udah yah, ntar bunda minta anter aja sma dia" langsung ku tutup telponku. Jam 21.00 wib, aku dan anak - anak pulang diantar adikku tapi sebelum ke rumah mampir dulu di toko tuk mengambil kunci. Dan disinilah keanehan itu mulai kurasakan. Saat mengambil kunci di toko, memang suamiku terlihat sibuk sekali dan malam itu cukup rame teman- temannya berkumpul. Kebiasan mereke berkumpul tuk main game atau PS. Terkadang game itu yang memicu keributan kecil di antara kami. Setelah mengambil kunci dan hendak naik motor, suamiku memanggil.

" Bund,, mau pulang kemana?" pertanyaan yang begitu aneh ku dengar, sebab malam itu suamiku pasti tau, kami baru saja pulang dari tempat ibuku dan yang pasti mau pulang kerumah. Lalu pertanyaan macam apa ini yang keluar?

" Ya,, mau pulang ke rumah lah yah, memang mau pulang kemana lagi?" tanyaku sedikit heran dan aneh

" Owh...nanti kalo udah di rumah masakin ayah air panas ya,, ayah mau mandi " ujarnya

" Iya  yah, nanti bunda masakin. Kami duluan pulang yah, jangan malam pulangnya. Kalo dah selesai langsung pulang" pintaku sambil berlalu tanpa menunggu persetujuan darinya.

***

Setiba di rumah, kuajak kakak tidur dan kuletakkan bayi mungilku di atas kasur. Adikku pulang dan akupun memasak air tuk mandi suamiku. Setelah mendidih masih ku tunggu suamiku pulang, aku masih terjaga dalam tidurku. Menit kemenit, jam ke jam, namun tak kunjung juga ku dengar ketukan dari pintu luar. Ku ambil telponku, dan menghubunginya berkali- kali. Namun tak jua diangkat. Sedikit ada kekesalan dan kekhawatiran yang kurasa, lalu ku sms suamiku " ayah, pulang dulu udah jam berapa ini" namun tak kunjung ada balasan. Ya sudahlah fikirku, mungkin dia memang lagi sibuk. Tapi rasa dongkol itu mulai tertanam di hati ini, jam menunjukkan pukul 22.30 wib. Aku rebahkan tubuhku di dipan, dan saat baru terlelap ku dengar ketukan dan panggilan di pintu depan. Karna rasa dongkol itu, kubiarkan sejenak pintu tak kubuka. 10 menit kemudian, baru kubuka pintu dan kusambut suamiku dengan muka cemberut.

" malam amat sich yah, pulangnya. Ayah itu belum makan pulang malam bener" ucapku

" iya tadi ada kerjaan, mana mesin macet terus. Ya udah ayah mau mandi dulu, udah di masak airnya?"

" udah yah" ujarku sembari menyiapkan baju ganti tuk dipakai suamiku setelah mandi nanti. Setelah selesai mandi dan berpakaian, suamiku segera mengambil makan dan membawanya ke kamar. Dan duduk di lantai sedangkan aku hanya berbaring saja di tempat tidur melihatnya makan. Begitu lahap ia makan malam itu, setelah kuhitung sudah 3x nambah. Rupanya suamiku ini kelaparan sedari pagi perutnya tak tersentuh nasi. 

" bund, ga makan? Tanyanya disela- sela suapan sendok kemulutnya.

" nggak yah, bunda masih kenyang" ujarku

Selesai makan, suamiku mengajakku mengobrol sambil menonton tv di ruang keluarga. Kita bercerita tentang segala hal, bersenda gurau dan bercumbu mesra. Namun ada hal lain yang kurasakan aneh saat ini dari suamiku. Namun aku tak mampu tuk mendeskripsikan keanehan seperti apa itu.

Tak terasa malam begitu larut, dan rasa lelah dan kantuk mulai mendera. Jam sudah menunjukkan pukul 01.10 wib dini hari.

" yuk bund kita tidur, bawa baju ayah itu" pintanya padaku

Kubawa pakaiannya tanpa menjawab sepatah kata. Suamiku langsung berbaring di tempat tidur dan kukenakan selimut ketubuhnya, namun dihempasnya seketika.

" Ayah ga mau pake selimut" ujarnya dengan nada sedikit keras

" ya sudah" ujarku dengan sedikit emosi pula. Aku pun berbaring di antara mereka, suamiku juga putri- putriku..

Kurasa baru juga terlelap mata ini dan terbuai mimpi, si kecil minta susu dan kulirik jam di dinding menunjukkan pukul 02.30 wib. Baru sepersekian menit kususui si kecil, kejadian nahas itu terjadi yang bakal kuingat hingga saat ini. Membuatku begitu trauma jika mendengar suara itu. Dan karna kejadian itu memberi banyak perubahan dalam hidupku..semuanya..

Saat sedang menyusui bayiku, kudengar dengkuran yang tak biasa dari suamiku. Langsung ku membalikkan badanku yang membelakanginya. Kulihat suamiku sedang kejang, dengkuran yang semakin kejang. Seketika kutinggalkan bayiku yang belum selesai menyusui, biasanya bayiku akan rewel dan menangis jika ia belum selesai menyusui lalu tiba- tiba berhenti. Tapi malam ini bayiku begitu tenang hanya sedikit melirik dengan sudut matanya apa yang terjadu pada ayahnya. Bayi berumur 53 hari sebegitu pintarnya memahami keadaan yang begitu mencekam, hanya terdiam tanpa ada tangis sedikitpun hanya celoteh - celoteh dari bibir merahnya yang mungil. Begitu juga si kakak yang terbangun mendengar keributan, hanya terdiam kebingungan tanpa tau dan memahami apa yang sedang terjadi. Suasana begitu mencekam dan menakutkan bagiku, segala prasangka buruk mulai berputar dan menari- nari di belakang tengkorakku. Namun masih berharap semua baik- baik saja.

***

Kudekati suamiku yang masih kejang, ku guncang- guncang tubuhnya berusaha tuk membangunkan. Aku begitu panik dan bingung apa yang harus aku lakuakan. Hanya mengguncang dan memanggil berusaha membangunkannya.

" yah..bangun yah...." 

" nyebut yah, tolong bangun..liat anak- anak..mereka masih butuh ayah"

" Ayahhhhhhh..banguuuuunnn " 

" Bangun yahhhh, sadar yah " ceracauku dengan air mata yang mulai mengalir. Perasaan mulai tak menentu dan takut kehilangan. Kubisikkan kalimat Allah yang tak begitu jelas, begitu panik yang kurasakan.

" Lailahaillah, nyebut yah.."

" Allahu akbar "

" astagfirullah hal adzim " kalimat apa saja yang dekat dengan bibirku kuucapkan di telinga suamiku. Airmataku mulai tak henti mengalir. Fikiranku mulai kalut dan kacau firasatku mulai buruk, kuambil telpon genggam, kuhubungi nomor ayah dan ibuku. Berkali - kali ku telpon tak kunjung di angkat telponku. Kulihat suamiku yang masih saja kejang dan aku masih duduk di sampingnya, kucoba lagi menelpon orang tuaku. Namun tak kunjung jua di terima. Ku tekadkan bulat tuk meminta bantuan pada tetangga sekitar, kebetulan aku tinggal di lingkungab semua paman dan bibiku.

" Ayah,,,tolong sadar, bangun yah,,tunggu bunda, bunda minta bantuan sama paman dulu" pintaku dengan isak. Di sela ku memakai jaket si kakak bertanya.

" Bunda, ayah kenapa?" 

" Ayah sakit, wo tolong jaga adek. Bunda mau keluar bentar cari bantuan " Kuhilangkan rasa takutku, dengan keadaan yang begitu sepi senyap jam menunjukkan pukul 02.45. Kubergegas membuka pintu dan berlari kerumah bibi ku yang ada di ujung jalan. Segera ku ketuk pintu rumahnya.

Tok..tok..tok..." unik, bangun nik " pintaku

Cukup lama aku menunggu di depan pintu hingga akhirnya keluarlah bibi dan pamanku..

" Ada apa Yul " tanya merekea serempak

" unik tolong kerumah, Liat dulu ayah nya  Aulia sama Caca " pintaku sambil berlari pulang. Kudapati suamiku yang masih juga kejang namun sudah semakin melemah, terus saja kubangunkan, namun aku mulai pasrah. Sebab sebelum pergi ada satu hal yang membuatku pasrah tuk mengikhlaskan. Tak berapa lama paman dan bibi sampai dirumah berikut dengan sepupu dan juga paman dan bibi yang lain. Semua berusaha membangunkan , aku tetap duduk disampingnya dan berusaha membangunkan.

" Ayah bangunlah ayah, tolong ayah. Kasihan anak- anak kita mereka masih kecil. Masih butuh ayah. Bangunlah ayah tolong..." pintaku menyanyat pilu..keadaannya makin melemah, ku lihat air matanya menetes di sudut matanya.. Aku terus berusaha membangunkannya, sembari menelpon orang tuaku...

Tuuuut...tuuuut...tuuuuuut...." ya Allah lama amat sich buk telponku ga diangkat- angkat, ayoo angkat. Penting buuuukk" batinku..tak berapa lama terdengar sahutan di ujung telpon.

" hallo,,kena...." belum selesai ibuku bertanya

" buk, tolong kalian cepat kerumah sekarang juga " pintaku sambil menahan tangis

" kenapa? " pertanyaan lagi yang terlontar

" kesini sekarang " kututup telpon sembari menyeka air mata yang meleleh.

Semua sanak saudara berkumpul orang tuaku pun sudah tiba di rumah. Dengan penuh keheranan dan tanda tanya masuk ke kamarku. Aku hanya bisa menangis menatap kedua orang tuaku. Kedua putriku sudah diamankan bibiku tuk menjauh dari kerumunan sanak family. Keadaan suamiku makin drop, tak ada suara dengkuran. Tatapan yang kosong dan bibir yang terdiam seribu bahasa. Kuelus lengan atasnya, terlihat bulu kuduk yang berdiri

" ayah, bangunlah ayah " batinku. Ku elus untuk yang kedua kali, bulu romanya kembali berdiri. 

" Ayah masih ada" fikirku. Dan kuelus kali ketiga, dan benar- benar diam, tak ada respon sedikitpun. Dan sebelumnya akupun sudah menelpon bidan langganan kami, kakekku yang seorang ahli supranatural pun sudah hadir. Semua orang yang kusayang sudah hadir di sekelilingku. Satu persatu memeriksa keadaan suamiku. Aku hanya pasrah, meski batin ini amat sangat memberontak. Aku hanya bisa menangis di samping suamiku, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Segala cara di lakukan oleh bidan untuk memeriksa keadaan suamiku, dan nol tak ada respon. Yang terlihat dari wajah bidan itu hanya tatapan gamang ke arahku, aku tau apa yang akan disampaikannya padaku. Begitu juga dengan kakekku, ia berusaha keras tuk menyembunyikan kesedihannya, menyembunyikan kebenaran yang terjadi atas nasibku. Nasib cucu tertuanya... Semua terkuak saat ayahku memanggil ibu bidan keluar, tuk memastikan keadaan suamiku begitupun dengan kakekku.

" Pupil sudah membesar pak, dan bla..bla penjelasan bidan itu, kalo masih penasaran kita bawa ke rumah sakit aja ". Sarannya

" terus terang aja buk, gimana keadaannya, kalo memang sudah gak ada buat apalagi kita bawa kerumah sakit " ujar ayahku

" maaf pak, om Aril memang sudah ga ada " ujarnya.. Dan suamiku dinyatakan meninggal tanggal 24 Desember 2016 pukul 03.15 wib.

Tak berapa lama kakekku pun masuk, dan membetulkan posisi tangan suamiku. Melihat keadaan suamiku seperti itu,Saat itu pula aku memang sudah pasrah akan hal buruk yang bakal terjadi. Tapi batinku pun berontak, sedari tadi aku menangis." Innalillahiwainna Ilayhiroji'un " ucapku dalam hati. Bayangan kelam itu benar- benar terjadi. Kali ini tangisanku semakin pecah, aku berontak semakin histeris.

" Ayaaaahhhhhh,,, kenapa tega ninggalin kami yah, anak- anak masih kecil masih butuh ayah " aku meraung- raung sejadi- jadinya.

" Ayahhhhh,, liat adek ayah, baru sebentar saja adek ayah timang. Kenapa sekarang ayah pergi? Liat uwo ayaaahhhh,, dia deket sama ayah sekarang siapa tempat dia berlindung? " ceracauku di sela tangis yang tiada henti. Saat itu pula, pecah seluruh tangisan keluargaku.

Aku semakin histeris, menangis meraung sejadi- jadinya. Kuhempas - hempas badanku di dipan, kubanting- banting guling yang ada di tanganku. Kucari tempat bersandar tapi tak satupun mendekat .

" Aku masih muda ya Allah, kenapa aku harus jadi janda. Aku ga perlu hidup berkecukupan seperti ini jika keluarga kecilku tak lengkap. Lebih baik aku tidur di kontrakan tapi suamiku selalu di sampingku " protesku dalam tangis, kulihat ayahku mendekat tuk merangkulku, dan bibi dari ayahku mendekat dan merangkulku lebih dulu. Kubenamkan kepalaku dipelukannya, kutumpahkan semua tangisku. Serasa tak sanggup aku menerima semua, hilang sudah penyemangat hidupku. Hilang sudah mentari pagiku. Tak dapat kubayangkan akan seperti apa kehidupanku kedepannya. Kulihat ibuku yang menangis, digenggamnya tanganku erat diraihnya tubuhku dan memelukku dengan erat. Semakin tumpah saja air mata ini, aku ga bisa terima atas nasib yang terjadi padaku dan anak- anakku. Semua familyku mencoba tuk menenangkanku..

" Ga boleh bicara sperti itu,,sabar harus kuat dan ikhlas. Tuhan ga akan memberi cobaan yang hebat jika hambanya tidak kua. Terus beristigfar sayang " lalu mereka memapahku keluar dari kamar. Dan yang lain sedang mempersiapkan tempat tidur suamiku. Sebagai penghormatan terakhir tuk beliau. Dan meletakkan tempat tidur di sudut ruang keluarga.

***

Sesaat kurasa sedikit tenang, dan kucari keduabelah hatiku dengan anak mata. Kuambil si kecil dari gendongan bibiku, mata yang cemerlang. Kupeluk si kakak, pecahlah lagi tangisku. Begitu malang nasib kedua putriku ini, harus kehilangan sosok ayah begitu cepat. Kubisikkan pada mereka.

" Nak, ayah udah ga ada. Wo sama adek udah ga punya ayah, sekarang wo dan adek cuma punya bunda" kupeluk dengan erat dan kucium bertubi-tubi. Apalagi wajah mungil ini, " Ya Allah aku semakin ga sanggup kalo harus seperti ini " batinku. 

Hari beranjak siang semakin banyak pelayat yang datang. Kupandangi lekat- lekat  tuk terakhir kali wajah suamiku, kusentuh kulit wajahnya yang sudah dingin. Kuberikan ciuman tuk terakhir kalinya kedua belah pipi, kedua mata, kening. Sebagai penghormatan terakhirku padanya.

" Maafkan aku suamiku, aku ikhlas melepasmu. Doakan agar aku sanggup melewati semua ujian ini "  bisikku dengan ratapan air mata.

Jam 10.00 wib suamiku dimandikan, akupun ikut memandikan untuk yang terakhir kalinya. Setelah semua prosesi memandikan dan mengafani selesai. Semua sanak saudara dan family menghantar suamiku ke peristirahatan terakhirnya. Tak henti air mata ini berderai, hingga tak terlihat wajah suamiku. Yang nampak hanya sebongkah nisan dan segunduk tanah merah.

Kuayunkan langkah dengan gontai, menuju rumah idaman kami. Tak ada semangat dalam langkahku, sepanjang jalan kuseka air mata yang tak henti menetes ini. Tiba di halaman rumah semua mata tertuju padaku, terus ku langakahkan kakiku. 

Langkahku menuju kamar mandi yang ada di susdut L, kutumpahkan semua air mataku. Kuratapi nasibku, juga nasib anak- anakku. Mengapa tuhan begitu tidak adil terhadapku? Hilang sudah bubungan rumahku, tiang dulu kokoh kini mulai lemah, akankah rumah ini terus berdiri tanpa bubungan juga tiang yang kuat. Air mata yang terus menganak sungai.

Tok..tok...tok...bunyi pintu kamar mandi di ketuk orang dari luar, langsung ku seka air mataku dan mencuci muka.

" Udah dulu yuli, ga bagus terus meratap seperti. Kasihan anak- anakmu.." begitu kudengar suara bibi dari belakang pintu kamar mandi. Kubuka pintu dan keluar masih dengan sisa - sisa air mata bercampur air. 

" Iya, sudah jangan menangis terus. Nanti kamu sakit.." yang ikut menimpali.

" Iya bi " begitu ucapku lemah. " aku mau mandi sebentar dan ganti baju " lanjutku berlalu 

Kumasuki kamarku, kuingat semua hal yang terjadi disini.. Canda tawa, tangis berdua, kadang keributan kecil menghiasi kamar ini. Kusentuh tuts- tuts keyboard dan layar komputer yang teronggok di meja dalam kamar. Takkan kutemukan lagi layar yang selalu menyala tiap malam, takkan kudengar lagi teriakan- teriakan halus yang terlontar dibibirmu ketika sedang memainkan game kesayanganmu. Terkadang benda mati ini yang selalu membuatku cemburu, menimbulkan keributan- keributan kecil, sebab terlalu sering mereka yang kau sentuh bukan aku. Serasa tumpah air mata ini, tak mampu lagi tuk kubendung. Hingga mandipun aku masih saja menangis dan meratap. Betapa aku akan merindukannya ayah, amat sangat akan.

Begitu selesai mandi dan berganti pakaian, aku keluar kamar. Betapa masih begitu ramai di rumah ini, sanak saudara dan para tamu pelayat ada yang masih mengobrol dengan bapak dan ibuku. Menanyakan hal dan ihwal bagaimana kejadiannya, dan aku tak mampu dan tak mau tuk mengingatnya. 

Kuambil si kecil yang tengah tertidur di pangkuan salah seorang bibiku, kupandangi lekat- lekat wajah mungil ini. Tubuh mungil berbalut kain bedong pink ini harus begitu cepat merasakan kehilangan sosok ayah. Betapa hanya sebentar saja bisa merasakan timangan kasih sayang seorang ayah. Bergantian kupandangi si kakak, " begitu dekat kamu sama ayahmu nak, sekarang tak ada lagi tempatmu bermanja". Berlinang air mata ini,serasa tak sanggup menghadapi semua.

" Bunda, " celetuk si kakak

" iya nak " jawabku lemah.

" Besok aku mulai sekolah, sekarang ayah udah ga ada. Siapa yang antar aku ke sekolah bunda?" sebuah pertanyaan yang menyayat pilu dari seorang gadis kecil yang lugu. 

Kudekap mereka dengan erat, kuciumi mereka penuh sangat dengan air mata yang berlinang. Tak kuasa kumenahannya untuk tak jatuh, tak mampu ku tuk menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang membuat isakan pecah di sekelilingku.

" Kan di rumah rame nak, ada datuk ada oom. Nanti merela yang anter Aulia sekolah" ucap ibuku di sela tangisannya.

***

Waktu berlalu terasa begitu cepat, siang menuju petang. Petang menjelang malam, dan malampun merangkak pagi. Semalam setelah yasinan tahlilan alm.suamiku, aku tidur begitu pulas. Dan terbangun saat pagi, kubuka mata memandangi sekeliling mencari sesuatu dengan anak mataku yang tak jua kutemukan. Kulihat di sebelah kiriku, ternyata sudah kosong. Kemana kedua gadis kecilku ini apa sudah bangun. Lalu kulihat sebelah kananku, juga kosong. Kemana ayah juga anak- anak?

" Yah..." panggilku malas dari tempat tidur dan seketika itu pun juga aku sadar, ternyata kami sudah berbeda alam. Dia telah pergi, meninggalkanku dan anak- anak, meninggalkan semua kenang yang pernah kami lalui bersama.

Kubersimpuh di kaki dipan, air mata terurai lepas tanpa dapat kutahan. Aku meraung - raung meratapai semua, tanpa kuperdulikan keramaian sanak saudara di luar kamar. Menatap sedih dengan apa yang kualami. Begitu perih yang kurasa bila mengingat itu semua, semua terjadi di depan mataku. Berharap apa yang terjadi ini adalah sebuah mimpi, dan terasa masih terus menari - nari di belakang kepala ini. Dan akan terbangun, tapi ternyata inilah nyata dalam hidupku. Entah aku sanggup atau tidak melewati semua ujian ini.

Selama tahun pertama aku masih tak bisa menerima takdir yang kualami. Seolah- olah menolak kodrat yang telah diturunkan Allah SWT untukku. Keluar rumahpun aku tak mampu, terasa malu menyandang status seorang janda seperti ini. Masih sering saja kumenangis, betapa kumasih sangat merindukan suamiku. Aku masih membutuhkannya untuk membesarkan dan mendidik kedua putri kami. Tak kuperdulikan toko yang ada di depan sana, kuserahkan pada adikku tuk mengelolanya.  Hingga menjelang tahun ke dua, aku mulai tersadar dan atas segala dorongan semangat dari kedua orang dan semua sanak saudara. Aku mencoba bangkit, untuk memulai kembali hidup ini. Menatanya dari awal dan kembali menjalani semua. 

Sampai saat ini menjelang tahun ke tiga kepergian suamiku, aku sudah bangkit. Benar - benar bangkit, kujalankan usaha peninggalan suami. Aku tersadar jika aku terus saja terpuruk dan jatuh, lalu siapa yang akan memberi perhatian pada kedua putriku. Sedikit mulai melupa, setidaknya kesedihan ini mulai tampak samar di depan mata. 

Namun segala kenangan tak kan mampu dihilangkan akan tetap terekam dalam memori, hingga nanti dan sampai kapanpun.

***

Teruntuk suamiku...
Begitu banyak kedurhakaan yang kulakukan atasmu, 
begitu banyak perangai buruk yang pernah kulakukan terhadapmu,
tak terhitung berapa kali kumembantah ucapanmu..
Suamiku...
Maafkan aku belum bisa menjadi bidadari surgamu
Suamiku...
Meski alam telah memisahkan kita, 
hingga nanti dan sampai kapanpun engkau tetap lelaki pujaanku
engkau tetap menduduki singgasana tertinggi di hatiku
Tak kan tergantikan dengan siapapun
Walau kini aku sedang berusaha membuka hati untuk yang lain
Suamiku...
Semoga kita nanti kita bisa dipertemukan kembali di surganya Allah.
Aamiin..

Liwa Lampung Barat, 15 September 2017

Catatan:
" kisah ini berasal dari kisah nyata hidupku, kutulis semampuku dan tak jarang dengan deraian airmata "



Tentang Yulyani Faridan: Lahir dan besar di Lampung Barat, ia salah satu aktivis pendiri KOMSAS SIMALABA. Karyanya tergabung dalam buku EMBUN PAGI LERENG PESAGI

Baca Juga:


No comments