HEADLINE

PUISI PUISI NINA FATMAWATI (Lampung Barat)_Kita Mesti Kembali

Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)


PUISI PUISI NINA FATMAWATI

Kita Mesti Kembali

Saudara, kita mencecah tanah yang sama. Sekalipun dari mana entah sulalahnya. Moyanglah hijrah kemari. Menyibak rimba hana, mendaulatnya ladang penghidupan. Menadah tirta langit, atau membendung pancaran dari sela-sela bebatu; lagi mengontruksi atap-atap; membina talang-talang, tempat melahirkan anak-anak. Hiruk-pikuk gang sempit nan sesak penghuni ditinggalkan. Menuju alam perawan nan sunyi di pedalaman.

Ke-berapa generasi, kita?
Ladang-ladang gambut tinggal batang-batang katai. Alih-alih menghasilkan sebendul-dua-bendul kopi, daun layu pun terus-menerus berguguran. Talang-talang menelusup ke hutan-hutan, mendesak gajah dan harimau. Malah nangui, rusa, dan siamang bermainnya di pekarangan. Hutan terlarang masih jua digarap, sebab lapar, atau tamak belaka.

Ke-berapa generasi, kita?
Kakek kita tinggal beberapa. Bapak pun menua sudah. Kita sendiri kini dewasa. Pena membuat kita kembali beravontur kemana-mana. Meninggalkan ladang kerontang dan kehidupan tak berkecukupan, untuk sementara. Namun alam tak lagi menjanjikan. Hiruk pikuk urban dengan geliat kapitalis kembali menggiurkan. Lebih-lebih pena memberi bekal keahlian. Kita pun ingin tinggal, selamanya di pelimbangan. Lagi pula kita tak akrab dengan sengkuit.

Lalu bagaimana ladang kerontang dan bapak kita yang kian lelah? Apakah kita akan berlari dari senja, lalu mengejar pagi di lain buana? Apakah kita takut hari kian aswad, lalu menghindari malam? Bukankah maya pada itu berputar? Syamsi tak tinggal di satu ufuk, Saudara. Ia pun tak menggantung di langit urban saja. Jika kini matahari di atas Monas, sesaat lagi ia kan beranjak ke puncak Pesagi.  Maka kita mesti kembali, Saudara.  Daun-daun layu dan leluhur mana boleh dibiar gugur?
Maka kita mesti pulang, Saudara. Usia ini tak mesti di sini dilangsaikan.




Kemana saja, aku kemarin

Di pelimbangan kuterpekur. Dalam rongga delapan hasta disela rongga lain yang serupa. Letih akan kesibukan hari-hari, menuruti laju mesin-mesin industri, yang tak dilengkapi sel perasa. Ia tak bisa lelah. Sedang, ringseklah aku dibuatnya. Habis usia-siangku mengenyam deru pabrik. Sedang sisa usia-malamnya kuberalih ke kosmis ilusif.

Ini bukan hidup, hanya tidak mati.
Kumau melaju di liuk lekuk aspal aswadmu; kumerindu dinginmu; memandang lengkung senja Labuan Jujung, betapa kumendamba; gairah dahsyat gelombang Tanjung Setia, betapa kumengharap; mendaki puncak Pesagi, kubisa menghayal saja; kedamaian Teluk Kiluan, sebatas kumemimpi.

Aduhai...
Betapa kurindumu...
Sejak beralih ke hampa ini, seolah malih rupa kau menjelma suwargaloka. Sedang aku hanya kuasa mendamba.
Bodoh nian...
Kemana saja, aku kemarin?


Kapankah?

Kubentang peta tubuhmu malam-malam. Memilih temaram lilin sebagai iluminasi. Biar kontras liuk tubuhmu dengan gradasi artistik kian memukau.

Kelok nadi lalulintas di sela-sela bukit-lembah, aduhai indah nian. Semakin meninggi mendaki gunung. Bunga-bunga kopi bermekaran. Bau manis dihela bersama sejuk bukit barisan. Aku kian hanyut. Ketagihan bak menyeruput kopi secangkir.

Ah, tetapi... avonturi ini hanya pada kontur dua dimensi di kulit peta. Kapankah tubuhmu benar-benar kugerayangi, lagi? Seraya mencumbu aromamu yang mengelun ke ubun-ubun.
Kapankah lagi wahai aduhai?

Tanda Tanda

Denting kerinduan di relung sempit, kau campur aroma kopi sangrai. Merapal malam sepekat kopi, lagi hawa sebeku sunyi.

Aduhai...
Bujang belia yang beranjak ke batang hari. Seorang diri kau bina diri.  Aku di sini seorang diri jua. Membenahi hati, sembari menanti dihampiri. Tiada ikrar janji. Sebab kita pernah saling mengingkari. Maka tak lagi berani berangan akan bagaimana menjalani hari. Kita bicarakan yang lain saja. Meski di relungku masih berbiak rasa yang lalu. Meski relungmu pun masih menjaga rasa yang sama.

Bertahanmu dalam sunyi, dan gigihku menjaga hati, Cukuplah tanda itu menjadi bukti.
Kopi sangrai tak hanya beraroma, kini jua berasap dan malih warna. Tak usai jua, mesti digiling, mesti diseduh. Masih banyak peristiwa, masih panjang penantian.


Engkau Tak Bertandang

Malam menjelang
 membawa sunyi

mengantar engkau
ke bilik jantunku
yang, lalu merindu

Barangkali,
hanya sebab rutin kita bercengkrama
di akhir-akhir halaman hari-hari

Sedang malam kali ini
tak bersua dalam sapa,
maka aku gamang
rindu meradang
sebab engkau
tak bertandang


Tentang Penulis

Ajmaelly Nicalf adalah nama pena dari Nina Fatmawati, lahir pada 08 Agustus 1995, di Waytenong, Lampung Barat. Mulai menulis sejak SMP, karena kekagumannya kepada J.K Rowling. Pernah mempelajari Arsitektur Interior di Universitas Indonesia, lalu memilih mengundurkan diri karena ingin fokus menulis. Saat ini berdomisili di Cikarang, bekerja sebagai buruh pabrik.


No comments