HEADLINE

Cerpen Lusi Anda Sudjana (Batam, Kepulauan Riau)_DIARY MERAH JAMBU

Redaksi menerima tulisan
Puisi minimal 5 judul, Esai, Cerpen untuk kami Siarkan setiap hari. Semua naskah dalam satu file MS Word dikirim ke e-email: majalahsimalaba@gmail.com
beri subjek_VERSI ONLINE
Redaksi online ini akan mempublikasikan naskah setiap hari dan akan memilih satu puisi dalam setiap minggunya untuk dibuat film puisi
(Mohon maaf, laman ini belum dapat memberikan honorium)



DIARY MERAH JAMBU


Jatuh cinta itu indah. Tiba-tiba udara di sekitar terasa hangat bila ada Si Dia. Melihat bayangan dia saja, jantung berdetak lebih cepat dari biasanya dan udara terasa berat sehingga sulit untuk bernapas. Seperti yang dirasakan Maira saat berjumpa dengan pujaan hatinya, Ervan.

Gadis manis kelas lima SD itu, bertemu Ervan pertama kali saat dia mengikuti pesantren kilat di masjid perumahannya. Saat itu bulan Ramadan, Papa mendaftarkannya sebagai santri di Masjid Baiturrohmah. Sebenarnya Mai, panggilan akrab Maira, enggan untuk ikut kegiatan itu. Dia lebih suka menghabiskan sorenya dengan tidur hingga waktu berbuka tiba. Tapi Papa mengancam, Mai tidak akan mendapatkan uang lebaran jika tidak ikut pesantren kilat. Itu sama artinya dengan, sia-sia saja dia menahan lapar dan haus selama ini jika Papa tidak membayarnya. Akhirnya, dengan mulut mengerucut Mai mengayuh sepeda mininya ke masjid. Berkumpul dengan wajah-wajah alim yang tidak dia kenal sebelumnya.

Mai memang tidak akrab dengan teman sebaya penghuni perumahan. Papa dan Mama memasukkan Mai di sekolah swasta yang jauh dari lingkungan tempat tinggalnya. Jam belajar Mai yang lebih panjang dari sekolah negeri, membuatnya malas untuk bermain dengan teman-teman di sekitar rumah. Pulang sekolah, Mai lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca komik-komik Jepang kesukaannya. Mai anak tunggal. Papa sibuk di kantor, Mama sibuk mengurusi kegiatan sosialnya. Mereka hanya bertemu pagi hari saat sarapan dan malam hari saat makan malam. Itu pun jika Papa tidak lembur. Papa dan Mama saja tidak akrab dengan tetangga, untuk apa Mai akrab dengan anak-anak mereka? Begitu jawabannya tiap ditanya mengapa dia tidak bermain bersama teman sebanyanya di luar rumah.


***


Hari pertama di pesantren, Mai menguap terus karena bosan dan mengantuk. Materi di pesantren jauh ketinggalan dari materi yang dia terima di SDIT tempatnya bersekolah. Daripada menyalin materi dari papan tulis, dia lebih suka menggambar manga di buku catatannya. Berkhayal seandainya salah satu dari tokoh komik Jepang yang dibacanya tiba-tiba muncul di dunia nyata. Anak lelaki baik hati, pintar, sedikit acuh, tapi sebenarnya sangat perhatian. Atau anak lelaki jago olahraga, suka mengejek, tapi menutupi kebaikan hatinya dengan kenakalan. Dia belum memutuskan lebih suka yang mana. Yang pasti, keduanya harus benar-benar tampan.    

Usai pesantren kilat, sebenarnya Mai ingin langsung pulang. Tapi Umi Nenden -guru mengajinya- menyuruh Mai dan anak-anak lain berbaris rapi untuk mengantre jatah takjil. Saat berdesakan itulah, Mai melihat Ervan. Rambut Ervan yang berponi dan kacamata bulatnya, mengingatkan Mai pada tokoh komik Jepang yang sedang dia baca, Ivan Nakano. Sejak saat itu, dia memutuskan untuk rajin mengikuti pesantren kilat dan buka bersama agar bisa sering-sering bertemu Ervan. Mai yakin, keajaiban itu ada. Dia bisa mengalami manisnya kisah seperti dalam cerita-cerita komik Jepang.

Malamnya, Mai membuka diary merah muda bergambar Hello Kitty hadiah ulang tahun dari Mama. Diary itu sudah lama kosong, karena dia tidak tahu harus mengisinya dengan apa. Tapi malam ini, dia tahu harus menulisi apa di diary itu.

Dear diary..., tadi aku ketemu cowok kece banget di pesantren. Gayanya mirip Ivan Nakano idolaku di komik. Cool banget! Bikin aku deg-degan waktu nggak sengaja natap matanya. Jadi nggak sabar nunggu besok saat buka bersama lagi. O ya, kalau nggak salah namanya Ervan. Mirip seperti Ivan. Ervan… Ivan... Hihihi…

 Semoga malam ini bisa mimpi ketemu Ervan! Aamiin..


***

Dari gadis yang tidak peduli dan tidak mau berteman, Mai berubah menjadi gadis yang lebih ramah. Dia mulai mendekati satu per satu teman di kelasnya, yang menurutnya bisa memberi informasi tentang Ervan. Anak kelas berapa? Sekolah di mana? Rumahnya di blok apa? Siapa-siapa saja teman dekatnya? Apakah Ervan sudah punya pacar atau belum? Mai membuka telinga lebar-lebar, menampung informasi sebanyak-banyaknya.

Tidak hanya itu, Mai juga membuka mata lebar-lebar. Menangkap bayangan Ervan, secepat apa pun dia berlalu. Kadang, saat matanya sedang mengamati punggung Ervan lekat-lekat, sosok pujaannya itu berbalik. Mata mereka bersirobok. Mai, merasakan jantungnya berhenti berdetak dan mukanya memanas. Ketika tatapan Ervan teralihkan, Mai baru bisa bernapas normal kembali. Hati dan jantung Mai berlompatan bergantian. Berbagai pertanyaan silih berganti di kepalanya. Dia merasa tatapan dua detik mereka, memiliki arti lebih dari satu.

Diary..., tadi Ervan natap aku. Pandangannya teduh banget. Kayaknya dia terkejut waktu mata kita ketemu. Jangan-jangan dia naksr aku! Aduh, jantungku deg-degan nggak bisa berhenti! Sepertinya malam ini aku nggak bisa tidur. Aku bahagia banget bisa pandang-pandangan sama Ervan. Abis dia ganteng banget sih…

Tapi Mai terlelap juga. Dengan senyum tersungging di bibirnya, diary di dekapannya. Mimpi-mimpi memeluk tidurnya. Menyelimuti malam yang kerap dia lalui sendirian. Tanpa Mama yang menyelimuti dan mengecup keningnya. Tanpa Papa yang membisikkan dongeng tentang putri dan pangeran atau kancil dan buaya. Mai tertidur dengan rasa cinta yang membuncah di dadanya. Hangat yang menyebar hingga ujung kuku.


***

Satu bulan berlalu. Pesantren kilat pun selesai. Mai, masihlah Mai yang mengejar bayangan Ervan. Mencuri dengar setiap berita tentangnya. Bahagia jika bisa melihat punggungnya. Berdebar jika bertemu pandang tak sengaja (atau sengaja agar bertemu pandang). Hanya itu yang bisa dia lakukan. Itu pun sudah cukup. Mai yakin, kisah antara dia dan Ervan masih sangat panjang dan berakhir indah. Dia hanya perlu menunggu seperti heroin dalam komik-komik. Menunggu Ervan menyadari akan sosoknya yang menarik dan terlalu manis untuk diabaikan. Pasti begitu. Itulah yang terjadi dalam cerita di komik. Menunggu.

Tapi sampai kapan? Saat ini tak ada lagi cara baginya supaya bisa mengamati Ervan. Dia hanya tahu, Ervan anak kelas enam. Tapi sekolah di mana? Dari keakrabannya dengan anak-anak perumahan, dia menduga Ervan sekolah di SD Negeri dekat tempat tinggal mereka. Tapi bisa jadi Ervan bersekolah di SD yang sama dengannya. Jika benar, itu akan membahagiakan sekaligus mengerikan. Membahagiakan karena dia bisa mengamati Ervan setiap hari. Mengerikan, karena jika sampai ketahuan dia naksir Ervan, dia akan menjadi bulan-bulanan teman-temannya. Tapi bagaimana caranya memastikan Ervan bersekolah di mana? Dia tidak mungkin melongok ke dalam setiap ruangan kelas enam mencari sosok Ervan. Itu lebih mengerikan dari ketahuan naksir Ervan!  

Mai juga tahu, Ervan tinggal di blok G. Tidak tahu nomor berapa. Seandainya bisa diketahui nomor rumahnya, Mai bisa melacak nomor teleponnya juga. Semua rumah di daerahnya memiliki telepon rumah, fasilitas dari developer. Tapi bagaimana cara dia mengetahui nomor rumah Ervan? Tidak mungkin dia bertanya pada Alin yang baru dikenalnya selama pesantren kilat. Alin pasti akan curiga dan bertanya macam-macam. Dia tidak mau Alin sampai tahu tentang perasaannya. Alin pasti akan mengejek dan membuatnya malu. Biasanya itulah yang terjadi jika ada seorang teman ketahuan menyukai seseorang. Maka teman yang lain akan mengolok dan mengejeknya. Apalagi jika seseorang yang disukai itu teman mereka juga, bisa dipastikan mereka akan habis jadi bahan olokan. Hingga akhirnya satu sama lain akan saling membenci agar tidak diolok lagi.

Mai tidak ingin membenci Ervan. Dia juga tidak ingin Ervan membencinya. Alin, atau siapapun orang-orang disekitar mereka, tidak boleh ada yang tahu tentang perasaannya! Dia harus bertindak diam-diam jika ingin mengumpulkan informasi tentang Ervan. 


***

Sabtu sore, Mai mengayuh sepedanya pelan-pelan. Tadi dia sempat bersitegang dengan Mama ketika mengeluarkan sepeda dari garasi. Sabtu ini jadwalnya dia dan Mama berenang, tapi Mai memutuskan ingin bersepeda saja. Mama memaksa Mai menemaninya berenang, tapi Mai menolak. Mama mendesak dan mencecar Mai dengan pertanyaan-pertanyaan aneh karena tidak biasanya dia suka bersepeda.

"Kamu kenapa, sih, Mai? Tumben-tumbennya mau bersepeda? Kamu main sama siapa sekarang? Anak nakal yang suka nongkrong di pos keamanan, ya?"

"Mama, nih aneh, deh. Kan, Mama yang suruh Mai main sama anak-anak sini. Jangan di rumah terus."

"Iya..., tapi maksud Mama yang dekat-dekat saja jangan sampai sepedaan jauh-jauh. Atau jangan-jangan..., kamu mau pacaran, ya, Mai?" selidik Mama. Mai sedikit tergeragap. Tidak menyangka Mama mengajukan pertanyaan seperti itu.

"Mama, nih jangan suka nanya yang aneh-aneh, deh. Kalau Mai nggak mau berenang jangan dipaksa-paksa! Mama juga, kan nggak suka kalau Mai paksa nurutin kemauan Mai!" teriaknya sambil meninggalkan Mama yang terkejut.

Mai tiba di blok G. Ada dua puluh rumah di blok itu. Sepuluh di kanan, sepuluh di kiri. Meski dia tidak tahu pasti yang mana rumah Ervan, tubuhnya sedikit gemetar ketika mengayuh sepeda melintasi satu persatu rumah di blok G. Dia sudah hampir tiba di pertengahan blok, tapi masih belum menemukan apa yang dia cari. Dia tidak berharap akan bertemu Ervan sedang nongkrong di depan rumah atau membantu mamanya menyiram bunga. Jika itu terjadi, dia tidak tahu harus berbuat apa. Mengayuh sepeda cepat-cepat atau justru terjatuh di depan Ervan karena gugup? Mai tak sanggup membayangkan kemungkinan yang kedua. Dia pasti akan malu sekali dan jika benar terjadi, dia akan memaksa papanya agar pindah rumah atau mengirimnya bersekolah di tempat oma.

"Mai! Maira!"

Seseorang memanggil namanya. Mai melihat seorang anak sebayanya dengan rambut sangat pendek keluar dari sebuah rumah. Dia mengenal anak itu. Eni, anak kelas sebelah yang sangat periang dan disukai banyak anak. Beberapa kali Mai pernah bercakap dengan Eni. Eni suka menceritakan hal-hal lucu yang membuat anak-anak yang mendengarnya tertawa. 

"Rumah kamu di sini?" tanya Mai saat Eni sudah di depannya.

"Itu nomor sepuluh. Masuk, yuk! Kita main lego sama-sama."

Mai sedikit tergoda. Tapi dia ingat tujuannya di blok G ini, maka dia menggeleng.

"Kamu punya sepeda? Kita main sepeda saja, yuk!"

"Ada. Sebentar, ya aku ambil dulu."

Eni pun menghilang ke balik pintu rumah nomor sepuluh. Tak berapa lama sosoknya muncul kembali ditemani seseorang. Seseorang yang membantunya mengeluarkan sepeda. Seseorang yang menghilang cepat dengan sepeda gunungnya. Seseorang yang membuat Mai terkesiap.

"Itu kakak kamu?"

"Iya, Kak Ervan. Kenapa? Ganteng, ya? Kalau kamu naksir, titip surat saja sama aku. Nanti aku kasih ke Kak Ervan. Aku sering, kok dititipi surat sama cewek-cewek yang naksir dia. Tapi belum ada satu pun yang diterima. Kalau kamu mau titip surat buat Kak Ervan, jangan lupa kasih aku coklat, ya."

Mai sedikit terkejut mendengar penjelasan Eni. Tidak menyangka Eni akan segampang itu memberikan keterangan. Mai menimbang-nimbang tawaran Eni. Apakah Eni bisa dipercaya? Apa Eni tidak akan mengoloknya? Sepertinya Eni sudah biasa menghadapi penggemar kakaknya. Sepertinya Ervan belum punya pacar. Dan sepertinya lagi, penggemar kakaknya itu banyak! Tiba-tiba Mai sedikit ragu. 

Diary...ternyata Ervan itu kakaknya Eni! Eni bilang aku bisa titip surat cinta sama dia. Tapi aku takut, diary. Takut nanti Eni bilang sama temen-temen kalau aku suka sama Ervan. Aku juga takut kalau Ervan nolak aku. Diary...aku harus gimana...


***

Sudah seminggu ini, Mai meneror kediaman Eni dengan telepon. Saat telepon di rumah Eni diangkat, dia akan mendengarkan dengan saksama suara siapa yang menjawab. Jika bukan suara Ervan, dia akan menutup cepat-cepat. Jika ternyata Ervan yang menjawab, dia akan membiarkan Ervan mengatakan ‘Halo!’ berkali-kali sementara dia berdebar-debar girang mendengar suaranya. Mai akan menunggu sampai Ervan kesal, lalu menutup teleponnya. Kemudian dia akan mengulangi lagi hingga beberapa kali dalam sehari. Tentu saja hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan Mama, Papa, atau Mbak Rini asisten Mama.

Satu lagi kebiasaan Ervan yang berhasil dia ketahui, Ervan suka bersepeda sore dengan teman-temannya. Ternyata selama ini Ervan sering lewat di depan rumah Mai, saat dia memilih asyik tenggelam dalam komik sehingga tidak pernah memperhatikan apa yang terjadi di luar rumah. Mama benar, dia memang harus sering-sering keluar rumah.

Sekarang, setiap sore Mai rajin membantu Mbak Rini menyiram bunga. Dia paling suka menyiram tanaman di luar pagar sambil menunggu rombongan Ervan lewat. 

Meskipun berkali-kali Mbak Rini mengusirnya, Mai tetap bersikukuh ingin membantu, dan baru berhenti mengganggu Mbak Rini jika rombongan Ervan sudah lewat. Rasanya bahagia sekali jika melihat Ervan dengan sepedanya. Mai juga akan tetap bahagia walau dia hanya bisa melihat roda sepeda Ervan. Apalagi jika Ervan tiba-tiba melihat ke arahnya, rasanya ingin berteriak-teriak sambil melompat saking girangnya.

Suatu sore, seperti biasa, Ervan dan teman-temannya lewat di depan rumah Mai. Berbeda seperti sore-sore sebelumnya, rombongan itu tidak melintas cepat-cepat. Mereka mengayuh lambat-lambat sambil sesekali melirik ke arah rumah Mai. Beberapa teman Ervan malah menuntun sepedanya dan beberapa yang lain sibuk mendorong-dorong bahu Ervan. Ervan hanya tersenyum malu-malu sambil mencuri pandang ke arah Mai yang sedang menyirami adenium mama.

Meski kegirangan karena dia bisa mencuri pandang lebih banyak, tetap saja Mai merasa ada yang aneh dengan kelakuan rombongan Ervan yang melintas di muka rumahnya sore itu. Mungkinkah ini pertanda? Saat Ervan menyadari ada seorang gadis yang memperhatikannya diam-diam? Ya, ini pasti pertanda yang dia tunggu, seperti dalam komik-komik.


***

"Halo?"

"Ini Maira, ya? Yang hitam, jelek, keriting, hidup lagi! Jangan coba-coba deketin Ervan, ya! Ervan itu calon pacar aku dan nggak mungkin suka sama kamu yang je-lek!"

Klik! 

Telepon ditutup. Maira tertegun. Seseorang baru saja meneleponnya, dan seseorang itu tahu jika dia menyukai Ervan! Bagaimana bisa? Dia tidak pernah menceritakan tentang perasaannya pada siapapun. Kecuali pada diary. Tidak mungkin diary berkhianat. Eh, apa tadi yang dibilang? Hitam…, jelek…, keriting? Cepat-cepat Maira berkaca.

Dia hitam? Tidak. Kulitnya seperti kebanyakan gadis tropis. Sawo matang yang sehat. Mata bulat besar, bulu mata lentik, hidung mancung, lesung pipi, rambut ikal. Bukan keriting! Dia lebih mirip anak India daripada anak Jawa-Sunda. Dia tidak jelek. Jahat sekali yang mengatakan dia jelek di telepon. Hidup lagi! Memangnya orang jelek tidak boleh hidup?

Maira tidak jelek! Tidak! Mama bilang Maira manis. Papa bilang Maira seperti artis Bollywood.

Maira menangis.

Dia sedih seseorang mengejeknya ‘jelek’. Lebih sedih lagi, seseorang tahu perasaannya kepada Ervan!

Tapi siapa? 


***

"Mai, kamu suka sama kakaknya Eni, ya?" tanya Lisa teman sebangku Mai di sekolah. Mai terperanjat.

"Kamu kata siapa?"

"Kata Eni. Katanya kamu titip surat cinta buat kakaknya, tapi kamu lupa kasih cokelat buat upah dia. Makanya Eni bilang ke anak-anak kalau kamu suka sama kakaknya."

Surat? Surat apa? Oh, tidak! Surat cinta untuk Ervan! Astaga… Kenapa surat itu bisa ada di tangan Eni? Dia memang berniat menitipkannya pada Eni, tapi dia urungkan karena masih takut dan ragu. Dan sekarang surat itu ada di tangan Eni? Pasti terjatuh waktu dia dan Eni mengobrol.

Mai memeriksa seluruh isi tasnya. Wajahnya pias. Surat itu tidak ditemukan di sana. Dia yakin sekali jika belum mengeluarkan surat itu dari dalam tasnya. 

Jangan-jangan surat itu sudah sampai di tangan Ervan!

Tiba-tiba semua menjadi jelas baginya. Keanehan Ervan dan teman-temannya saat melintas di depan rumah. Telepon gelap yang menyinggungnya. Pandangan sinis kakak-kakak kelas enam, teman-teman Ervan, saat di kantin. Dan juga keanehan saat ini, ketika tidak biasanya Ervan dan teman-temannya lewat di depan kelas Mai dan sibuk mengintip ke arah dia duduk. Lisa sibuk mencolek-colek pinggangnya.

"Ciyeee...ciyeee..."

Teman-teman yang lain juga tersenyum ke arah Mai. Seharusnya ini pertanda baik. Langkahnya untuk menjadi pacar Ervan tinggal sedikit lagi. Tapi Maira tidak suka. Bukan seperti ini kejadian yang diinginkannya. Dia tidak suka jadi pusat perhatian.


Diary..., aku benci Ervan!

                                                                                         Batam, Juli 2016


Tentang Penulis

Lusi Anda Sudjana. Lahir di Sumedang, kini tinggal di Batam. Beberapa karyanya pernah terbit di Batam Pos, Tanjungpinang Pos, Solopos, Padang Ekspres, Dinamika News dan beberapa media online. Karyanya bisa dibaca di lasudjana.blogspot.co.id. Untuk berinteraksi langsung bisa melalui akun facebook Lusyanda.

baca juga: klik

No comments