HEADLINE

Puisi Puisi Nurhidayah Tanjung _SELAMAT DATANG DI RUMAH KITA

Redaksi menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)



SELAMAT DATANG DI RUMAH KITA

Dahulu adalah menjelang langit magenta
Dengan pergulatan jiwa-jiwa lincah
Apapun mengenai kita yang terdahulu
Bukan untuk menghalau
Tetapi adalah kesepakatan untuk menitiki apa yang telah bercampur
Untuk itu, selamat fajar kawan-kawan
Di pelupuk mata, ada kita menanti di muka
Menyambut dengan segala rupa
Agar ada tawa dan kesejukan di beranda rumah

Dan nanti, selamat petang kawan-kawan
Di ranah yang telah Tuhan pilihkan 
Nanti kita pulang bergenggaman
Menyambut gemilangnya penyatuan
Tuhan telah berikan waktu dan kesempatan
Untuk sama-sama dalam mahligai himpunan 
Untuk sama-sama menjaga damai di rumah pertama di permulaan dewasa
Selamat datang kawan-kawan, dari kita yang masih sama-sama berjuang
Selamat datang kawan-kawan, dari kita yang menepis perbedaan
Mudah-mudahan ada kebetahan, menyambung tali dan perasaan
Serta mengaminkan angan-angan

Bengkulu, 15 September 2017

IBU-IBU BERKEPALA BATU

Di esok-esok yang aneh
Ibu-ibu bercerita pada tukang sayur
apa yang meludahi mereka;
apa yang melukai mereka

Tukang sayur hendaknya tidak menggubris
tapi, ia punya Ibu;
persamaan yang sama antara dua hal berbeda
mengenai kepala batu mereka

Ada peluru yang menyobek kepala
ada pisau yang menembus jantung mereka
tapi Ibu-ibu berkepala batu hendak bercerita;
“Kami adalah makanan terakhir bagi keluarga”

Bengkulu, 2 Mei 2017

KABUT-KABUT

Kabut-kabut mendengus kesal
aura kemarahan, dendam, dan penyesalan
mendengung keras di persimpangan
itu suara hatiku
yang berkelakar jauh mengakar
dengan kabut-kabut yang bergulat tiada ampun
aku melepaskan
segala kebencian hingga nanti kabut hilang
dan aku kehilangan kekosongan hatiku

Bengkulu, 27 September 2017

PERIHNYA LIDAH TANPA TULANG

Segala hal tentang luka adalah penyesalan berkepanjangan
Itulah yang membuat kau bergegas meminta restu
Pada setiap tiang-tiang bambu yang kau lewati, disanalah nyala lampu jadi pertanda
Ada jiwa-jiwa penuh maaf disana

Umpatan serupa hamparan paku yang tidak lengket pada besi berani
Ada kegamangan orang jauh: ingatan tentang telaga, dan dekapan rapat di sudut rumah,
Pantulan wajah pada cermin, serta lelehan lilin di mangkuk kecil di atas meja belajarmu

Sergab-menyergab tak tersamarkan disemilir ingatan tak bersenandung
Lembaran dedaunan kering menutupi halaman rumah; kau tak punya langkah tuk berpijak
Terbelenggu sudah di luar gubuh reyot, syair-syair yang kau baca waktu suara petang sangat lantang
Kau jatuhkan bulir air mata di tapak kaki Tetuah, kelu lidah terkilir milikmu, bercampur helaan rapuh

Dipegangnya pundakmu kuat-kuat, agar kau tidak rubuh dalam penyesalan penuh luka
Ada perasaan lenggang di celah-celah gubuk bambu yang hangat; rumah milik keluargamu
Disanalah kau jemput harap, di petang yang senggang, di bawah tanah raja moyangmu yang tahu perihnya lidah tanpa tulang ketika bersuara

Bengkulu, 1 Mei 2017

RINDU TANPA ARAH

Jangan menghakimi apa-apa yang kau sebut rindu tanpa arah
Aku hanya membiarkan angin membawanya jauh ke lubuk hati
Menemui siapa yang pantas menyambutnya di lain tempat
Arah bukan satu-satunya yang kau tak suka
Mengapa rinduku selalu tertuju pada orang yang salah
Siapa yang bisa menganalisa rindu apa yang dibalas si penerima
Maka, jangan hakimi aku
Langit kelabu dan hati merah jambu
Lebih-lebih pada pewarnaan yang kau sebut bahagia itu, bukan merah jambu, warna lain yang lebih kelam dari langit penuh hujan

Bengkulu, 8 Juli 2017

SENJA

Senja tidak pernah memetik, 
ia hanya membiaskan cahaya, 
menguningkan langit, 
dan membiarkan matahari tenggelam tanpa perlawanan
Senja tidak memejamkan matanya, 
ia hanya menyilaukan mata manusia, 
memekarkan pewarnaan kelopak bola mata

Barangkali mau kau ditemani senja?
menghabiskan waktu dengan cahaya
membiarkan angin menerbangkan aroma

karena ia tidak sudi duduk bersama
merenggangkan hati, sambil menatapmu manja
karena ia lebih suka kejora, 
yang lebih sepi ketimbang suara burung kembali ke sangkar

Bengkulu, 26 Juli 2017

SYAIR BAGI AYAHANDA

Aroma hati nan lembut, dan jiwa nan halus terlalu hilang pandang
Terlihat buram di pelupuk
Gurat-gurat keriput, wajah yang mulai kendur
Telah ku tahu Ayahanda, umur bertambah jua
Canda, tawa dalam dekapan tubuh hangatmu sudah terlupa rasanya
Telah ku tahu Ayahanda, jarak lebih suka melihat kita berada di sisian rindu
Menyayat kalbu Ayahanda,
Menua itu artinya semakin melemah, tapi kau hantam jua
“Demi siapa?”
Putri pemalasmu ini rapuh, 
Bakar aku Ayahanda, dengan bara semangatmu
Membius diri agar langkah membawa rezeki yang diberkahi

Maaf Ayahanda, menomor dua-kan di setiap mahligai persoalan
Membiarkan tangis di sepertiga malam, dan doa-doa yang dipanjatkan
Mengadu kau pada Tuhan,
“Jaga keluargaku agar kami tetap kenyang, jangan biarkan kami lupa syukur meski tengah lapar”
Maaf Ayahanda, patuhku itu berjejal karena rasa takut
Membiarkan rasa marah mencerca, membuatmu naik darah

Ayahanda, superhero paling kuat
Ayahanda, melesat lebih cepat: menjemput rezeki demi penghidupan berkah
Ayahanda, penafsir paling hebat: terluka, bahagia, tak ada celah untuk kau tak mengindahkannya
Ayahanda, dunia: bagiku, dan anak-peranak setelahnya

Bengkulu, 21 Juli 2017



Tentang Penulis

Nurhidayah Tanjung lahir di Bengkulu, 26 Desember 1997. Memiliki darah Medan dari kedua Orang Tuanya. Hobi membaca, menulis, dan makan bakso. Serta sibuk berjuang mewujudkan mimpi menerbitkan buku solo pertama. Kini tengah menempuh studi S1 jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Bengkulu.

No comments