HEADLINE

Cuplikan Buku_LASTRI SINDEN KLAMPIS IRENG_Karya Ellita Nuraeni



LASTRI SINDEN KLAMPIS IRENG


Dengan punggung digelayuti sebuah selendang sewarna kuncup mawar, ia berjalan dengan keanggunan seorang perawan. Menyapa beberapa warga yang berpapasan dengannya, berikut para pemuda yang sebagian berani melirik genit. Perjalanan ini masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Sebagai sinden tercantik -meski tak lagi muda- tentu wajib baginya hadir dalam undangan helatan tayub yang diadakan di rumah Pak Lurah Tarmin. Jarak tempuh yang lumayan jauh, tidak menyurutkan gegas langkahnya. Tidak ada alasan selain saweran.

Ia mulai menuruni kali yang dangkal dengan bebatuan hitam berjajar. Kain tapih bermotif Merak yang saling menautkan ekor, tersingkap hingga sebatas lutut, memperlihatkan betisnya yang sewarna susu busuk. Beberapa dendang seperti dandang ghula, mijil, dan macapat terdengar tak henti dari bibirnya. Sesekali ia bersajak seolah merapal mantra.

Taman limut durgameng tyas kang weh limput
(Dalam kabut kegelapan, angkara dihati yang selalu menghalangi)
Karem ing karamat
(Larut dalam kesakralan hidup)
Karana karoban ing sih
(Karena temggelam dalam kasih sayang)
Sihing sukma ngrebda saardi pengira
(Kasih sayang sukma (sejati) tumbuh berkembang sebesar gunung)

Ia masih berdendang, bersajak, riang dan ringan ketika atap rumah pemilik hajatan mulai terlihat dari tikungan. Dua patung Semar sewarna pekatnya malam seolah menjadi patung selamat datang untuknya saat memasuki wilayah Klampis Ireng. Serempak dingin menguar bersama suara gemelisik daun-daun yang saling bergesekan oleh tiupan angin. Mau tidak mau, membuat tengkuknya sedikit meremang. Daerah ini memang terkenal sedikit wingit karena disebut sebut merupakan sebuah kerajaan makhluk halus.

“Sudahlah, Las …. Tak usah meneruskan pekerjaanmu itu. Kau ini sudah cukup umur untuk menikah, tidak kah kasian sama Emak yang hingga setua ini masih harus mendengarkan ocehan kanan kiri karena anak gadisnya menjadi perawan tua.”

Ia kembali teringat pernyataan Emak. berulang kali beliau melarang menyanyi dari acara tayub ke tayub karena pandangan buruk masyarakat mengenai profesinya. Dan satu hal yang tak terlupakan adalah raut wajah cemas Emak saat mengutarakannya.

Setelah langkah kakinya memasuki pekarangan rumah, seseorang menyambutnya dengan ramah.

“Ndak ada yang nganter, Nduk?” sapa bu Marni, Istri Pak Lurah Tarmin si pemilik hajatan.
“Mboten, Bu …,” jawab Lastri dengan senyum kecut.

Pertanyaan biadab itu mampir lagi di telinganya. Seringkali ia mendapati yang serupa, namun perasaaan pejal dalam hati selalu tidak bisa membiasakan diri. Dan seperti yang bisa Lastri tebak, kelanjutan dari kalimat itu adalah ujaran untuk bersegera menikah.

Sesampainya di dekat panggung, Lastri mendapati Marni, Wiji, dan Putri -tiga sinden muda yang jam terbangnya jauh berada di bawahnya- telah berada di sana. Tabuhan tandak, gendang, dan waditra menyambutnya ketika memasuki ruangan. Pertunjukan yang biasa dilakukan pada acara pernikahan hingga ritual pemanggilan hujan itu, merupakan kesenian daerah yang berupa tarian berikut nyanyian yang dilakukan para sinden dengan sehelai sampur yang dlilitkan di leher. Barang siapa yang beruntung mendapatkan lemaran sampur tersebut, maka ia berhak maju untuk menari dan menyanyikan sebuah lagu bersama pesinden.

Lastri memulai pertunjukan dengan lagu Kijing Miring setelah kang Wirang memukul kendangnya sebagai pembuka acara. Suaranya yang mengalun indah melengking memenuhi ruang hajatan. Tak mudah memang untuk menjadi seorang sinden, selain lagu-lagu yang harus dinyanyikan selalu berinstrumen tinggi, sinden juga harus mempunyai berbagai pengaji untuk bisa melakukan profesi ini. Selepas lagu Kijing miring selesai didendangkan, Lastri melanjutkan dengan Kembang Rawe disertai tarian lenggak-lenggok dan kibasan sampur. Sementara itu, tiga sinden lainnya mengikuti gerakan Lastri secara serempak dari belakang. Beberapa laki-laki muda maju setelah menerima kibasan sampur dari para sinden itu. Dengan gerakan lembut dan anggun, mereka mulai melenggang mengikuti musik. Lastri masih terus melenggangkan pinggulnya serupa burung-burung merak yang tengah mengibaskan ekor.

Waktu jeda pun telah sampai, para niyaga menghentikan tabuhannya. Para sinden kembali ke kursi masing-masing dan masih tetap dengan lenggok yang sama ketika undur ke belakang. Angin malam berhembus sepoi-sepoi dari sela-sela tenda kain. Lastri baru saja meneguk habis air minum mineral dari botol berwarna biru terangnya. Rasikin, salah satu penabuh gamelan menghampiri, “tadi siapa yang ngantar?” Lastri menoleh sejenak, sebelum akhirnya sebuah senyum merekah dari bibirnya. Rasikin tampak sumringah mendapati senyuman yang sangat ia gilai. “Sendiri,” jawab Lastri singkat.

Rasikin mengambil sebuah kursi plastik, lalu duduk menghadap Lastri. Pemuda dengan alis mata tebal dan pandangan tajam itu mengamati Lastri dengan tenang. Lastri tampak salah tingkah dipandangi sedemikian rupa, pipinya memerah, menciptakan sebuah rona yang terlihat manis sekali.

“Ojo ngono, ah!”

“Kamu cantik sekali lo,” goda Rasikin yang lima tahun lebih muda darinya itu.

“Ini bukan tempat untuk merayu,’’ gerutu Lastri.

“Siapa yang merayu? Serius aku!”

Lastri tak menggubris perkataan Rasikin, ia tahu pemuda itu memang sudah lama menaruh hati padanya. Lastri bukannya tak mengetahui, tetapi banyak hal yang membuat ia harus mengabaikan laki-laki yang mempunyai lesung di kedua pipi kala tersenyum tersebut. Sebagai anak pertama, sekaligus tunggal, Lastri memang tak boleh menikah dengan Rasikin yang kedudukannya sebagai anak ketiga. Lusan besan begitulah penduduk di kampung tersebut menyebutnya. Sebuah mitos yang masih dipercaya oleh masyarakat Desa Sragi. Sebuah kondisi apabila anak pertama menikahi anak ke tiga, maka sebuah bencana besar akan menimpa pernikahan berikut keluarga dari dua belah pihak.

“Sudahlah, Kang.” tutup Lastri sembari beranjak dari tempat duduknya.
‘’Mau ke mana?”
“Minta saweran!”

Rasikin hanya bisa menelan ludah dan sedikit kesal menatap punggung Lastri yang semakin menjauh darinya. Wanita itu berjalan menghampiri Ki Begog, si ketua paguyuban. Dengan genit, Lastri menyenggol siku laki laki berkumis tebal itu.

“Pertunjukkannya belum selesai kok minta upah?”
“Halah, biasanya juga gitu, kok!”
“Nanti, nunggu terima bayaran dulu.”
“Aki pelit sekarang!”
“Ndak gitu, Cah ayu,” Ki Begog mencubit lembut dagu Lastri sambil mendekatkan wajahnya, “sing sabar …,”
“Yawis, nanti ditambahi pokoknya!” tukas Lastri dengan wajah cemberut.

Ki Begog hanya terkekeh mendengar rengekan Lastri, laki-laki bertubuh tambun itu memang gemar sekali menggodanya.

Semakin larut malam, acara semakin meriah. Lastri menjadi bintang yang tanpa mengerdilkan keberadaan sinden muda lainnya. Ia mendapatkan banyak pujian dan tentunya saweran. Acara pun usai dan perempuan itu memilih segera pulang. Lastri memang sengaja pulang lebih awal tanpa harus nimbrung bersama crew Langger Ayem, peguyuban tayub yang ia ikuti. Lastri harus pulang lebih awal malam ini, sebab mak Imah, ibunya tengah meriang. Sebagai anak satu satunya, tentu saja Lastri takkan tega membiarkan ibunya tergolek seorang diri. Sedang Bapaknya sendiri, ia bahkan tak pernah mengenal. Ibu selalu bilang,“Pakmu merantau jauh.” Selalu jawaban singkat itu yang ia dengar. Jika memang merantau, ke mana? Sedang di usianya yang hampir 35, ia sama sekali belum mengetahui seperti apa sosok Bapak.

“Las!’’

Lastri menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Rasikin yang mengejarnya dengan terengah engah.
‘’Tumben pulang cepat?” tanya Rasikin sambil menjajari langkah Lastri.

“Emak lagi meriang.”

“Sakit apa?”

“Sayah mungkin, maklum sudah tua.”

“Dan memikirkan anak gadisnya yang tak kawin-kawin?”

Lastri menghentikan langkah, lalu menatap Rasikin dengan kesal dan tajam. Hembusan angin meniup anak-anak rambutnya yang menjuntai dan sedikit basah oleh keringat.

“Aku akan segera menikah, tapi tidak denganmu!”

“Kenapa, Las? Bohong jika kau bilang tidak mencintaiku, bahkan aku sering melihatmu cemburu saat aku mendekati Wiji.”

“Bukankah kau sudah tahu jawabannya? Sudahlah Ras, aku hanya tak ingin hal hal buruk itu terjadi ...,”

“Karena mitos konyol itu? Ayolah, Las! Kita ini hidup di jaman modern, sudah gak jaman lagi kepercayaan seperti itu masih digenggam!”
“Bagaimana jika benar terjadi? Desa ini kembali porak poranda, dan kau ditemukan mati di kamar mandi dalam keadaan tertimpa pohon Asem. Atau malah aku yang terbawa angin hingga terhempas jatuh ke jurang Gangsiran!”

“Kau terlalu takut oleh masa lalumu.” Rasikin menyentuh lengan Lastri. Dingin, seperti bedinding kembang Randu yang terjadi di permulaan september. Rasikin lekas melepas jaketnya, lalu menyelimuti punggung Lastri yang terbuka karena kebaya dari kain brokad yang dikenakan itu. “Percayalah ...,” ujar pemuda tersebut dengan tulus. Lastri bergeming. Kembali mengayun langkah tanpa menghiraukan Rasikin.

***

Lastri masih berdiri di dekat jendela kala adzan maghrib mulai berkumandang dari surau Lor Kali. Suara mbah Manto, muadzin yang sudah berumur lebih dari 60 tahun itu mengalun dengan lembut, berbaur, saling memilin di antara gemericik air sungai. Senja perlahan memudar, hampir habis jingganya tertelan rengkuhan malam. Gelisahnya mulai dihantam debar saat lampu neon yang di gantung pada pohon pohon pinggir jalan mulai dinyalakan. Lastri menjulurkan kepala, sesaat kemudian mendongak, menatap langit yang masih kosong tanpa bintang sebelum akhirnya menutup jendela kembali. Melangkah lunglai ke atas ranjang, menghempaskan tubuhnya. Terdengar suara angin permulaan kemarau yang tengah garang-garangnya. Namun ada yang jauh lebih bergemuruh kala mengingat percakapan siang tadi dengan emak. Perlahan pejal menyesaki dada, terkadang dingin, lalu memaksa air matanya mengalir tanpa bisa dicegah.

“Sudahlah, Nduk. Berhenti saja jadi sinden, lalu pikirkan masa depanmu. Sudah waktunya kamu berumah tangga.”

“Aku masih ingin seperti ini, Mak. Bekerja lalu mengurus Emak. Dan Lastri memang belum ada calon.”

“Kenapa nggak coba terima lamaran Hamdani atau si Uchon.”

“Hamdani si tengkulak jahe itu?”

“Iya, kemarin ia menemui Emak menanyakanmu.”

“Lastri nggak ingin menikah dengan orang sombong seperti dia.”

“Kalau begitu coba terima si Uchon, dia juga ada hati denganmu.”

“Lastri tak cinta sama Uchon mak. Apa emak mau besanan dengan lintah darat seperti Si Ridwan itu?! Lastri bukan tak mau menikah, Mak. Tapi Lastri belum siap, itu saja.”

“Apalagi yang kamu tunggu, Nduk? Nunggu emakmu yang sakit sakitan ini mati?”

Lastri tak mampu menjawab pertanyaan terakhir ibunya. Ia langsung melengos masuk. Meninggalkan perbedabatan yang memang harus diakhirinya tanpa jalan keluar.

Beberapa saat ia terdiam, menggigiti ujung kuku, lalu tegak terpaku di depan jendela. Lampu semprong yang kadang menyala kadang meredup itu menimbulkan bayangan yang aneh pada bilik beranyaman bambu. Bayangan yang seolah mengajaknya untuk menari. Kembali beberapa kegusaran memenuhi kepalanya, di amati wajah yang tengah menatap serius pada cermin. Sebuah cermin yang menempel dengan lemari besar wadah kebaya, sampur, tapih, sanggul, konde dan berbagai peralatan nyinden lainnya. Ditatapinya dengan jenak wajah seorang perempuan dewasa dengan beberapa garis halus yang mulai terlihat di sekitar mata. Di usia yang semakin matang, berbagai ketakutan hampir selalu memenuhi kepala. Bisik-bisik para tetangga mengenai profesi yang ia geluti, hingga status lajang yang masih ia sandang hingga umurnya yang sudah terlalu matang untuk ukuran orang desa.

Bayang lampu yang mengajaknya menari, membuat ingatannya kembali melayang lebih jauh, menembus pintu pintu, menemui cerita masa lalu. Ketika itu umurnya menginjak 17 tahun. Ia tergila-gila dengan seorang dokter muda yang tengah bertugas di daerahnya. Fahmi, dokter dengan rambut hitam bergelombang, alis saling bertaut dan sebuah senyum manis yang selalu membuat Lastri terasa melayang. Singkat cerita, cinta Lastri pun pada akhirnya bersambut. Fahmi menyatakan perasaan yang sama. Dunia seperti ikut menari bersamanya kala itu.

Hubungan keduanya berjalan dengan keriangan kanak-kanak. Dengan kebahagiaan yang sangat, Fahmi menceritakan perihal Lastri pada kedua orang tuanya. Di sinilah kisah pilu itu berawal. Ketika akhirnya Fahmi sebagai anak ketiga datang untuk melamarnya. Mengetahui posisi Fahmi sebagai anak ke tiga, Emak bersikeras menolak lamarannya. Lastri yang memang tengah di mabuk cinta tak menghiraukan nasehat Emak. Ia nekat mengancam untuk mengakhiri hidup jika Emak tidak menerima lamaran itu. Mau tidak mau, Emak mengabulkannya, meski was-was, abai terhadap pantangan yang selama ini masih dipercaya oleh masyarakat. Peristiwa naas itu pun terjadi. Ketika menjelang ijab qabul dilaksanakan, sebuah angin puting beliung tiba-tiba memporak-porandakan desa, termasuk pesta pernikahan yang sedang dilaksanakan. Fahmi yang saat itu berada di dalam kamar mandi, akhirnya tewas secara mengenaskan tertimba pohon asem besar yang ambruk menimpa bangunan itu. Para penduduk yang memang sejak semula tak menyetujui pernikahan itu, mulai menghubung-hubungkan dengan kematian Fahmi berikut bencana yang merobohkan banyak bangunan desa dengan kepercayaan Lusan Besan.

Lastri tersenyum getir mengingat semua. Sebuah peristiwa yang meninggalkan kenangan buruk di ingatan. Ia teringat Fahmi, linang mata Emak, harapan-harapan yang selama ini ia yakini, trauma yang menyakitkan hingga keyakinan Rasikin yang ingin meminangnya. Ketakutan kembali menyergapnya, menimbulkan berbagai delusi. Kesakitan- kesakitan hingga titik gelap yang selalu membuatnya limbung dan berantakan. Lastri tak bisa. Ketakutan- ketakutan itu seperti organisme dalam dirinya sendiri. Mereka sudah di sana, sejak ia lahir, sejak pertanyaan tentang Bapak mulai terlontar, kehilangan Fahmi hingga gunjingan para tetangga berikut kisah cintanya dengan Rasikin. Sering terlintas dalam pikirannya untuk mengakhiri hidup, lalu mencari surga yang kata para guru ngajinya mempunyai keindahan mawar dan aneka keriangan yang tak terlukiskan.

Lastri berusaha untuk bangkit dari keterpurukan akibat ingatan dan ketakutan. Namun sepertinya sia-sia. Gemelisik angin awal musim kemarau kembali memenuhi telinganya. Merajami kepala pada pusaran angin Puting Beliung di masa lalu. Kunang-kunang mulai berterbangan mengitari mata, lalu meninggalkan kenangan yang buruk setelah akhirnya terbang menjauh. Suara-suara itu terus bergemuruh, sahut menyahut serasa membakar gendang telinga. Bayang-bayang dari lampu ublik, semakin giat mengajaknya menari. Bahkan sekarang seolah menuntun dirinya untuk mengambil sampur kebanggaan. Menunjukkan cara melilitkan sampur di lehernya. Lastri terus mengikuti bayang-bayang, melilitkan satu putaran lagi di lehernya, dan kemudian menariknya sangat kuat. Tidak tersisa sedikit pun ruang untuk bernafas. Bayang-bayang semakin lincah menari, seolah mengagumi gerakan Lastri. Perlahan, ia merasakan kehangatan yang didambakan. Matanya sedikit mengatup, mengusir bayangan Fahmi, Emak dan juga Rasikin. Seutas senyum tersimpul di bibir yang semakin lama membiru dan kemudian pucat. Lastri, menyatu dalam bayang-bayang.

Ell, 2017


No comments